Translate

Kamis, 15 Desember 2016

Daftar Riwayat 28 Sammasambuddha

DAFTAR RIWAYAT 28 SAMMASAMBUDDHA


  1. Buddha Tanhankara, Calon Bodhisatta Gautama terlahir sebagai raja bernama Sudassana di kota Surindavati, Setelah ia bertemu Buddha Tanhankara ia kemudian menyampaikan keinginannya menjadi Buddha, namun belum cukup kualifikasi dan tidak mendapat konfirmasi dari Buddha Tanhankara. Ia kemudian menjadi Murid Beliau.
  2. Buddha Medhankara, Calon Bodhisatta Gautama terlahir sebagai Pertapa Somanassa, beliau mengucapkan Ikrar namun belum juga mendapat konfirmasi. Ia kemudian menjadi Murid Beliau.
  3. Buddha Saranankara, Calon Bodhisatta Gautama terlahir sebagai Pertapa Yasavanta, beliau mengucapkan Ikrar namun belum juga mendapat konfirmasi. Menjadi Bikkhu sangha mencapai Jhana


[Sumber: BuddhaVamsa 27: 1, ”
Di kurun waktu lalu yang tak dapat dihitung terdapat empat pembimbing: Para penakluk ini adalah Tanhankara, Medhankara, Saranankara dan Dipankara yang telah tersadar di 1 Kappa yang sama
      ” (Horner, 2000, p. 96), juga di Jātaka, ed. Fausboll, 5 vols, i.44 dan Papañca Sūdanī, Majjhima Commentary, 2 vols. (Aluvihāa Series, Colombo), i.188,
Dreamland And Somnambulism

