Translate

Selasa, 06 September 2022

Bhojajaniya-Jataka (Jataka 23)



“Meskipun dalam keadaan lemah,”dan seterusnya . Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana mengenai seorang bhikkhu yang menyerah dalam pelatihan dirinya. Saat menegur bhikkhu itu, Sang Guru berkata, “Bhikkhu, di kehidupan yang lampau, Ia yang bijaksana dan tekun dalam melakukan kebajikan, meskipun berada di tengah kepungan musuh dan dalam keadaan terluka, tetap tidak menyerah.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

____________________

Suatu ketika, Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor kuda Sindhu (Sindhavā) keturunan murni. Ia merupakan kuda utama kerajaan, yang dikelilingi oleh kemegahan dan kebesaran. Makanannya berupa beras usia tiga tahun yang sangat halus, disajikan dalam mangkuk emas yang bernilai uang seratus ribu keping, lantai istalnya diberi wewangian dengan empat keharuman yang berbeda. Tirai merah tua tergantung di sekeliling dinding istalnya, sementara di atas istal itu, terdapat sebuah langit-langit yang bertaburkan bintang-bintang emas. Dindingnya dihiasi dengan rangkaian dan untaian bunga yang wangi, dan sebuah lampu dengan minyak yang beraroma selalu menyala di sana.


Di masa itu, semua raja di sekitar Benares menginginkan Kerajaan Benares. Sekali waktu, tujuh raja mengepung Benares dan mengirimkan sebuah pernyataan perang kepada raja yang berbunyi, “Serahkan kerajaanmu kepada kami atau kita akan bertempur.” Raja mengumpulkan semua menterinya dan memaparkan masalah tersebut di hadapan mereka semua, menanyakan apa yang harus ia lakukan. Mereka menjawab, “Anda tidak boleh keluar untuk berperang sendiri pada tahap pertama, Paduka. Pertama-tama, kirim kesatria ini dan itu terlebih dahulu untuk bertempur dengan mereka; selanjutnya, jika mereka kalah, kita akan memutuskan apa yang harus dilakukan.”


Raja meminta kesatria itu menghadapnya, dan berkata, “Dapatkah engkau menghadapi ketujuh raja itu, Kesatriaku?” Kesatria itu menjawab, “Berikan kuda utamamu yang agung itu kepadaku, maka bukan hanya tujuh raja itu saja yang akan saya hadapi, namun semua raja yang ada di India.”


“Kesatriaku, bawalah kuda utamaku maupun kuda lain yang engkau sukai, dan pergilah bertempur!”


“Baiklah, Raja yang penuh kuasa,” jawab kesatria itu. Dan dengan sebuah busur, ia turun dari lantai atas istana, kemudian mengeluarkan kuda utama yang agung itu dan menyarungkan baju kuda padanya serta melengkapi dirinya sendiri secara menyeluruh dan mempersiapkan pedangnya. Dengan menunggang kuda yang agung itu, ia keluar dari gerbang kota, dan dengan cepat, ia mengalahkan kubu pertama serta menangkap seorang raja hidup-hidup, membawanya sebagai tawanan di bawah penjagaan pasukannya. Kemudian ia kembali ke medan perang, mengalahkan kubu kedua dan ketiga, dan seterusnya hingga ia menangkap lima raja hidup-hidup. Ia baru saja mengalahkan kubu keenam dan menawan raja keenam, saat kuda perangnya itu mendapatkan sebuah luka, yang terus mengucurkan darah dan membuat hewan yang agung itu menderita kesakitan yang hebat. Mengetahui kuda itu telah terluka, kesatria itu membaringkannya di gerbang istana, melepaskan baju kudanya dan mempersiapkan perlengkapan untuk kuda yang lain. Saat Bodhisatta yang sedang terbaring sepanjang sisi tubuhnya itu membuka matanya, ia melihat apa yang dilakukan oleh kesatria itu.

“Penunggangku,” pikirnya, “sedang mempersiapkan kuda lain. Kuda itu tidak akan mampu mengalahkan kubu ketujuh dan menangkap raja ketujuh; ia akan menghilangkan semua yang telah saya perjuangkan. Kesatria yang tidak tertandingi ini akan dibunuh, demikian juga dengan raja, ia akan jatuh ke tangan musuh. Hanya saya sendiri, tidak ada kuda lain yang bisa, yang dapat mengalahkan kubu ketujuh dan menangkap raja ketujuh.” Maka, sambil berbaring, ia memanggil kesatria itu dan berkata, “Tuan Kesatria, tidak ada kuda yang lain selain saya sendiri yang bisa mengalahkan kubu ketujuh dan menangkap raja ketujuh. Saya tidak akan melepaskan apa yang telah saya kerjakan; beri waktu agar kaki saya siap untuk berdiri dan pakaikan kembali baju kuda itu pada saya.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengulangi syair ini: —

Meskipun dalam keadaan lemah dan tertusuk anak panah, saya terbaring,

masih belum ada kuda yang dapat menandingi kuda perang ini.

Maka, pakaikan baju kuda padaku, bukan pada kuda lain, wahai Penunggang kuda.

