Translate

Jumat, 15 Januari 2021

AYACITABHATTA JATAKA (JATAKA 19)


AYACITABHATTA JATAKA (JATAKA 19)

“Pikirkan tentang kehidupan setelah ini,” dan seterusnya.

Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada diJetawana, mengenai persembahan korban karena sumpah yang diucapkan kepada para dewa. Menurut cerita yang disampaikan secara turun temurun, dewasa ini, penduduk yang akan melakukan perjalanan untuk berdagang, biasanya membunuh makhluk hidup dan mempersembahkan mereka sebagai korban kepada para dewa, dan memulai perjalanannya setelah mengucapkan sumpah seperti ini — “Jika kami kembali dengan selamat dan membawa keuntungan, kami akan membunuh korban yang lain untukmu.”

Saat mereka kembali dari perjalanan itu dan membawa keuntungan, pikiran bahwa ini adalah karena bantuan para dewa, membuat mereka membunuh lebih banyak makhluk hidup dan mempersembahkan korban-korban itu agar bebas dari sumpah yang telah mereka ucapkan.

Saat para bhikkhu mengetahui hal ini, mereka bertanya pada Sang Bhagawan, “Apakah ada kebaikan dengan melakukan hal ini, Bhante?”

Sang Bhagawan pun kemudian menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

____________________

Sekali waktu di Negeri Kāsi, seorang penjaga sebuah desa kecil membuat janji untuk memberikan korban kepada dewa pohon dari sebuah pohon beringin yang tumbuh di dekat pintu gerbang desa. Sesudahnya, saat kembali, ia membunuh sejumlah makhluk hidup dan pergi ke bawah pohon agar ia terlepas dari sumpah yang telah diucapkannya. Namun sang dewa pohon, dengan berdiri di cabang pohon tersebut, mengulangi syair berikut ini:

Pikirkan tentang kehidupan setelah ini saat engkau mencari ‘pembebasan’; Pembebasan yang sekarang ini (engkau lakukan) adalah merupakan suatu ikatan.

Tidak dengan cara demikian, ia yang bijaksana dan penuh kebaikan membebaskan diri mereka sendiri;

Bagi mereka yang bodoh, kebebasan mereka berakhir dalam ikatan.

Setelah itu, para manusia menahan diri dalam melakukan pembunuhan, dan dengan berjalan di jalan yang benar, mereka kemudian terlahir kembali di alam dewa.

____________________

Saat uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kedua kisah itu, dan menjelaskan tentang kelahiran itu dengan berkata, “Saya adalah dewa pohon di masa itu.”

 

Sumber: ITC, Jataka Vol I

TITHA JATAKA


TITHA JATAKA 

“Gantilah tempatnya olehmu,” dan seterusnya . Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika Beliau berada di Jetawana, mengenai seorang mantan tukang emas yang telah menjadi bhikkhu dan tinggal bersama sang Panglima Dhamma (Sāriputta).

Hanya seorang Buddha yang memiliki pemahaman isi hati dan dapat membaca pikiran manusia. Oleh karena itu, tanpa kekuatan itu, sang Panglima Dhamma hanya dapat memahami sedikit isi hati dan pikiran dari teman satu ruangannya, memberikan objek perenungan terhadap noda pikiran kepadanya. Inilah alasan mengapa objek itu tidak begitu bermanfaat baginya. Menurut cerita yang disampaikan secara turun temurun, ia dilahirkan selama lima ratus kali berturut-turut sebagai seorang tukang emas. Akibat terus menerus melihat keindahan emas murni dalam waktu yang begitu lama, objek perenungan yang diberikan oleh Thera Sāriputta menjadi tidak begitu membantunya. Ia menghabiskan waktu empat bulan tanpa mendapatkan kemajuan apa pun selain yang berhasil dicapainya saat permulaan latihan. Mengetahui bahwa ia tidak mampu membantu teman satu ruangannya mencapai tingkat kesucian Arahat, sang Panglima Dhamma berpikir, “Tidak ada orang lain lagi, selain Buddha sendiri, yang mampu memperbaiki hal ini. Saya akan membawanya menemui Sang Buddha.” Maka saat fajar menyingsing, ia membawa bhikkhu itu menemui Sang Buddha.