Periode Resmi menjadi Boddhisatta [Calon Buddha]
  1. Buddha Dipankara [BuddhaVamsa (BV).ii.207ff; Buddhavamsa Commentary (BuA).104f; Jataka.i.29; Mahavamsa (Mhv).i.5; Divapamsa (Dpv).iii.31; DhA.i.69; namun lihat MahaVastu (Mtu).i.193ff], Calon Boddhisatta terlahir menjadi seorang Pemuda bernama Sumedha, yang pada satu kesempatan ia mengucapkan Ikrar untuk menjadi Buddha dan MENDAPAT konfirmasi dari Buddha Dipankara!.Karena Buddha Dipankara adalah Buddha yang pertama yang memberikan konfirmasi atas ucapan tekad yang disampaikan Bodhisatta Gautama, itulah sebabnya mengapa di daftar Buddha-Buddha sebelumnya, Buddha Dipankara diletakan di urutan ke-1!
    Dijaman Buddha Dipankara, maka perjalanan selama 16 Assankhya Kappa dan 200.000 Maha kappa akhirnya terwujud, Beliau menjadi Bodhisatta dan masih panjang jalan yang ditempunya untuk menjadi seorang Buddha. Sejak saat itu hingga 24 Buddha berikutnya, pada setiap kelahiran kembalinya, ketika ia mengucapkan tekad itu maka konfirmasi atas tekad tersebut selalu diberikan.
    Buddha Dipankara merupakan Buddha terakhir dari rangkaian 1 Kappa yang sama di akhir Semesta saat itu. Ini merupakan saat 4 Assankheya + 100.000 Maha Kappa sebelum Buddha Gautama. Setelah Buddha Dipankara wafat maka tidak ada Buddha hingga kurun 1 Assankheya berikutnya.
  2. Buddha Kondanna, Bodhisatta Gautama terlahir sebagai raja Vijitavi. Kemudian berlalu 1 Assankheya Kappa
  3. Buddha Mangala, Bodhisatta Gautama terlahir sebagai Brahmin Suruci
  4. Buddha Sumana, Bodhisatta Gautama terlahir sebagai Raja Naga Atula, raja nàga yang sakti. Mengetahui bahwa seorang Buddha telah muncul di tiga alam dan dengan disertai dengan sanak saudaranya dan teman-temannya, ia keluar darikediamannya dan melakukan dàna kepada Buddha dan seratus ribu crore bhikkhu dengan cara memainkan musik surgawi sebagai penghormatan, dan dengan memberi dàna dalam bentuk makanan dan minuman; ia juga mendanakan satu perangkat jubah kepada tiap-tiap bhikkhu kemudian menyatakan berlindung kepada Tiga Perlidungan.Kemudian Buddha Sumanà meramalkan, “Raja nàga ini akan menjadi Buddha Gotama pada masa depan.”
  5. Buddha Revata, Bodhisatta Gautama terlahir sebagai Brahmin Atideva
  6. Buddha Sobhita, Bodhisatta Gautama terlahir sebagai Brahmin Ajita. Kemudian berlalu lagi 1 Assankyeya Kappa.
  7. Buddha Anomadassi, Bodhisatta Gautama terlahir di alam Asura sebagai Jenderal Yakkha yang membawahi beberapa crore yakkha sakti; mendengar bahwa ‘Buddha telah muncul di dunia’ Beliau mengunjungi Buddha dan menciptakan sebuah aula yang besar dan megah berhiaskan berbagai macam permata sebagai tempat Beliau memberikan persembahan makanan, minuman, dan lain-lain kepada Saÿgha yang dipimpin oleh Buddha selama tujuh hari.Sewaktu Jenderal Yakkha mendengarkan khotbah yang dibabarkan oleh Buddha sebagai penghargaan atas persembahannya, Buddha mengucapkan ramalan, “Satu asaïkhyeyya dan seratus ribu kappa dari kappa sekarang, Jenderal Yakkha ini pasti akan menjadi Buddha bernama Gotama.”
  8. Buddha Paduma, Sewaktu berdiam di dalam hutan, Bodhisatta Gautama terlahir sebagai seekor raja singa. Menyaksikan Buddha sedang berada dalam Nirodhasamàpatti, ‘mencapai penghentian’, raja singa berkeyakinan terhadap Buddha, memberi hormat dengan cara mengelilingi Buddha. Dengan penuh kegembiraan, ia mengaum tiga kali dan tetap berada di sana selama tujuh hari tanpa sedetik pun kehilangan kebahagiaannya yang diperoleh dari melihat Buddha. Tanpa pergi mencari makan, ia tinggal di dekat Buddha dengan penuh hormat, meskipun dengan risiko kelaparan.Setelah lewat tujuh hari, setelah keluar dari Nirodhasamàpatti, Buddha Paduma melihat singa dan berkata, “Semoga singa ini berkeyakinan terhadap Sangha juga” pada waktu yang sama Ia memutuskan untuk mendatangkan para anggota Saÿgha di dekat-Nya, “Semoga para bhikkhu datang ke sini.” Saat itu juga, beberapa crore bhikkhu sampai di tempat itu. Bodhisatta berkeyakinan terhadap Sangha juga. Setelah melihat pikiran Bodhisatta, Buddha Paduma mengucapkan ramalan, “Pada masa depan singa ini akan menjadi Buddha, bernama Gotama.”
  9. Buddha Narada, Bodhisatta Gautama terlahir sebagai Pertapa yang membangun pertapaan di Pegunungan Himalaya dan tinggal di sana setelah menguasai lima Abhi¤¤à dan delapan Samàpatti. Karena welas asihnya kepada Bodhisatta petapa ini, Buddha Nàrada mengunjungi pertapaan tersebut diiringi oleh delapan puluh crore umat awam yang semuanya telah mencapai tingkat kesucian Anàgàmã.Petapa yang mulia ini sangat gembira dapat bertemu dengan Buddha; kemudian Beliau menciptakan tempat tinggal untuk Buddha dan para pengikut-Nya. Semalam suntuk, Sang petapa memuji kemuliaan Buddha dan mendengarkan khotbah-Nya. Esok paginya Beliau pergi ke benua utara (dengan kesaktian-Nya) dan kembali membawa nasi dan makanan-makanan lain untuk dipersembahkan kepada Buddha dan para pengikut-Nya, bhikkhu, dan umat awam.
    Demikianlah Bodhisatta mempersembahkan makanan selama tujuh hari, setelah itu Beliau memberi hormat kepada Buddha dengan kayu cendana merah yang sangat mahal dari Pegunungan Himalaya. Kemudian Buddha Nàrada setelah memberikan khotbah, meramalkan, “Engkau pasti akan menjadi Buddha pada masa depan.”. Kemudian berlalu 1 Assankheya Kappa
  10. Buddha Padumuttara, Bodhisatta Gautama menjadi pemuda bernama Jatila (periode ini adalah 100.000 Maha Kappa sebelum menjadi Buddha Gotama). Kemudian berlalu 70.000 Maha Kappa
  11. Buddha Sumedha, Bodhisatta Gautama terlahir sebagai pemuda bernama Uttara, yang artinya seorang yang melebihi siapa pun dalam hal kebajikan; ia mempersembahkan harta kekayaan-Nya yang bernilai delapan puluh crore yang dikumpulkan di rumahnya kepada Saÿgha yang dipimpin oleh Buddha. Setelah mendengarkan khotbah dari Buddha, Beliau menyatakan berlindung kepada Tiga Perlindungan dan menjadi bhikkhu di bawah bimbingan Buddha. Pada akhir khotbah-Nya yang disampaikan sebagai ungkapan terima kasih atas persembahan yang diterima, Buddha menyampaikan ramalan, “Pemuda ini yang bernama Uttara, akan menjadi Buddha pada masa depan, bernama Gotama”. Kemudian 12.000 Maha Kappa berlalu
  12. Buddha Sujata, Bodhisatta Gautama terlahir sebagai Raja Chakkavatti (periode ini adalah 18.000 Maha Kapa sebelum Buddha Gautama)
  13. Buddha Piyadassi, Bodhisatta Gautama terlahir sebagai Brahmin Kassapa
  14. Buddha Atthadassi, Bodhisatta Gautama terlahir sebagai Pertapa Susima
  15. Buddha Dhammadassi, Bodhisatta Gautama terlahir sebagai raja Alam 33 Deva, yaitu Sakka
  16. Buddha Siddhatta, Bodhisatta Gautama terlahir sebagai Petapa Mangala
  17. Buddha Tissa, Bodhisatta Gautama terlahir sebagai Raja dan pertapa Sujata (Periode ini 92 Maha Kappa sebelum Buddha Gautama)
  18. Buddha Phussa, Bodhisatta Gautama terlahir sebagai Raja Vijitavi
  19. Buddha Vipassi, Boddhisata Gautama terlahir menjadi Raja naga Atula yang sangat sakti. Disertai beberapa crore nàga yang memainkan musik surgawi, Beliau mendekati Buddha Vipassã, Raja Tiga Alam. Untuk menghormati Buddha, Beliau mengundang Saÿgha yang dipimpin oleh Buddha (ke tempatnya). Beliau membangun paviliun besar yang terbuat dari tujuh jenis permata yang indah bagaikan lingkaran bulan purnama. Beliau melayani Buddha dan Saÿgha di dalam paviliun tersebut dan memberikan persembahan besar kepada mereka selama tujuh hari. Beliau juga mempersembahkan sebuah bangku emas yang dihias indah kepada Buddha.Dudukdi tengah-tengah Saÿgha, Buddha memberikan khotbah Dhamma sebagai ungkapan terima kasih atas persembahan itu, dan pada akhir khotbah, Buddha mengucapkan ramalan, “Sembilan puluh satu kappa dari sekarang, Raja Nàga Atula ini pasti akan menjadi Buddha.”
  20. Buddha Sikhi, Bodhisatta Gautama terlahir sebagai raja Arindama (Periode ini 31 Maha Kappa sebelum Buddha Gautama)
  21. Buddha Vessabhu, Bodhisatta Gautama terlahir sebagai Raja Sudassana (Periode ini 1 Maha Kappa sebelum Buddha Gautama)
  22. Buddha Kakusandha, Bodhisatta Gautama terlahir sebagai raja Sema (Periode Kappa yang sama dengan Buddha Gautama)
  23. Buddha Konagamana, Bodhisatta Gautama terlahir sebagai Raja Pabbata (Periode Kappa yang sama dengan Buddha Gautama)
  24. Buddha Kassapa, Bodhisatta Gautama terlahir sebagai Brahmin Jotipala (Periode Kappa yang sama dengan Buddha Gautama)
  25. Buddha Saat ini: Buddha Gautama, Bodhisatta Gautama terlahir sebagai Sidharta Gautama anak Raja kaphilavastu
[Sumber: Digha Nikaya, ii.5f.; Samyutta Nikaya, ii.5f.; Theragāthā, 491; Jataka, ii.147; Vinaya Pitaka,ii.110, Sayambhū Purāna (Mitra, Skt. Buddhist Lit. of Nepal, p. 249), Buddhavamsa, Riwayat Agung Para Buddha]


Ashtamangala

Ashtamangala


Ashtamangala (Sanskrit; Tibetan: བཀྲ་ཤིས་རྟགས་བརྒྱད་, THL:Trashi Takgyé; Chinese: 吉祥八宝 Jíxiáng bā bǎo)adalah 8 simbol keberuntungan .