Kesatria itu menunggu Bodhisatta berdiri kembali, membalut lukanya dan melengkapinya dengan perlindungan. Dengan menunggang kuda perang itu, ia mengalahkan kubu ketujuh dan membawa pulang raja ketujuh hidup-hidup, yang diserahkannya dalam penjagaan pasukannya. Mereka membawa Bodhisatta ke gerbang kerajaan, raja sendiri keluar untuk melihatnya. Makhluk yang agung itu berkata kepada raja, “Raja yang baik, jangan bunuh ketujuh raja ini. Ikatlah mereka dengan sumpah dan biarkan mereka pergi. Biarkan kesatria itu mendapatkan penghargaan dari apa yang telah kami berdua lakukan, karena rasanya tidak benar jika seorang pejuang yang telah mempersembahkan tujuh orang raja sebagai tahanan diperlakukan dengan buruk, dan untuk Anda sendiri, lakukanlah perbuatan baik, jagalah sila dan pimpinlah kerajaanmu dengan penuh kebaikan dan keadilan.” Setelah Bodhisatta memberikan nasihat kepada raja, mereka melepaskan baju kudanya; namun saat mereka sedang melepaskannya satu per satu, ia meninggal dunia.

Raja menguburkannya dengan penuh hormat dan menganugerahkan penghargaan kepada ksatria itu, mengirim ketujuh raja itu pulang setelah mereka bersumpah untuk tidak akan bertempur melawannya lagi. Dan Raja menjalankan kerajaannya dengan penuh kebaikan dan keadilan. Setelah meninggal, ia terlahir di alam bahagia sesuai dengan hasil perbuatannya.

____________________

Sang Guru berkata, “Demikianlah, para Bhikkhu, di kehidupan yang lampau, ia yang bijaksana dan tekun dalam melakukan kebaikan, bahkan saat berada di antara musuhnya, dan berada dalam keadaan terluka berat, tetap tidak menyerah. Sementara engkau, yang telah memutuskan untuk menjalankan ajaran ini, bagaimana bisa menyerah dalam pelatihan dirimu?”

Setelah itu Beliau membabarkan Empat Kebenaran Mulia. Pada akhir khotbah, bhikkhu yang hatinya dipenuhi oleh keraguan itu mencapai tingkat kesucian Arahat. Saat uraian-Nya berakhir, Sang Guru mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Ānanda adalah raja di masaitu, Sāriputta adalah kesatria tersebut, dan Saya sendiri adalah kuda Sindhu keturunan murni itu.”

sumber: ITC, Jataka Vol. I

Minggu, 04 September 2022

Ajanna Jataka


“Tidak masalah kapan maupun dimana,” dan seterusnya . Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang bhikkhu lain yang juga menyerah dalam pelatihan dirinya. Namun dalam kasus ini, Beliau menasihati bhikkhu itu dengan berkata, “Bhikkhu, di kehidupan yang lampau, ia yang bijaksana dan penuh kebaikan tetap tekun walaupun sedang terluka.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

____________________

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, terdapat tujuh raja yang mengepung kerajaan tersebut, sama seperti cerita sebelumnya. Maka seorang kesatria dikirim untuk bertempur dengan sebuah kereta tempur yang ditarik oleh dua ekor kuda Sindhu (merupakan dua bersaudara). Setelah keluar dari gerbang kota, ia mengalahkan enam kubu dan menawan enam orang raja. Di saat genting itu, kuda yang lebih tua terluka. Penunggang kuda itu menunggang kudanya hingga tiba di gerbang kerajaan, tempat ia melepaskan kuda yang lebih tua itu dari kereta tempurdan setelah melepaskan baju kuda dari kuda yang sedang terbaring itu, ia mulai menyiapkan perlengkapan untuk kuda lain.

Menyadari maksud pejuang itu, Bodhisatta memikirkan hal yang sama seperti pada kisah sebelum ini, ia menyampaikan permintaan pada penunggang kuda itu, dengan mengulangi syair

ini, dengan keadaan masih terbaring : —

Tidak masalah kapan maupun dimana, dalam keadaan mapan maupun sengsara, ia yang merupakan keturunan murni akan terus berjuang, sementara kuda yang lain menyerah.

Penunggang kuda itu menunggu Bodhisatta berdiri di atas kakinya lagi dan memberinya pakaian kuda. Kemudian ia mengalahkan kubu ketujuh dan berhasil menawan raja ketujuh yang kemudian dibawanya ke gerbang kerajaan, hal itu cukup menghabiskan tenaga kuda yang agung itu. Sambil terbaring di tanah, Bodhisatta menyampaikan sedikit nasihat kepada raja sama seperti kejadian di kisah sebelum ini, ia kemudian meninggal. Raja menguburkannya dengan penuh penghormatan, memberikan penghargaan kepada penunggang kuda itu, dan setelah memerintah dengan penuh keadilan, raja meninggal dunia dan terlahir kembali di alam bahagia, sesuai dengan hasil perbuatannya.

____________________

Setelah uraian ini berakhir dan Sang Guru telah selesai membabarkan Dhamma (saat khotbah Beliau berakhir, bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian Arahat); Beliau menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan mengatakan, “Thera Ānanda adalah raja tersebut dan Buddha Yang Maha Sempurna adalah kuda tersebut.”

sumber: ITC, Jataka Vol. I

Kamis, 14 Oktober 2021

Kisa Dewa Dewi Tao (Jiu Huang Da Di)



Kisah dan Asal Usul Jiu Huang Da Di 九皇大帝 (Kiu Hong Tay Tee) bagian 1 dari 3 Tulisan

Kisah Jiu Huang Da Di 九皇大帝

Dou Mu 斗母 dan Jiu Huang Ye 九皇爷 :
Dou Mu atau Bunda Gantang adalah Dewi dari Bintang Utara, Dewi ini dipuja ber-sama2 oleh kaum Budhhist dan Taoist. Konon Dou Mu sebetulnya adalah berasal dari Marici (Mo - Li - Zi Thian), seorang Dewa dari India, yg kemudian dimasukan ke dalam khasanah kedewaan kaum Taoist. kedudukannya di dalam Daoist kira2 setara dengan Guan Yin dalam Buddhisme .
Di dalam legenda dikatakan bahwa Dou Mu dilahirkan di Mo-Li-Zhi, kawasan langit barat, di negeri Tian- Zhu ( yaitu India ).