“Ada apa, Sāriputta?” tanya Sang Guru, “Apa yang membuatmu datang bersama bhikkhu ini?”

“Bhante, saya memberikan sebuah objek perenungan untuknya. Setelah menghabiskan waktu empat bulan, ia masih belum mencapai kemajuan apa pun selain hasil yang dicapainya di awal pelatihan; Saya membawanya menemui Anda, karena berpikir tidak ada orang lain selain seorang Buddha yang dapat mengubah keadaan ini.”

“Objek meditasi apa yang engkau berikan padanya, Sāriputta?”

“Objek perenungan terhadap noda pikiran, Bhagawan.”

“Sāriputta, engkau masih belum memiliki kemampuan untuk mengetahui isi hati dan pikiran seseorang. Engkau boleh pergi terlebih dahulu, dan kembali di sore hari untuk menjemput teman satu ruanganmu ini.”

Setelah meminta thera senior itu pergi, Sang Guru memberikan jubah dalam dan luar yang bagus kepadanya, membuat bhikkhu itu tetap berada di sisinya saat Beliau pergi ke kota melakukan pindapata, melihat Beliau menerima berbagai macam makanan yang didanakan. Saat kembali ke wihara, ia dikelilingi oleh para bhikkhu, sementara Sang Bhagawan beristirahat siang di ruangan yang wangi (gandhakuṭi). Di sore harinya, Sang Guru bersama bhikkhu itu berjalan di sekitar wihara tersebut, Beliau menciptakan sebuah kolam dengan rumpun bunga teratai di dalamnya, dimana teratai itu terlihat sangat indah. “Duduklah di sini, Bhikkhu,” kata Beliau, “dan tataplah bunga ini.” Meninggalkan bhikkhu itu disana, Beliau kembali ke ruangan-Nya yang wangi.

Bhikkhu itu terus menerus menatap bunga itu. Sang Bhagawan membuat bunga tersebut layu. Saat bhikkhu itu masih menatap bunga tersebut, bunga tersebut mulai melayu; kelopaknya berguguran, mulai dari bagian pinggirnya, sejenak kemudian, semua kelopaknya menghilang, berikutnya, benang sari bunga tersebut mulai berjatuhan hingga bagian yang tersisa hanyalah jantung bunga. Melihat proses tersebut, bhikkhu ini berpikir, “Walaupun awalnya bunga ini begitu cantik dan segar; namun akhirnya, warnanya pudar, kelopak dan benang sarinya berguguran, hingga yang tersisa hanyalah jantung bunga. Jika pembusukan dapat menimpa bunga teratai yang seindah ini; apa yang tidak akan menimpa jasmaniku? Semua benda yang terbentuk dari penggabungan beberapa komponen adalah tidak kekal adanya!” Dengan pikiran tersebut, ia mencapai pencerahan.

Mengetahui pikiran bhikkhu itu telah tercerahkan, Sang Guru yang sedang duduk di ruangan wangi itu mengirimkan seberkas bentuk yang mirip dirinya ke tempat tersebut, dan mengucapkan syair ini : —

Buanglah rasa cinta terhadap diri sendiri, dengan tangan yang kau gunakan untuk memetik bunga teratai di musim gugur. Persiapkan hatimu untuk ini, tidak untuk yang lainnya; Jalan menuju kedamaian yang sempurna, dan menuju pemadaman (terhadap nafsu keinginan) yang diajarkan oleh Sang Buddha.

Pada akhir syair ini, bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian Arahat. Dengan pikiran bahwa ia tidak akan dilahirkan lagi, tidak dipusingkan oleh keadaan kehidupan dalam bentuk seperti apa pun setelah ini, dengan sepenuh hati ia mengucapkan syair berikut ini :

Ia yang hidup dengan pikiran yang matang;

ia yang telah bersih dan bebas dari segala jenis kekotoran,

dengan raga yang terakhir ini; Ia menjalani kehidupan yang suci,

adanya pemahaman yang mendalam, menjadikan ia

sebagai seorang raja yang berkuasa; —

Ia, seperti bulan yang pada akhirnya memenangkan

jalannya dari cengkeraman Rāhu, telah memenangkan pembebasan yang tertinggi.