Delapan lambang keberuntungan tradisi Buddhisme dianggap sangat signifikan.
Tiap lambang dari delapan lambang keberuntungan ini mewakili arti masing-masing dan berbeda dalam keunikan sendiri.
Tetapi pada akhirnya, semua uangkapan terjalin dalam jalur Buddha mencapai pencerahan.
Adapun Ashtamangala/ 8 simbol keberuntungan adalah sebagai berikut :


1. DHAMMA CAKRA

(Sanskrit;Tibetan: ཆོས་ཀྱི་འཁོར་ལོ་,
THL: chö kyi khorlo) / Roda Emas.

Roda emas Buddha Dharma, melambangkan keberuntungan dari ajaran Buddha yang terus berputar (masih terus ada) baik dalam hal pengajaran maupun realisasi yang terjadi di semua alam dalam setiap waktu. Menyebabkan semua makhluk berkesempatan untuk mengalami kebahagiaan dari perbuatan baji dan pembebesan.




2. SANKHA
(Sanskrit: śaṅkha; Tibetan: དུང་དཀར་གཡས་འཁྱིལ་, THL: dungkar yénkhyil) / Kerang putih berulir ke kanan.

Kerang putih yang berulir ke kanan, melambangkan merdunya suara penyebaran Buddha Dharma. Suara dari terompet kerang putih ini sangat merdu, dalam dan tersebar luas serta membuat makhluk yang mendengarnya segera terjaga dari tidur nyenyaknya.

Hal ini melambangkan bahwa Buddha Dharma akan segera menyadarkan kita dari kebodohan dan mendesak kita untuk segera mencapai kebahagiaan yang sejadi dari pembebasan untuk diri sendiri dan semua makhluk.
Uliran ke kanan dari kerang ini sangat lengka di temukan dan dipercaya bahwa uliran ini meggemakan gerakan dari sistem tata surya.



3. DHAVAJA
(Sanskrit; Tibetan: རྒྱལ་མཚན་, THL: gyeltsen) / Panji Kemenangan.
 Panji kemenangan, melambangkan kemenangan ajaran Buddha atas kematian, kebodohan, ketidak harmonisan dan hal negatif lainnya yang muncul di dunia.
Panji ini juga melambangkan kemenangan ajaran Buddha atas semua kekuatan berbahaya dan merusak.


4. CHATRARATNA
(Sanskrit; Tibetan: རིན་ཆེན་གདུགས་, THL: rinchenduk) / Payung berharga

Payung berharga, menyimbolkan aktivitas bajik dari memberikan pelindungan kepada semua makhluk atas penderitaan, hawa nafsu, halangan, penyakit dan kekuatan lainnya yang merusak







5. PATMA
(Sanskrit; Tibetan: པད་མ་, THL: péma) / Bunga teratai.

Bunga teratai, melambangkan pemurnian sempurna atas kekotoran batin yang timbul dari tubuh ucapan maupun pikiran.
Bunga teratai yang mekar sempurna melambangkan kebahagiaan dari pembebasan sempurna




6. KALASHA
(Sanskrit; Tibetan: གཏེར་ཆེན་པོའི་བུམ་པ་, THL: terchenpo’i bumpa) / Vas berharga.
Vas berharga, melambangkan hujan umur panjang, kekayan, kemakmuran dan keuntungan lainnya serta pembebasan yang tak pernah berhenti.
Vas berharga, juga dikenal dengan wadah harta berharga yang tak pernah habis dan menyimbolkan tak pernah habisnya ajaran Buddha yang sangat berharga




7. SUVARNAMATSYA
(Sanskrit;  Tibetan: གསེར་ཉ་, THL: sernya) / Sepasang ikan mas.

Simbol sepasang ikan mas berasal dari jaman sebelum Buddha yang melambangkan dua sungai suci utama di India yaitu sungai Gangga dan sungai Yamuna.

Dalam Buddhisme Tibet, ikan yang berenang bebas di air dijadikan simbol kesukacitaan akan kebebasan tanpa rasa takut. Air dan lautan di dalam Buddhisme Tibet diidentikkan dengan lutan samsara.




8. SHRIVTSA

(Sanskrit;  Tibetan: དཔལ་བེའུ་, THL: pelbeu) / Simpul yang tak berujung.
Simpul yang tak berujung ini melambangkan sifat alami dari segala sesuatu yang saling bergantung dan hanya muncul sebagai akibat dari hukum karma (hukum sebab akibat).
Simpul yang tidak memiliki ujung dan pangkal ini juga melambangkan kebijaksanaan dan welas asih dari Buddha yang tak terbatas.



Source :
  1. WIKIPEDIA
  2. Rush, John A. “The Eight Auspicious Symbols of Buddhism A Study in Spiritual Picture”. 30 Januari 2015.