Setelah memperdalam pengetahuannya tentang rahasia alam semesta, seluruh tubuhnya diliputi sinar sorgawi, dan Ia dapat terbang dari rembulan ke matahari dan me-layang2 di atas lautan. Ia selalu memperlihatkan wataknya yg welas- asih kepada umat manusia. kemudian Ia menikah dengan raja dari Zhou - Yu, Zhen Zu Zong, di kawasan sebelah utara, karena raja ini sangat mengagumi budi-pekertinya. Dari perkawinan ini Dou Mu melahirkan 9 orang putra. ke 9 orang putra Dou Mu ini kemudian dikenal dengan sebutan Jiu Huang Ye/ Kiu Hong Ya yang berarti " 9 Maharaja Dewa".

Yuan Shi Tian Zun / Goan Si Thian Cun lalu mengundang mereka sekeluarga untuk menikmati kegembiraan di Surga. oleh Yuan Shi Thian Zun, Dou Mu ditempatkan di istana Dou Shu (yg berarti Poros Kutub ), dinamakan begitu karena semua bintang2 berputar di sekelilingnya. Kesembilan putranya yang tinggal di istananya masing2 di bintang2 sekelilingnya.

Dou Mu ditampilkan dengan memakai topi Buddha, duduk di atas bunga teratai, bertangan delapan dan berkepala tiga. para pemujanya biasanya berpantang makan berjiwa pada tiap tanggal3 dan 27 tiap bulan, untuk memohon keselamatan dan panjang umur. seperti juga Guan Yin dan Tian Hou ( Tian Shang Sheng Mu ), mulanya dianggap Dewa Pelindung Lautan. Dou Mu seperti juga Guan Yin selalu memberikan perlindungan pada para pelaut. utara di dalam Taoist sering dikaitkan dengan unsur " air ", dan merupakan lambang kehidupan dan kematianyang erat hubungannya dengan umat manusia .

Kesembilan putra Dou Mu secara umum disebut Jiu Huang Ye atau Jiu Huang Da Di ( Kiu Hong Tay Tee) yang berarti Sembilan DewaMaharaja. Jiu Huang Ye dianggap sebagai Dewa2 yg menguasai nasib manusia. mereka itu adalah: Tian Ying, Tian Ren , Tian Zhu, Tian Qin , Tian Fu, Tian Chong, Tian Rui dan Tian Peng. setelah diangkat kelangit ber-sama2 dengan ibunya, Dou Mu, mereka menguasai 9 pelanet yg mengeliling matahari dalam tata- surya kita ini, merupakan lambang kosmologi keberadaan dunia kita ( Makrokosmos) dan 9 liang pada tubuh manusia yg merupakan lambang ontologi keberadaan manusia ( makrokosmos ).

Di dalam kelenteng2, biasanya Jiu Huang Ye ditampilkan hanya dalam bentuk sebuah " papan arwah ". Papan ini melambangkan Jiu Huang Ye sebagai satu dewa, yg didalamnya terdiri dari kesatuan sembilan dewa. tapi pihak lain ada juga yg beranggapan bahwa papan itu mewakili 9 dewa, walaupun hanya seorang dewa saja yg hadir tiap kali

Jumat, 15 Januari 2021

AYACITABHATTA JATAKA (JATAKA 19)


AYACITABHATTA JATAKA (JATAKA 19)

“Pikirkan tentang kehidupan setelah ini,” dan seterusnya.

Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada diJetawana, mengenai persembahan korban karena sumpah yang diucapkan kepada para dewa. Menurut cerita yang disampaikan secara turun temurun, dewasa ini, penduduk yang akan melakukan perjalanan untuk berdagang, biasanya membunuh makhluk hidup dan mempersembahkan mereka sebagai korban kepada para dewa, dan memulai perjalanannya setelah mengucapkan sumpah seperti ini — “Jika kami kembali dengan selamat dan membawa keuntungan, kami akan membunuh korban yang lain untukmu.”

Saat mereka kembali dari perjalanan itu dan membawa keuntungan, pikiran bahwa ini adalah karena bantuan para dewa, membuat mereka membunuh lebih banyak makhluk hidup dan mempersembahkan korban-korban itu agar bebas dari sumpah yang telah mereka ucapkan.

Saat para bhikkhu mengetahui hal ini, mereka bertanya pada Sang Bhagawan, “Apakah ada kebaikan dengan melakukan hal ini, Bhante?”

Sang Bhagawan pun kemudian menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

____________________

Sekali waktu di Negeri Kāsi, seorang penjaga sebuah desa kecil membuat janji untuk memberikan korban kepada dewa pohon dari sebuah pohon beringin yang tumbuh di dekat pintu gerbang desa. Sesudahnya, saat kembali, ia membunuh sejumlah makhluk hidup dan pergi ke bawah pohon agar ia terlepas dari sumpah yang telah diucapkannya. Namun sang dewa pohon, dengan berdiri di cabang pohon tersebut, mengulangi syair berikut ini:

Pikirkan tentang kehidupan setelah ini saat engkau mencari ‘pembebasan’; Pembebasan yang sekarang ini (engkau lakukan) adalah merupakan suatu ikatan.

Tidak dengan cara demikian, ia yang bijaksana dan penuh kebaikan membebaskan diri mereka sendiri;

Bagi mereka yang bodoh, kebebasan mereka berakhir dalam ikatan.