Kebodohan yang menutupiku, yang dibentuk oleh

khayalan yang timbul akibat adanya kegelapan,

telah ditolak olehku ; —

Seperti, tertipu oleh ribuan sinar yang disorotkan oleh matahari,

yang menghiasi langit dengan siraman cahaya.

Setelah syair dan ungkapan kebahagiaan yang baru saja diucapkannya, ia menemui Sang Bhagawan dan memberikan penghormatan kepada Beliau. Thera Sāriputta yang datang setelahnya, memberikan penghormatan kepada Sang Guru, dan pergi bersama teman satu ruangannya. Saat para bhikkhu mendengar kabar ini, mereka semua berkumpul di Balai Kebenaran, duduk sambil memuji kebajikan Yang Maha Bijaksana, mereka berkata, “Awuso, karena tidak mengetahui isi hati dan pikiran manusia, Thera Sāriputta tidak mengetahui kecenderungan sifat teman satu ruangannya. Namun Sang Guru mengetahuinya. Hanya dalam waktu satu hari, Beliau mampu mengarahkan bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian Arahat, sekaligus mencapai pengetahuan sempurna. Oh, betapa luar biasanya kemampuan yang mengagumkan dari seorang Buddha!”

Sang Guru memasuki balai tersebut dan duduk di tempat yang telah disediakan untuknya, bertanya, “Apa topic pembicaraan pertemuan ini, para Bhikkhu?”

“Tidak ada yang lain, Bhante, selain bahwa Engkau memiliki pemahaman tentang isi hati dan dapat membaca pikiran dari bhikkhu yang tinggal bersama sang Panglima Dhamma.”

“Hal ini bukan sesuatu yang mengagumkan, para Bhikkhu. Sebagai seorang Buddha, memang sudah seharusnya saya mengetahui kecenderungan sifat bhikkhu itu. Di kehidupan yang lampau saya juga mengetahui hal itu dengan baik.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

____________________

Sekali waktu, Brahmadatta memerintah di Benares. Saat itu, Bodhisatta terlahir sebagai penasihat raja dalam urusan pemerintahan dan spiritual. Suatu ketika, para penduduk memandikan seekor kuda liar di tempat pemandian kuda kerajaan. Saat tukang kuda membawa kuda kerajaan mandi di tempat pemandian tersebut, kuda itu merasa terhina sehingga ia menolak untuk mandi di tempat itu. Maka tukang kuda menghadap raja dan berkata, “Paduka, kuda kerajaan menolak untuk mandi.” Raja meminta Bodhisatta menghadap dan berkata padanya, “Pergilah, wahai Yang bijak, dan temukan penyebab mengapa hewan tersebut tidak mau masuk ke dalam air saat tukang kuda membawanya ke tempat pemandian.”

“Baik, Paduka,” jawab Bodhisatta. Ia segera pergi ke sisi perairan itu. Setibanya di sana, ia memeriksa kuda tersebut, menemukan bahwa kuda itu tidak mempunyai luka di bagian manapun dari tubuhnya. Ia mencoba memprediksikan penyebabnya, akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa ada kuda lain yang telah mandi di tempat tersebut, sehingga kuda kerajaan merasa terhina dan tidak mau masuk ke dalam air. Ia bertanya kepada tukang kuda itu hewan apa yang telah mereka mandikan di sana sebelum ini.