Sejarah Aliran Mahayana


Sejarah Aliran Mahayana
Sejarah Mahayana
Aliran Mahayana terdiri dari 9 aliran yaitu:
  1. Yogacara/Vijnanavada
  2. Tri-sastra
  3. Avatamsaka
  4. Tien Tai
  5. Tantra
  6. Dhyana
  7. Sukhavati
  8. Nichiren
  9. Vinaya.
(Sumber ini dikutip dari karya Prof. Junjiro Takakusu “The Essentials of Buddhist Philosophy”)
Berikut ini pembahasan secara garis besar mengenai ke sembilan aliran tersebut.
  1. Aliran Yogacara/Vijnanavada (Wei She Cung/Hosso)
Aliran ini dipelopori oleh Arya Asanga (abad V Masehi) yang menyusun karya Yogacarabhumi Sastra (Yu Cia She Ti Luen) dan Mahayana Samparigraha Sastra (She Ta Chen Luen). Terjemahan ke bahasa Mandarin dilakukan oleh Buddhasanta, Paramartha dan Suan Chang. Isi dari sastra-sastra tersebut menerangkan: vijnana-citta, sad-paramita, sila, samadhi, prajna, dasabhumi dan tri-kaya.
Aliran Yogacara juga berpedoman pada Sandhi Nirmocana Sutra, Dasabhumi ka sastra, Vijnapti Matrada Sidhi karya Dharmapala terjemahan Suan Chang. Pada masa sekarng aliran ini hanya dipelajari di perguruan tinggi Buddhis dan hanya terbatas pada kaum intelektual saja.
  1. Aliran Tri-sastra (San Luen Cung/San Ron Syu)
Aliran ini di India disebut Madhyamika atau Sunyatavada. Di India, aliran ini dipelopori oleh Nagarjuna dan Arya Deva (antara abad I dan II Masehi) kemudian disusul oleh Buddhapalita, Bhavaviveka dan Chandrakirti. Di Tiongkok aliran ini dipelopori oleh Kumarajiva (abad V).
Aliran ini berpedoman pada tiga buah sastra yaitu:
  1. Madyamika Karika (Cung Luen) karya Nagarjuna
  2. Dvadasa-dvara (Se Er Men Luen) karya Nagarjuna
  3. Sata Sastra (Pai Luen) karya Arya Deva
Aliran ini menekankan Sunyata. Pengertian terhadap Sunyata adalah sebagai suatu kebenaran yang absolut. Di samping itu sunya adalah pengertian mengenai tidak adanya inti yang kekal karena semuanya berkontradiksi. Aliran ini begitu menitikberatkan pada metode analisa dan perenungan sehingga amat sukar untuk dicerna oleh pengertian awam. Pada masa sekarang aliran ini hanya dipelajari di perguruan tinggi Buddhis dan terbatas pada kaum intelektual saja.
  1. Aliran Avatamsaka (Hua Yen Cung/Kegon Syu)
Secara harafiah nama aliran ini berarti “lingkaran bunga”. Aliran ini bersumber pada Avatamsaka Sutra (Hua Yen Cing), sebuah sutra besar Mahayana. Sutra ini sulit dimengerti sehingga secara legendaris dikisahkan setelah Pertapa Gautama mencapai Samyaksambodhi, beliau menerangkan isi sutra tersebut, namun sayangnya tidak ada manusia yang dapat memahami isi sutra tersebut.
Dikisahkan pula bahwa sutra tersebut dititipkan kepada istana Dewa Naga. Setelah lebih dari 500 tahun Sang Buddha parinirvana, Nagarjuna berhasil mendapatkan kembali sutra tersebut. Sebagian besar naskah asli dalam bahasa Sansekertanya telah hilang. Penterjemahan sutra tersebut ke dalam bahasa Mandarin dilakukan oleh Buddhabadra, Siksananda dan Prajna. Di Tiongkok aliran ini dipelopori oleh Bhiksu Sien Sou (Tu Sun) yang hidup antara tahun 577-640 Masehi.
Aliran ini sampai sekarang mungkin hanya di Jepang yang masih aktif, sedangkan di negara-negara Timur lainnya umumnya hanya dipelajari di perguruan tinggi Buddhis saja. Di Jepang aliran ini berpusat di Vihara Todaiji di Nara.
  1. Aliran Tien Tai (Tien Tai Cung/Tendai Syu)
Aliran ini terbentuk di Tiongkok dengan mengambil nama sebuah gunung di provinsi Ce Ciang yaitu Gunung Tien Tai (yang berarti “panggung surgawi”). Di Gunung Tien Tai ini secara resmi Bhiksu Ce Khai (531-597) yang disebut juga Ce Yi atau Che ce mendirikan aliran ini. Sebelum beliau telah ada dua orang bhiksu intelektual lainnya yang meratakan jalan dan merintis berdirinya aliran ini yaitu Bhiksu Hui Wen (510-557) dan Bhiksu Hui She (514-577).
Aliran ini berpedoman pada Saddharma Pundarika Sutra (Miao Fa Lien Hua Cing), Amitartha Sutra (Wu Liang I Cing) dan Nirvana Sutra (Nie Phan Cing). Di samping itu ada tiga tafsiran sutra dan karya sastra yang disusun oleh Hui Wen, Hui She dan Ce Khai yaitu:
  1. Fa Hua Wen Ci (Words and phrases of the lotus)
  2. Fa Hua Suen I (Profound meaning of the lotus)
  3. Mo Ho Ce Kuan Fa Men (Mahayana method of cessation and comtemplation)
Aliran Tien Tai memiliki suatu pandangan filosofis yang disebut konsep 3.000 alam (Tri-sahasra Dharmadhatu). Konsep ini menitikberatkan hubungan erat antar makhluk-makhluk hidup serta hubungan dengan alam semesta sehingga timbul perkataan “yi nien san chien” (ichinen sanzen) yaitu pikiran sekejab meliputi segala hal ikhwal seluruh alam semesta.
Aliran Tien Tai dianut oleh berjuta-juta umat di Asia Timur. Di Tiongkok, Korea, Jepang dan Vietnam, aliran ini terus berkembang dan dapat dikatakan suatu aliran Mahayana yang cukup aktif.
  1. Aliran Tantra (Mi Cung/Cen Yen Cung/ Shingon Syu)
Ada dua macam Tantra Buddhis yaitu Tantra Timur dan Tantra Tibet. Tantra Timur terbagi dua yaitu Tantra yang ada pada aliran Tien Tai dan Tantra pada aliran Cen Yen yang kemudian dibawa ke Jepang dengan nama Shingon Syu. Yang dimaksud dengan Tantra Tibet adalah tantra yang diterapkan di Tibet, Mongolia, Bhutan, Nepal,dll.
Tantra Timur berkembang di Tiongkok pada abad VII ketika tiga orang Guru Besar Tantra datang dari India. Mereka adalah:
  1. Subhakarasinha (San Wu Wei 637-735 M). Pada tahun 716 M beliau tiba di Chang An setelah belajar di Nalanda. Pada tahun 725 M beliau bersama I Cing menterjemahkan sutra tantra yang terkenal yaitu Maha-Vairocana Sutra (Ta Re Ru Lai Cing).
  2. Vajrabodhi (Cin Kang Che 663-723 M). Beliau juga pernah belajar di Nalanda dan pada tahun 720 M menterjemahkan Vajrasekhara (Cin Kang Ting Cing) ke bahasa Mandarin.
  3. Amoghavajra (Pu Khung 705-774 M). Beliau adalah siswa Vajrabodhi dan pada tahun 746 M tiba di Chang An.
Pada tahun 747 M Guru Padma Sambhava (Lien Hua Seng Ta She) tiba di Tibet. Dikisahkan bahwa beliau berhasil menundukkan roh-roh halus dari agama pribumi Tibet yang disebut Bon-pa sehingga terbentuklah perpaduan yang harmonis dengan Buddhisme.