Setelah itu, para manusia menahan diri dalam melakukan pembunuhan, dan dengan berjalan di jalan yang benar, mereka kemudian terlahir kembali di alam dewa.

____________________

Saat uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kedua kisah itu, dan menjelaskan tentang kelahiran itu dengan berkata, “Saya adalah dewa pohon di masa itu.”

 

Sumber: ITC, Jataka Vol I

TITHA JATAKA


TITHA JATAKA 

“Gantilah tempatnya olehmu,” dan seterusnya . Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika Beliau berada di Jetawana, mengenai seorang mantan tukang emas yang telah menjadi bhikkhu dan tinggal bersama sang Panglima Dhamma (Sāriputta).

Hanya seorang Buddha yang memiliki pemahaman isi hati dan dapat membaca pikiran manusia. Oleh karena itu, tanpa kekuatan itu, sang Panglima Dhamma hanya dapat memahami sedikit isi hati dan pikiran dari teman satu ruangannya, memberikan objek perenungan terhadap noda pikiran kepadanya. Inilah alasan mengapa objek itu tidak begitu bermanfaat baginya. Menurut cerita yang disampaikan secara turun temurun, ia dilahirkan selama lima ratus kali berturut-turut sebagai seorang tukang emas. Akibat terus menerus melihat keindahan emas murni dalam waktu yang begitu lama, objek perenungan yang diberikan oleh Thera Sāriputta menjadi tidak begitu membantunya. Ia menghabiskan waktu empat bulan tanpa mendapatkan kemajuan apa pun selain yang berhasil dicapainya saat permulaan latihan. Mengetahui bahwa ia tidak mampu membantu teman satu ruangannya mencapai tingkat kesucian Arahat, sang Panglima Dhamma berpikir, “Tidak ada orang lain lagi, selain Buddha sendiri, yang mampu memperbaiki hal ini. Saya akan membawanya menemui Sang Buddha.” Maka saat fajar menyingsing, ia membawa bhikkhu itu menemui Sang Buddha.

“Ada apa, Sāriputta?” tanya Sang Guru, “Apa yang membuatmu datang bersama bhikkhu ini?”

“Bhante, saya memberikan sebuah objek perenungan untuknya. Setelah menghabiskan waktu empat bulan, ia masih belum mencapai kemajuan apa pun selain hasil yang dicapainya di awal pelatihan; Saya membawanya menemui Anda, karena berpikir tidak ada orang lain selain seorang Buddha yang dapat mengubah keadaan ini.”

“Objek meditasi apa yang engkau berikan padanya, Sāriputta?”

“Objek perenungan terhadap noda pikiran, Bhagawan.”

“Sāriputta, engkau masih belum memiliki kemampuan untuk mengetahui isi hati dan pikiran seseorang. Engkau boleh pergi terlebih dahulu, dan kembali di sore hari untuk menjemput teman satu ruanganmu ini.”

Setelah meminta thera senior itu pergi, Sang Guru memberikan jubah dalam dan luar yang bagus kepadanya, membuat bhikkhu itu tetap berada di sisinya saat Beliau pergi ke kota melakukan pindapata, melihat Beliau menerima berbagai macam makanan yang didanakan. Saat kembali ke wihara, ia dikelilingi oleh para bhikkhu, sementara Sang Bhagawan beristirahat siang di ruangan yang wangi (gandhakuṭi). Di sore harinya, Sang Guru bersama bhikkhu itu berjalan di sekitar wihara tersebut, Beliau menciptakan sebuah kolam dengan rumpun bunga teratai di dalamnya, dimana teratai itu terlihat sangat indah. “Duduklah di sini, Bhikkhu,” kata Beliau, “dan tataplah bunga ini.” Meninggalkan bhikkhu itu disana, Beliau kembali ke ruangan-Nya yang wangi.

Bhikkhu itu terus menerus menatap bunga itu. Sang Bhagawan membuat bunga tersebut layu. Saat bhikkhu itu masih menatap bunga tersebut, bunga tersebut mulai melayu; kelopaknya berguguran, mulai dari bagian pinggirnya, sejenak kemudian, semua kelopaknya menghilang, berikutnya, benang sari bunga tersebut mulai berjatuhan hingga bagian yang tersisa hanyalah jantung bunga. Melihat proses tersebut, bhikkhu ini berpikir, “Walaupun awalnya bunga ini begitu cantik dan segar; namun akhirnya, warnanya pudar, kelopak dan benang sarinya berguguran, hingga yang tersisa hanyalah jantung bunga. Jika pembusukan dapat menimpa bunga teratai yang seindah ini; apa yang tidak akan menimpa jasmaniku? Semua benda yang terbentuk dari penggabungan beberapa komponen adalah tidak kekal adanya!” Dengan pikiran tersebut, ia mencapai pencerahan.

Mengetahui pikiran bhikkhu itu telah tercerahkan, Sang Guru yang sedang duduk di ruangan wangi itu mengirimkan seberkas bentuk yang mirip dirinya ke tempat tersebut, dan mengucapkan syair ini : —

Buanglah rasa cinta terhadap diri sendiri, dengan tangan yang kau gunakan untuk memetik bunga teratai di musim gugur. Persiapkan hatimu untuk ini, tidak untuk yang lainnya; Jalan menuju kedamaian yang sempurna, dan menuju pemadaman (terhadap nafsu keinginan) yang diajarkan oleh Sang Buddha.