Adapun aliran yang terdapat pada Tantra Tibet adalah:
  1. Aliran Nyingma-pa, biasanya disebut pengikut jubah dan topi merah. aliran ini didirikan oleh Guru Padma Sambhava dan Santarakshita pada tahun 749 M.
  2. Aliran Kahdam-pa, dipelopori oleh Atisa pada tahun 1035 M
  3. Aliran Gelug-pa, biasanya disebut juga Lama yang bertopi dan berjubah kuning. Aliran ini adalah aliran pembaharuan yang dipelopori oleh Tsong-ka-pa pada abad XV.
  4. Aliran Kargyu-pa, didirikan pada abad XI oleh Lama Marpa. Tokoh lain dari aliran ini yang terkenal adalah Milarepa.
  5. Aliran Sakya-pa, didirikan oleh Lama Kon-dkon-meho’oggyal-po pada tahun 1072 M.
  1. Aliran Dhyana (Chan Cung/Zen)
Aliran ini lebih dikenal dengan sebutan Buddhisme Zen. Secara harafiah Zen adalah perubahan bunyi dari kata Chan yang berasal dari bahasa Sansekerta Dhyana yang dapat diartikan “meditasi”.
Dapat dikatakan aliran Zen lahir dan tumbuh besar di Tiongkok ketika seorang bhiksu India yang bernama Bodhidharma (Tat Mo Co Su) datang ke Tiongkok pada tahun 520 M. Silsilah Bodhidharma dapat kita lihat sebagai berikut:
Sakyamuni Budha-Maha Kasyapa-Ananda-Sanavasa-Upagupta-Dhritaka-Micchaka-Buddhanandi-Buddhamitra-Bhiksu Parsva-Punyayasas-Asvaghosha-Bhiksu Kapimala-Nagarjuna-Kanadeva-Arya Rahulata-Samghanandi-Samghayasas-Kumarata-Jayata-Vasubandhu-Manura-Hakkenayasas-Bhiksu Simha-Vasasita-Punyamitra-Prajnatara-Bodhidharma.
Setelah kedatangan Bodhidharma ke Tiongkok juga dikenal sebutan enam Patriarch sebagai berikut:
  1. Patriarch I : Bodhidharma
  2. Patriarch II : Hui Khe
  3. Patriarch III : Shen Chie
  4. Patriarch IV : Tao Sin
  5. Patriarch V : Hung Jen
  6. Patriarch VI : Hui Neng
Sub-aliran dari Buddhisme Zen yang masih aktif hingga saat ini adalah:
  1. Sub-aliran Lin Chi (Rinzai), diperkenalkan oleh Master Lin Chi kira-kira pada tahun 850 M.
  2. Sub-aliran Chau Tung (Soto), diperkenalkan oleh Master Tung San Liang Cie (807-869 M0 dan Chau San (840-901 M).
  3. Sub-aliran Huang Po (Obaku), dikembangkan oleh Master Huang Po kira-kira tahun 850 M.
Beberapa sutra yang dapat dikatakan sumber bagi Zen Buddhisme adalah:
  1. Lankavatara Sutra (diterjemahkan ke bahasa Mandarin oleh Buddhabadra)
  2. Vajrachedika Prajnaparamita Sutra (diterjemahkan ke bahasa Mandarin oleh Kumarajiva)
  3. Sutra Altar Patriarch VI
  4. Vimalakirti Nirdesa Sutra (diterjemahkan ke bahasa Mandarin oleh Kumarajiva)
  5. Surangama Sutra (diterjemahkan ke bahasa Mandarin oleh Siksananda)
  1. Aliran Sukhavati (Cing Thu Cung/Jodo Syu)
Aliran Sukhavati adalah sebuah aliran yang menitikberatkan pada puja bakti terhadap Amitabha Buddha. Beliau berdiam di sebuah alam yang bernama Sukhavati (bumi yang penuh dengan kebahagiaan) dan ‘berada’ di sebelah barat dari loka dunia ini.
Aliran ini tidak menitikberatkan pada pelajaran atau penyelidikan sutra-sutra dan meditasi. Tetapi yang terpenting adalah mematuhi Pancasila Buddhis dan menyerahkan diri pada kekuatan Maitri-Karuna Amitabha Buddha dan Bodhisatva Mahasatva lainnya. Yang penting adalah penyerahan diri serta bertobat seraya mengulangi sebutan mulia “Namo Amitabha Buddha” (Namo Amotofo). Di samping itu pemujaan dan bakti terhadap Avalokitesvara Bodhisatva (Kuan She Yin Pu Sa) dan Mahastamaprapta Bodhisatva (Ta She Che Pu Sa) juga dilakukan.
Sering dikatakan: Dia yang menyebut “Namo Amitabha Buddha” dialah orang yang penuh dengan kasih sayang dan welas asih terhadap semua makhluk hidup. Semasa hidup dengan tekun menyebut “Namo Amitabha Buddha” serta menerapkan Pancasila Buddhis dan melaksanakan Maitri-Karuna agar nanti setelah meninggal dunia akan terlahir di alam Sukhavati. Ini jangan semata-mata diartikan setelah mati baru lahir di Sukhavati; akan tetapi pada saat masih hidup akan dapat memastikan terlahir di alam Sukhavati.
Ada tiga sutra yang dijadikan pedoman yaitu:
  1. Amitabha Sutra/Sukhavati Vyuha Sutra (O Mi To Cing)
  2. Maha Sukhavati Vyuha Sutra (Wu Liang Sou Cing)
  3. Amitayus Dhyana Sutra (Kuan Wu Liang Sou Cing)
  1. Aliran Nichiren
Aliran ini berasal dari aliran Tien Tai (Tendai) yang dipelopori oleh seorang bhiksu Jepang yang militan yaitu Nichiren Daishonin (1222-1282 M). Pokok utama dari ajaran Nichiren adalah bersumber pada Saddharma Pundarika Sutra (Hokkekyo). Dengan menyebut dan mengulang “Namu Myoho Rengekyo” sebagai sebutan mulia utama agar dapat menimbulkan keyakinan (sradha) yang kuat terhadap Hokkekyo dan menghapus karma-karma buruk sekaligus menambah karma-karma baik.
Nichiren banyak menulis karya sastra. Di antaranya untuk memperingati guru beliau yang amat sangat beliau cintai dan hormati yaitu Dozenbo, beliau menulis Ho-On-Syo (sastra tentang balas budi) di mana beliau menekankan arti bals budi terhadap orang tua, guru dan negara. Selain itu karya-karya sastra beliau yang cukup terkenal adalah Kaimokusyo (sastra tentang membuka mata) di mana beliau menekankan sifat berkorban beliau terhadap rakyat dan negara serta dunia dan Shohojisyo yang mengisahkan garis besar filsafat beliau.
  1. Aliran Vinaya (Li Cung/Ritsusyu)
Sesuai dengan namanya, aliran ini menitikberatkan pada Vinaya. Di Tiongkok aliran ini dipelopori oleh Bhiksu Tao Hsu An pada periode Dinasti Tang (abad VI M). Pada aliran Vinaya terdapat apa yang disebut Catuh-Vinaya (She Fen Li) yaitu Empat Sumber Vinaya yang terdiri dari:
  1. Sarvastivada Vinaya (Se Thung Li), diterjemahkan ke dalam 61 Chuan pada tahun 404-406 M oleh Punyatara
  2. Dharmagupta Vinaya (She Fen Li), diterjemahkan ke dalam 60 Chuan pada tahun 405 M oleh Budhayasas
  3. Mahasanghika Vinaya (Ta Seng Che Li), diterjemahkan ke dalam 40 Chuan pada tahun 405 M oleh Buddhabadra
  4. Mahisasaka Vinaya (Wu Pu Li), diterjemahkan ke dalam 30 Chuan pada tahun 423 M oleh Buddhajiva




Tiga Aliran utama Buddhisme yang masih ada dan diakui secara umum oleh para ahli sbb:
1. Theravada
Theravada (Pāli: थेरवाद theravāda; Sansekerta: स्थविरवाद sthaviravāda); secara harafiah berarti, “Ajaran Sesepuh” atau “Pengajaran Dahulu”, merupakan aliran tertua Agama Buddha yang masih bertahan. Ditemukan di India. Theravada merupakan ajaran yang konservatif, dan secara menyeluruh merupakan ajaran terdekat dengan Agama Buddha pada awalnya, dan selama berabad-abad menjadi kepercayaan yang berkuasa di Sri Lanka (sekitar 70% dari penduduk) dan sebagian besar benua di Asia Tenggara (Kambodia), (Laos), (Myanmar), (Thailand). Mazhab Theravada juga dijalankan oleh sebagian minoritas dari Barat Daya Cina oleh etnik (Shan dan Tai), Vietnam (oleh Khmer Krom), Bangladesh (oleh etnik group dari Barua, Chakma, dan Magh), Malaysia dan Indonesia, dan yang belakangan ini mendapatkan lebih banyak popularitas di Singapura dan Negara Barat. Saat ini, aliran Theravada mencapai lebih dari 250 juta pengikut di seluruh dunia, dan dalam dekade terakhir ini aliran Theravada telah menanamkan akarnya di Negara Barat dan di India.
Soruce :Dhamma Wiki
2. Mahayana
Mahayana (berasal dari bahasa Sansekerta: महायान, mahāyāna yang secara harafiah berarti ‘Kendaraan Besar’) adalah satu dari dua aliran utama Agama Buddha dan merupakan istilah pembagian filosofi dan ajaran Sang Buddha. Mahayana, yang dilahirkan di India, digunakan atas tiga pengertian utama:
A. Sebagai tradisi yang masih berada, Mahayana merupakan kumpulan terbesar dari dua tradisi Agama Buddha yang ada hari ini, yang lainnya adalah Theravada.
B. Menurut cara pembagian klasifikasi filosofi Agama Buddha berdasarkan aliran Mahayana, Mahayana merujuk kepada tingkat motifasi spiritual (yang dikenal juga dengan sebutan Bodhisattvayana) Berdasarkan pembagian ini, pendekatan pilihan yang lain disebut Hinayana, atau Shravakayana. Hal ini juga dikenal dalam Ajaran Theravada, tetapi tidak dianggap sebagai pendekatan yang sesuai.
C. Menurut susunan Ajaran Vajrayana mengenai pembagian jalur pengajaran, Mahayana merujuk kepada satu dari tiga jalan menuju pencerahan, dua lainnya adalah Hinayana dan Vajrayana. Pembagian pengajaran dalam Agama Buddha Vajrayana, dan tidak dikenal dalam ajaran Agama Buddha Mahayana dan Theravada.
Walaupun asal-usul keberadaan Mahayana mengacu pada Buddha Gautama, para sejarawan berkesimpulan bahwa Mahayana berasal dari India pada abad ke 1, atau abad ke 1 SM. Menurut sejarawan, Mahayana menjadi gerakan utama dalam Agama Buddha di India pada abad ke 5, mulai masa tersebut naskah-naskah Mahayana mulai muncul pada catatan prasasti di India. Sebelum abad ke 11 (ketika Mahayana masih berada di India), Sutra-sutra Mahayana masih berada dalam proses perbaikan. Oleh karena itu, beragam sutra dari sutra yang sama mungkin muncul. Terjemahan-terjemahan ini tidak dianggap oleh para sejarawan dalam membentuk sejarah Mahayana.
Dalam perjalanan sejarahnya, Mahayana menyebar keseluruh Asia Timur. Negara-negara yang menganut ajaran Mahayana sekarang ini adalah Cina, Jepang, Korea dan Vietnam dan penganut Agama Buddha Tibet (etnis Himalaya yang diakibatkan oleh invasi Cina ke Tibet). Aliran Agama Buddha Mahayana sekarang ini adalah “Pure Land”, Zen, Nichiren, Singon, Tibetan dan Tendai. Ketiga terakhir memiliki aliran pengajaran baik Mahayana maupun Vajrayana.
Source : Wikipedia
3. Vajrayana
Vajrayāna Buddhism (Devanagari: वज्रयान) Wajrayana atau kadang ditulis Vajrayana, adalah suatu ajaran Buddha yang di Indonesia lebih sering dikenal dengan nama Tantra atau Tantrayana. Namun banyak juga istilah lain yang digunakan, seperti misalnya: mantrayana, ajaran mantra rahasia, ajaran Buddha eksoterik. Wajrayana adalah ajaran yang berkembang dari ajaran Buddha Mahayana, dan berbeda dalam hal praktik, bukan dalam hal filosofi. Dalam ajaran Wajrayana, latihan meditasi sering di barengi dengan visualisasi.
Source : Wikipedia
HARI-HARI BESAR BUDDHA DAN BODHISATTVA
Menurut kalender kamariah / lunar 