Pada akhir syair ini, bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian Arahat. Dengan pikiran bahwa ia tidak akan dilahirkan lagi, tidak dipusingkan oleh keadaan kehidupan dalam bentuk seperti apa pun setelah ini, dengan sepenuh hati ia mengucapkan syair berikut ini :

Ia yang hidup dengan pikiran yang matang;

ia yang telah bersih dan bebas dari segala jenis kekotoran,

dengan raga yang terakhir ini; Ia menjalani kehidupan yang suci,

adanya pemahaman yang mendalam, menjadikan ia

sebagai seorang raja yang berkuasa; —

Ia, seperti bulan yang pada akhirnya memenangkan

jalannya dari cengkeraman Rāhu, telah memenangkan pembebasan yang tertinggi.

Kebodohan yang menutupiku, yang dibentuk oleh

khayalan yang timbul akibat adanya kegelapan,

telah ditolak olehku ; —

Seperti, tertipu oleh ribuan sinar yang disorotkan oleh matahari,

yang menghiasi langit dengan siraman cahaya.

Setelah syair dan ungkapan kebahagiaan yang baru saja diucapkannya, ia menemui Sang Bhagawan dan memberikan penghormatan kepada Beliau. Thera Sāriputta yang datang setelahnya, memberikan penghormatan kepada Sang Guru, dan pergi bersama teman satu ruangannya. Saat para bhikkhu mendengar kabar ini, mereka semua berkumpul di Balai Kebenaran, duduk sambil memuji kebajikan Yang Maha Bijaksana, mereka berkata, “Awuso, karena tidak mengetahui isi hati dan pikiran manusia, Thera Sāriputta tidak mengetahui kecenderungan sifat teman satu ruangannya. Namun Sang Guru mengetahuinya. Hanya dalam waktu satu hari, Beliau mampu mengarahkan bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian Arahat, sekaligus mencapai pengetahuan sempurna. Oh, betapa luar biasanya kemampuan yang mengagumkan dari seorang Buddha!”

Sang Guru memasuki balai tersebut dan duduk di tempat yang telah disediakan untuknya, bertanya, “Apa topic pembicaraan pertemuan ini, para Bhikkhu?”

“Tidak ada yang lain, Bhante, selain bahwa Engkau memiliki pemahaman tentang isi hati dan dapat membaca pikiran dari bhikkhu yang tinggal bersama sang Panglima Dhamma.”

“Hal ini bukan sesuatu yang mengagumkan, para Bhikkhu. Sebagai seorang Buddha, memang sudah seharusnya saya mengetahui kecenderungan sifat bhikkhu itu. Di kehidupan yang lampau saya juga mengetahui hal itu dengan baik.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

____________________

Sekali waktu, Brahmadatta memerintah di Benares. Saat itu, Bodhisatta terlahir sebagai penasihat raja dalam urusan pemerintahan dan spiritual. Suatu ketika, para penduduk memandikan seekor kuda liar di tempat pemandian kuda kerajaan. Saat tukang kuda membawa kuda kerajaan mandi di tempat pemandian tersebut, kuda itu merasa terhina sehingga ia menolak untuk mandi di tempat itu. Maka tukang kuda menghadap raja dan berkata, “Paduka, kuda kerajaan menolak untuk mandi.” Raja meminta Bodhisatta menghadap dan berkata padanya, “Pergilah, wahai Yang bijak, dan temukan penyebab mengapa hewan tersebut tidak mau masuk ke dalam air saat tukang kuda membawanya ke tempat pemandian.”

“Baik, Paduka,” jawab Bodhisatta. Ia segera pergi ke sisi perairan itu. Setibanya di sana, ia memeriksa kuda tersebut, menemukan bahwa kuda itu tidak mempunyai luka di bagian manapun dari tubuhnya. Ia mencoba memprediksikan penyebabnya, akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa ada kuda lain yang telah mandi di tempat tersebut, sehingga kuda kerajaan merasa terhina dan tidak mau masuk ke dalam air. Ia bertanya kepada tukang kuda itu hewan apa yang telah mereka mandikan di sana sebelum ini.

“Seekor kuda lain, Tuanku, — seekor hewan yang biasa-biasa saja.” “Ah, karena rasa cinta kepada dirinya sendiri, ia merasa tersinggung sehingga tidak mau masuk ke dalam air,” kata Bodhisatta kepada dirinya sendiri, “hal yang harus dilakukan adalah memandikan dia di tempat lain.” Maka ia berkata kepada tukang kuda itu, “Orang akan merasa bosan, Temanku, bahkan tentang pemilihan tempat, jika ia selalu mendapatkan hal yang sama. Ini juga terjadi pada kuda ini. Ia telah dimandikan di sini sebegitu banyak kalinya sehingga tak terhitung lagi. Bawalah ia ke tempat pemandian yang lain, mandikan dan beri ia minum di sana.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengucapkan syair berikut ini :

Gantilah tempatnya olehmu, dan biarkan kuda itu minum.

Kadang di sini, kadang di sana, dengan selalu mengganti tempatnya.

Bahkan nasi-susu dapat memuakkan bagi manusia pada akhirnya.

Setelah mendengar perkataannya, mereka membawa kuda itu ke tempat yang lain, di sana ia minum dan mandi tanpa kesulitan. Saat tukang kuda memandikan kuda kerajaan tersebut setelah memberinya minum, Bodhisatta kembali untuk menghadap raja. “Baiklah,” kata Raja, “sudahkah kudaku minum dan mandi, Teman?”

“Sudah, Paduka.”

“Mengapa ia menolak untuk melakukan hal itu sebelumnya?”

“Karena alasan berikut ini,” kata Bodhisatta, dan menceritakan keseluruhan kisah itu kepada Raja.