bln  1  tgl   1     : Hari kelahiran Maiterya Bodhisattva / Milek Phosat 
bln  1  tgl   9     : Hari kelahiran Sakradewa Indranam / Giok Hong Siang Tee
bln  2  tgl   8     : Hari pelepasan agung Sakyamuni Buddha
bln  2  tgl   19    : Hari kelahiran Avalokitesvara Bodhisattva / Kwan Im Phosat
bln  2  tgl   21    : Hari kelahiran Samantabhadra Bodhisattva / Phu Xian Phosat
bln  3  tgl   16    : Hari kelahiran Cundi Bodhisattva
bln  4  tgl   4     :  Hari kelahiran Manjushri Bodhisattva 
bln  4  tgl   8     :  Hari kelahiran Sakyamuni Buddha   
bln  4  tgl  28    :  Hari kelahiran Bhaisajyaraja Bodhisattva
bln  5  tgl  13    :  Hari kelahiran Arama Bodhisattva / Kwan Kong 
bln  6  tgl   3     :  Hari kelahiran Dharmapala Pancaskandha Bodhisattva / Wei Tho Phosat
bln  6  tgl  19    :  Hari pencapaian penerangan agung Avalokitesvara Bodhisattva / Kwan Im Phosat
bln  7  tgl  13    :  Hari kelahiran Mahasthamaprapta Bodhisattva / Ta She Ce Phosat
bln  7  tgl  15    :  Hari ulambana
bln  7  tgl  30    :  Hari kelahiran Ksitigarbha Bodhisattva / Ti Cang Wang Phosat
bln  8  tgl  22    :  Hari kelahiran Dipankara Buddha 
bln  9  tgl  19    :  Hari pelepasan agung Avalokitesvara Bodhisattva / Kwan Im Phosat
bln  9  tgl  30    :  Hari kelahiran Bhaisajyaguru Buddha / Yok Se Hud
bln 10  tgl  5     :  Hari kelahiran Acarya Bodhidharma / Tatmo Couse
bln 11  tgl  17   :  Hari kelahiran Amitabha Buddha / Amithofo
bln  12  tgl  8   :   Hari pencapaian penerangan sempurna Sakyamuni Buddha 
bln  12  tgl  29  :  Hari kelahiran Avatamsaka Bodhisattva