“Orang ini benar-benar pintar,” kata raja, “ia bahkan bisa membaca pikiran seekor hewan.” Raja kemudian memberikan penghargaan kepada Bodhisatta. Setelah meninggal, ia terlahir di alam bahagia sesuai dengan hasilperbuatannya. Demikian juga dengan Bodhisatta, setelah meninggal ia terlahir kembali di alam bahagia, sesuai dengan hasil perbuatannya semasa hidup.

____________________

Setelah uraian itu berakhir, Beliau mengulangi apa yang telah dikatakan-Nya bahwa kecenderungan bhikkhu itu di masa lampau sama seperti saat sekarang ini. Sang Guru mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran itu dengan mengatakan, “Bhikkhu ini adalah kuda kerajaan itu, Ānanda merupakan sang raja, dan Saya sendiri adalah menteri tersebut.”

sumber: ITC, Jataka Vol. I

Sabtu, 09 Januari 2021

MAHILAMUKHA-JATAKA


MAHILAMUKHA-JATAKA

“Awalnya, dengan mendengar,” dan seterusnya . Kisah ini diceritakan oleh Sang Bhagawan ketika berada di Weluwana, mengenai Devadatta, yang mendapatkan kesetiaan Pangeran Ajātasattu, ia memperoleh keuntungan serta kehormatan darinya. Pangeran Ajātasattu membangun sebuah wihara untuk Devadatta di Gayāsīsa, dan setiap hari mempersembahkan  lima ratus mangkuk nasi wangi yang berusia tiga tahun, yang telah dibumbui dengan semua bumbu pilihan. Semua keuntungan dan kehormatan ini membawakan sejumlah pengikut untuk Devadatta, yang tinggal bersamanya, tanpa pernah keluar dari wihara. Saat itu di Rājagaha, hiduplah dua orang sahabat. Satu orang mengucapkan sumpahnya di bawah Sang Guru, sementara yang satunya lagi, bersumpah di bawah Devadatta.

Mereka berdua saling bertemu sepanjang waktu, baik secara kebetulan maupun dengan mengunjungi wihara masing-masing. Suatu hari, murid Devadatta berkata kepada temannya, “Bhante, mengapa setiap hari engkau pergi berkeliling melakukan pindapata hingga keringat bercucuran di tubuhmu? Devadatta hanya perlu duduk dengan tenang di Gayāsīsa, dan hidup dari makanan dari kualitas terbaik yang dibumbui dengan semua bumbu pilihan, tidak perlu melakukan apa yang kamu lakukan. Mengapa mencari penderitaan sendiri? Apakah tidak baik bagimu untuk datang pagi-pagi sekali ke wihara di Gayāsīsa, dan menikmati bubur nasi dengan makanan pembuka setelah itu, mencoba delapan belas jenis makanan padat yang kami miliki dan juga makanan lunak dengan mutu yang baik, yang dibumbui dengan semua bumbu pilihan?”

Karena selalu dibujuk untuk menerima undangan tersebut, bhikkhu ini mulai berniat untuk pergi, dan akhirnya ia pergi juga ke Gayāsīsa, ia makan dan makan, namun ia tidak lupa untuk kembali ke Weluwana pada waktunya. Bagaimanapun, ia tidak dapat terus merahasiakan hal itu; sedikit demi sedikit, bhikkhu yang lain mulai mengetahui ia selalu pergi ke Gayāsīsa dan menikmati makanan yang disediakan untuk Devadatta. Karena itu, teman-temannya bertanya kepadanya, “Benarkah apa yang dikatakan mereka, bahwa engkau menghibur diri dengan makanan yang dipersembahkan untuk Devadatta?”

“Siapa yang mengatakan hal itu?”

“Si anu yangmengatakannya.”

“Benar, Awuso, saya pergi ke Gayāsīsa dan makan di sana. Namun bukan Devadatta yang memberikan makanan kepadaku, bhikkhu lain yang melakukannya.”

“Awuso, Devadatta adalah musuh Buddha; dengan akal liciknya, ia mendapatkan kesetiaan Ajātasattu, dan dengan cara jahat, ia memperoleh keuntungan dan penghormatan untuk dirinya. Namun, kamu yang mengambil sumpah berdasarkan ajaran yang akan membawa nibbana bagi kita, makan makanan yang diperoleh Devadatta dengan cara-cara yang tidak benar. Mari, kami akan membawamu menghadap Sang Guru.” Kemudian mereka membawa bhikkhu itu ke Balai Kebenaran.

Ketika Sang Guru melihat kedatangan mereka, Beliau bertanya, “Para Bhikkhu, mengapa bhikkhu ini dibawa bertentangan dengan kehendaknya?”

“Bhante, bhikkhu ini, setelah mengucapkan sumpah di bawah pengawasan-Mu, makan makanan yang diperoleh Devadatta dengan cara-cara yang tidak benar.”

“Benarkah apa yang mereka katakan, bahwa engkau makan makanan yang diperoleh Devadatta dengan cara yang tidak benar?”

“Bukan Devadatta yang memberikan makanan itu kepadaku, Bhante, melainkan orang lain.”

“Jangan membuat dalih di sini, Bhikkhu,” kata Sang Guru. “Devadatta adalah pemimpin yang buruk dengan prinsip yang salah. Oh, bagaimana engkau bisa, setelah mengambil sumpah di sini, makan makanan dari Devadatta, saat engkau menjalankan ajaran-Ku? Namun, engkau memang selalu mudah dipengaruhi, selalu mengikuti perkataan setiap orang yang engkau temui.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini. Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai menterinya. Di saat itu, raja memiliki seekor gajah kerajaan yang bernama Mahilamukha (Paras

Gadis), yang sangat bijaksana dan penuh kebaikan, ia tidak pernah melukai siapa pun.

Suatu malam, beberapa orang pencuri berkumpul di dekat kandang gajah itu, mereka duduk sambil membicarakan rencana mereka : — “Inilah cara untuk menerobos masuk ke dalam sebuah rumah; dan ini adalah cara mendobrak masuk melalui dinding rumah; sebelum membawa kabur barang-barang curian, masuk dengan cara menerobos atau pun mendobrak dinding harus jelas dan terbuka, seperti melalui darat atau dengan menyeberangi sungai. Dalam membawa kabur barang-barang itu, jangan sampai terjebak dalam pembunuhan, di mana kamu tidak akan bisa melawan lagi. Seorang pencuri harus membuang semua kebaikan dan kebajikan yang ia miliki, agar ia cukup kejam. Ia harus menjadi orang yang penuh dengan kebengisan dan kekerasan.” Setelah saling mengajari satu sama lain dengan nasihat-nasihat itu, mereka membubarkan diri.

Mereka datang lagi keesokan harinya, dan beberapa hari setelah itu, mereka selalu mengadakan percakapan yang sama sehingga akhirnya gajah itu menyimpulkan bahwa mereka datang untuk memberikan petunjuk kepadanya, bahwa ia harus berubah menjadi kejam, bengis dan penuh kekerasan. Dan seperti itulah ia berubah. Begitu pelatihnya muncul di pagi hari, gajah itu melilit lelaki itu dengan belalainya dan melemparkannya ke tanah hingga ia meninggal. Dengan cara yang sama ia memperlakukan orang kedua, ketiga dan setiap orang yang mendekatinya.

Berita itu disampaikan kepada Raja, bahwa Mahilamukha telah gila dan membunuh setiap orang yang terlihat olehnya. Raja segera mengundang Bodhisatta dan berkata, “Pergilah, wahai Yang bijaksana, temukan apa yang telah menyesatkannya.”

Bodhisatta pergi ke tempat gajah itu berada, ia memastikan bahwa gajah itu tidak menunjukkan tanda-tanda ada bagian tubuhnya yang sakit. Saat memikirkan kembali semua kemungkinan yang menyebabkan perubahan tersebut, ia tiba pada kesimpulan bahwa gajah itu pasti mendengar pembicaraan orang-orang yang berada di dekatnya. Gajah itu mengira mereka sedang memberikan petunjuk kepadanya, hal inilah yang menyesatkan hewan tersebut. Karena itu, ia bertanya kepada penjaga gajah tersebut apakah belakangan ini ada orang yang melakukan percakapan di dekat kandang gajah pada malam hari. “Ada, Tuanku,” jawab penjaga gajah itu, “beberapa orang pencuri datang kemari dan melakukan pembicaraan.”

Kemudian Bodhisatta pergi menghadap raja dan berkata, “Tidak ada yang salah dengan gajah itu, Paduka, ia disesatkan oleh pembicaraan beberapa orang pencuri.”

“Baiklah, apa yang harus kita lakukan sekarang?”

“Undanglah orang-orang yang penuh dengan kebaikan, para guru dan brahmana untuk duduk di dekat kandangnya dan membicarakan tentang kebaikan.”

“Lakukanlah hal itu, Temanku,” kata Raja. Bodhisatta kemudian mengundang orang-orang yang penuh dengan kebaikan, para guru dan brahmana ke kandang gajah tersebut, dan meminta mereka untuk membicarakan hal-hal yang baik. Maka mereka semua, duduk didekat gajah tersebut, membicarakan hal berikut ini, “Jangan menganiaya maupun membunuh. Orang baik harus tahan terhadap penderitaan, tetap penuh cinta kasih serta murah hati.” Mendengar kata-kata tersebut, gajah itu berpikir mereka pasti memaksudkan itu sebagai bimbingan baginya, ia kemudian memutuskan untuk berubah menjadi baik. Maka ia pun berubah menjadi baik kembali.

“Baiklah, Temanku,” kata Raja kepada Bodhisatta, “sudahkah gajah itu berubah menjadi baik sekarang?”

“Ya, Paduka,” kata Bodhisatta, “berterimakasihlah kepada mereka yang bijaksana dan penuh kebaikan sehingga gajah yang telah tersesat itu kembali menjadi dirinya lagi.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengulangi syair berikut ini : —

Awalnya, dengan mendengarkan pembicaraan yang tidak benar dari para pencuri

Mahilamukha berubah, ia melukai dan membunuh ;

Akhirnya, dengan mendengar kata-kata yang mulia dari mereka yang bijaksana,

gajah kerajaan itu berubah menjadi baik kembali.

 

Raja itu berkata, “Ia bahkan mampu membaca pikiran hewan!” Raja menganugerahkan penghargaan besar kepada Bodhisatta. Setelah hidup hingga usia yang cukup tua, baik raja maupun Bodhisatta meninggal dunia dan terlahir di alam bahagia sesuai dengan apa yang telah mereka perbuat. Sang Guru berkata, “Di kehidupan yang lampau, engkau juga mengikuti perkataan setiap orang yang engkau temui, Bhikkhu; saat mendengar ucapan pencuri, engkau mengikuti perkataan mereka; lalu mendengar kata-kata para bijaksana dan orang-orang baik, kamu juga mengikutinya.”