Selasa, 13 Desember 2016

Feng shui VS Karma

Feng Shui Vs Karma
Suatu ketika karena satu urusan penting, Waidao hrs melakukan perjalanan jauh. Setelah berjalan sedemikian jauh dan bekal minuman yg dibawanya telah terkuras habis mengisi 
kerongkongannya, sgt wajar kalau ia merasa sangat haus.
Kebetulan ia melalui sebuah dusun, segera diketuknya rmh
terdekat utk meminta seteguk air sbg pelepas dahaga.
Di rmy yg sangat sederhana itu berdiam seorg nenek
bernama Shanliang (Bajik). Nenek Shanliang dgn sangat
ramahnya menyodorkan semangkuk air kpd Waidao. Tapi
anehnya, air minum yg diberikan oleh Nenek Shanliang itu
ternyata ditaburi kulit beras.
Bagi Waidao yg sangat kehausan, alangkah nikmatnya
bila air itu dapat diteguknya seketika. Tetapi sayangnya, karena
di atas permukaan air ditaburi kulit beras, maka Waidao hanya
dpt meminumnya seteguk demi seteguk. Itupun dilakukannya
dgn sambil meniup kulit beras agar tidak terbawa masuk ke
dlm mulutnya. Timbul rasa benci dalam hati Waidao. “Berani-
beraninya mempermainkan diriku, lihat saja akan kubalas
nanti!”
Stlh minum secukupnya, dgn hati yg berapi-
api tetapi tetap menampilkan raut wajah yg penuh senyum,
Waidao menyatakan terima kasih pada Nenek Shanliang dan
para penghuni rumah itu. “Aku adalah seorang guru fengshui.
Hari ini menerima kebaikan pemberian air minum dari kalian, aku
merasa sangat berterima kasih. Demi membalas budi kebaikan
kalian, aku akan membantu melihat fengshui rumah ini.”
Tdk menyangka hanya krn memberi air minum lalu
menerima “rezeki” nomplok, keluarga Shanliang dgn segera
mempersilahkannya melihat kondisi fengshui rmh mrk.
Waidao melihat sebidang tanah “kutukan” yg sangat buruk
fengshuinya, bahkan dapat menyebabkan keluarga itu terputus
keturunannya. Tanah itu terletak lebih rendah permukaannya dari
tanah yang lain.
Waidao berkata, “Ini merupakan sebidang tanah
yg membawa hokkie. Kelak bila ada keluarga yg meninggal,
makamkan di sini, utk selanjutnya keluarga kalian akan kaya
raya.” Keluarga Nenek Shanliang sangat senang mendengar
ucapan Waidao, serta merta mereka mengucapkan beribu-ribu
terima kasih.
Bbrp tahun berlalu, Waidao sekali lagi melalui dusun
itu. Ia masih ingat akan penghinaan yg diterimanya dan ingin
mengetahui hasil dari pembalasannya. Waidao yakin bahwa
keluarga nenek itu pasti sdh menjadi fakir miskin. Tetapi ia
terperangah ketika melihat rmh Nenek Shanliang telah berubah
menjadi rmh gedung yg besar. Waidao berpikir, mgkn saja rmh itu telah dibeli org dari luar dusun yf kaya raya.
Saat itulah pintu rumah terbuka. Ternyata putra Nenek Shanliang. Melihat Waidao, ia dgn gembira sekali mengundang
guru fengshui ini masuk ke dlm rmh.
Tuan rmh memperlakukan Waidao layaknya seorg raja. Mrk menjelaskan bahwa ini semua utk membalas budi Waidao, krn petunjuk Waidaolah maka keluarga mrk menjadi kaya raya.
Waidao tak habis pikir, selama ini perhitungan fengshuinya tak prnh meleset, ttp kenapa keluarga ini justru menjadi kaya
raya?
“Ehm, saya koq tdk melihat Nenek Shanliang? Di mana beliau?” Tanya Waidao.
“Ibu telah meninggal sekitar setahun stlh kedatangan Anda
dulu,” demikian jelas sang putra yg bernama Heping (Damai), “dan sesuai petunjuk Anda, Ibu kami makamkan di tanah hokkie itu.”
“Oh, ya?” Semakin tak habis mengerti Waidao, bagaimana mgkn tanah “kutukan” itu berbalik menjadi tanah “hokkie”?
“Boleh saya menengok makam Nenek Shanliang?”
Dgn segera Heping mengantar Waidao menuju makam.
Benar, tak ada yg keliru, makam itu tepat berada di tengah lokasi tanah “kutukan”, hanya posisi tanah itu lebih tinggi dari semula.
Tak mungkin keluarga miskin itu mampu mengeluarkan biaya
meninggikan posisi tanah kutukan, pasti ada sesuatu yg terjadi, demikian pikir Waidao.
“Ehm, seingat saya tanah ini awalnya tdk setinggi ini,” pancing
Waidao.
“Oh ya, benar, kami juga tidak mengerti, ini tampaknya sudah kehendak Langit. Tepat pada malam hari sebelum pemakaman Ibu, datanglah angin topan yang dahsyat. Tanah hokkie yang rendah ini tertimbun rata oleh tanah longsor, sehingga posisinya menjadi lebih tinggi.
Tak peduli apapun yang terjadi, kami tetap mengikuti petunjuk
Anda memakamkannya di tanah ini. Sejak itu keluarga kami menjadi kaya raya. Sekali lagi, beribu-ribu terima kasih atas petunjuk Anda,” ujar Heping dengan tulus.
“Amituofo, Amituofo.” Tanpa disadari muncul seorang bhiksu tua di belakang mereka.
“Oh, Bhiksu Xinming (Hati dan Nasib), koq tumben datang ke sini,”
sapa Heping.
“Guru Waidao, Bhiksu Xinming ini datang di dusun ini tepat sehari sebelum pemakaman Ibu. Sedang Guru Waidao adalah guru fengshui yang telah berjasa besar pada keluarga kami,” demikian
Heping saling memperkenalkan kedua tokoh itu.
“Amituofo, Pinseng (anggota Sangha miskin, sebutan merendah
bagi diri sendiri) melihat adanya hubungan antara angin topan dengan tanah ini, pun dengan kulit beras dalam minuman,” ujar Xinming dengan perlahan tetapi mantap.
Keringat dingin mengucur di dahi Waidao, khususnya saat mendengar ucapan yang terakhir dari Xinming.
“Kulit beras yang ditaburkan oleh Nenek Shanliang bukan untuk
mempermainkan seseorang, melainkan berdasarkan cinta kasih dan ketulusan hati. Adalah tidak baik bagi orang yang kehausan untuk langsung meneguk air minum dengan rakus.
Menaburkan kulit beras adalah kebajikan yang dilakukan
oleh Nenek Shanliang agar orang yang kehausan itu tidak meneguk air minum dengan seketika yang dapat membahayakan kesehatan yang bersangkutan.” Xinming berkata sambil
menatap ke makam Shanliang.
“Menyerahkan keberuntungan dan bencana pada unsur di luar diri adalah waidao – jalan luar. Demikian pula mencari kebahagiaan dan pembebasan di luar diri sendiri, itu adalah waidao.
Waidao adalah mencari kekuatan di luar diri sendiri dan pasrah sepenuhnya pada kekuatan itu. Ini berbeda dengan Buddha Dharma yang mengajarkan pelatihan diri melepas kebodohan batin untuk mencapai kemurnian Nirvana,”
Xinming berucap dengan pandangan tak beralih dari makam. “Shizhu (donatur pelindung Dharma) bukan orang yang bodoh, pasti memahami ucapan Pinseng. Hanya ini yang bisa Pinseng katakan.
Pintu gubuk Pinseng senantiasa terbuka. Pinseng mohon diri.
Amituofo,” Xinming berlalu sambil mengumandangkan Xinming Ge (Lagu Hati dan Nasib).
Hati baik nasib juga baik, kaya dan berpangkat hingga tua.
Nasib baik hati tidak baik, keberuntungan berubah menjadi
bencana.
Hati baik nasib tidak baik, bencana berubah menjadi keberuntungan.
Hati dan nasib tidak baik, tertimpa bencana dan miskin.
Hati bisa merubah nasib, yang terpenting adalah memiliki hati belas kasih.
Nasib tercipta dari hati, kebahagiaan dan kemalangan disebabkan oleh manusia.
Percaya nasib tidak membina hati, siang dan malam tidak bisa
dipercaya.
Membina hati juga menerima nasib, langit dan bumi akan melindungi dengan sendirinya.
Heping yang tidak paham akan ucapan aneh Xinming hanya bisa
terpaku diam. Tetapi tidak demikian dengan Waidao. Memang benar Waidao bukan orang bodoh seperti yang dikatakan Xinming.
Ia kini paham sepenuhnya. Karma baik Nenek Shanlianglah yang menolong sanak keluarganya terbebas dari pembalasan Waidao.
Hukum alam yang jauh lebih dahsyat dari tatanan fengshui muncul berperan sebagai kondisi yang mematangkan buah karma baik Nenek Shanliang.
Setelah memahami makna di balik peristiwa ini, Waidao menjadi
sadar bahwa fengshui tak lebih hanya merupakan salah satu fasilitas dalam menciptakan kondisi matangnya buah
karma, fengshui bukan satu-satunya faktor penting yang menentukan hokkie seseorang, melainkan karma atau perbuatan kitalah yang sangat menentukan.
Nasib dan kebahagiaan kita, diri sendirilah yang menentukannya.
Waidao setengah berlari mengejar Xinming.

Dhammapada XXV, 21:
Sesungguhnya diri sendiri menjadi
tuan bagi diri sendiri. Diri sendiri adalah
pelindung bagi diri sendiri. Oleh karena
itu kendalikan dirimu sendiri, seperti
pedagang kuda menguasai kuda yang
baik