Setelah uraian-Nya berakhir, Beliau mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Bhikkhu yang berkhianat ini adalah Mahilamukha di masa itu, Ānanda adalah sang raja, dan Saya sendiri adalah menteri tersebut.”

sumber: ITC, Jataka Vol. I

Rabu, 06 Januari 2021

ABHINHA JATAKA


ABHINHA JATAKA 

“Tidak ada butiran yang dapat ditelannya,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang umat awam dan seorang thera yang telah berumur.

Menurut kisah yang disampaikan secara turun temurun, di Sawatthi terdapat dua orang sahabat, yang satu merupakan seorang bhikkhu; setiap hari ia pergi ke rumah temannya, yang selalu memberikan dana makanan kepadanya, kemudian umat awam ini juga makan. Setelah itu, ia akan menemani bhikkhu ini kembali ke wihara. Di sana, mereka akan duduk berbicara sepanjang hari hingga matahari terbenam, barulah umat awam ini kembali ke kota. Dan bhikkhu ini akan menemaninya dalam perjalanan pulang hingga ke gerbang kota, lalu ia sendiri kembali ke wihara lagi.

Kedekatan dua sahabat ini telah diketahui oleh semua bhikkhu yang lain. Suatu hari saat para bhikkhu membicarakan kedekatan antara kedua orang itu, Sang Guru memasuki Balai Kebenaran dan menanyakan topik pembicaraan mereka. Para bhikkhu pun menceritakan hal tersebut kepada Beliau. “Kedekatan kedua orang ini, para Bhikkhu, tidak hanya terjadi di kehidupan ini saja,” kata Sang Guru, “mereka juga dekat pada kelahiran yang lampau.” Setelah mengucapkan katakata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

_____________________

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah Benares, Bodhisatta terlahir sebagai menteri raja. Saat itu, ada seekor anjing yang selalu mengunjungi kandang gajah kerajaan, dan makan ceceran nasi yang terjatuh dari tempat makan gajah itu. Karena selalu mencari makan di tempat tersebut, anjing itu menjadi bersahabat dengan gajah kerajaan. Akhirnya, gajah kerajaan hanya mau makan jika anjing itu juga makan bersamanya. Jika tidak ditemani oleh temannya, mereka memilih untuk tidak makan sama sekali. Anjing itu selalu menyenangkan dirinya dengan berayun ke depan dan belakang belalai gajah tersebut. Suatu hari, seorang penduduk desa membeli anjing itu dari tangan pelatih dan membawanya pulang ke rumah. Sejak kehilangan anjing itu, gajah kerajaan menolak untuk makan, minum maupun mandi. Mereka segera melaporkan hal tersebut kepada raja. Raja mengirim Bodhisatta untuk mencari penyebab hal tersebut. Saat tiba di kandang gajah, Bodhisatta melihat betapa sedihnya gajah itu, ia berkata pada dirinya sendiri, “Gajah ini tidak menderita sakit pada fisiknya, ia pasti mempunyai teman dekat dan sedang berduka karena kehilangan temannya.” Maka ia bertanya apakah gajah itu mempunyai teman.

“Ya, Tuanku,” jawab penjaganya, “ada persahabatan yang hangat antara dia dengan seekor anjing.”

“Di manakah anjing itu sekarang?”

“Seorang lelaki membawanya pergi.”

“Tahukah kamu tempat tinggal lelaki itu?”

“Tidak, Tuan.”

Bodhisatta menghadap raja dan berkata, “Tidak ada masalah apa pun dengan gajah itu, Paduka. Namun, ia sangat akrab dengan seekor anjing, dan saya rasa, kehilangan temannya membuat ia menolak untuk makan.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengulangi syair berikut ini:

Tidak ada butiran yang dapat ditelannya, baik nasi maupun rumput;

Ia bahkan tidak menemukan kesenangan saat mandi sekarang ini.

Saya duga, anjing itu sangat akrab dengannya, gajah dan anjing itu yang merupakan teman terdekat.

“Baiklah,” kata raja setelah mendengar kata-kata tersebut, “apa yang harus kita lakukan sekarang?”

“Sampaikan pengumuman dengan iringan bunyi genderang, yang menyatakan bahwa seorang lelaki dilaporkan telah membawa pergi anjing kesayangan gajah kerajaan, dan lelaki di rumah mana anjing itu ditemukan akan mendapatkan hukuman ini dan itu.” Raja melaksanakan apa yang dikatakannya. Dan saat lelaki yang dimaksud mendengar hal tersebut, ia segera melepaskan anjing itu. Begitu dilepaskan, anjing itu segera menelusuri jalan pulang ke kandang gajah kerajaan. Gajah mengambil anjing itu dengan belalainya dan menempatkan anjing itu di kepalanya sambil mengucurkan air mata serta tersedu-sedu. Kemudian ia menurunkan anjing tersebut kembali ke tanah, melihat anjing itu makan lebih dahulu sebelum ia sendiri juga makan.

“Ia bahkan dapat mengetahui isi pikiran dari seekor hewan,” kata raja, dan membanjiri Bodhisatta dengan penghargaan.

____________________

Demikianlah uraian Sang Guru yang menunjukkan kedekatan kedua sahabat tersebut di kehidupan lampau sama seperti di kehidupan sekarang ini. Setelah itu Beliau membabarkan Empat Kebenaran Mulia (Pembabaran Empat Kebenaran Mulia ini merupakan bagian dari semua Jātaka yang ada, namun kita hanya menyinggung hal tersebut jika membawa berkah berupa pencapaian phala). Kemudian Sang Guru mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Umat awam itu adalah anjing di masa itu, thera itu adalah gajah kerajaan dan Saya sendiri adalah menteri yang bijaksana tersebut.”

sumber: ITC, Jataka Vol. 1