“Seekor kuda lain, Tuanku, — seekor hewan yang biasa-biasa saja.” “Ah, karena rasa cinta kepada dirinya sendiri, ia merasa tersinggung sehingga tidak mau masuk ke dalam air,” kata Bodhisatta kepada dirinya sendiri, “hal yang harus dilakukan adalah memandikan dia di tempat lain.” Maka ia berkata kepada tukang kuda itu, “Orang akan merasa bosan, Temanku, bahkan tentang pemilihan tempat, jika ia selalu mendapatkan hal yang sama. Ini juga terjadi pada kuda ini. Ia telah dimandikan di sini sebegitu banyak kalinya sehingga tak terhitung lagi. Bawalah ia ke tempat pemandian yang lain, mandikan dan beri ia minum di sana.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengucapkan syair berikut ini :

Gantilah tempatnya olehmu, dan biarkan kuda itu minum.

Kadang di sini, kadang di sana, dengan selalu mengganti tempatnya.

Bahkan nasi-susu dapat memuakkan bagi manusia pada akhirnya.

Setelah mendengar perkataannya, mereka membawa kuda itu ke tempat yang lain, di sana ia minum dan mandi tanpa kesulitan. Saat tukang kuda memandikan kuda kerajaan tersebut setelah memberinya minum, Bodhisatta kembali untuk menghadap raja. “Baiklah,” kata Raja, “sudahkah kudaku minum dan mandi, Teman?”

“Sudah, Paduka.”

“Mengapa ia menolak untuk melakukan hal itu sebelumnya?”

“Karena alasan berikut ini,” kata Bodhisatta, dan menceritakan keseluruhan kisah itu kepada Raja.

“Orang ini benar-benar pintar,” kata raja, “ia bahkan bisa membaca pikiran seekor hewan.” Raja kemudian memberikan penghargaan kepada Bodhisatta. Setelah meninggal, ia terlahir di alam bahagia sesuai dengan hasilperbuatannya. Demikian juga dengan Bodhisatta, setelah meninggal ia terlahir kembali di alam bahagia, sesuai dengan hasil perbuatannya semasa hidup.

____________________

Setelah uraian itu berakhir, Beliau mengulangi apa yang telah dikatakan-Nya bahwa kecenderungan bhikkhu itu di masa lampau sama seperti saat sekarang ini. Sang Guru mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran itu dengan mengatakan, “Bhikkhu ini adalah kuda kerajaan itu, Ānanda merupakan sang raja, dan Saya sendiri adalah menteri tersebut.”

sumber: ITC, Jataka Vol. I

Sabtu, 09 Januari 2021

MAHILAMUKHA-JATAKA


MAHILAMUKHA-JATAKA

“Awalnya, dengan mendengar,” dan seterusnya . Kisah ini diceritakan oleh Sang Bhagawan ketika berada di Weluwana, mengenai Devadatta, yang mendapatkan kesetiaan Pangeran Ajātasattu, ia memperoleh keuntungan serta kehormatan darinya. Pangeran Ajātasattu membangun sebuah wihara untuk Devadatta di Gayāsīsa, dan setiap hari mempersembahkan  lima ratus mangkuk nasi wangi yang berusia tiga tahun, yang telah dibumbui dengan semua bumbu pilihan. Semua keuntungan dan kehormatan ini membawakan sejumlah pengikut untuk Devadatta, yang tinggal bersamanya, tanpa pernah keluar dari wihara. Saat itu di Rājagaha, hiduplah dua orang sahabat. Satu orang mengucapkan sumpahnya di bawah Sang Guru, sementara yang satunya lagi, bersumpah di bawah Devadatta.

Mereka berdua saling bertemu sepanjang waktu, baik secara kebetulan maupun dengan mengunjungi wihara masing-masing. Suatu hari, murid Devadatta berkata kepada temannya, “Bhante, mengapa setiap hari engkau pergi berkeliling melakukan pindapata hingga keringat bercucuran di tubuhmu? Devadatta hanya perlu duduk dengan tenang di Gayāsīsa, dan hidup dari makanan dari kualitas terbaik yang dibumbui dengan semua bumbu pilihan, tidak perlu melakukan apa yang kamu lakukan. Mengapa mencari penderitaan sendiri? Apakah tidak baik bagimu untuk datang pagi-pagi sekali ke wihara di Gayāsīsa, dan menikmati bubur nasi dengan makanan pembuka setelah itu, mencoba delapan belas jenis makanan padat yang kami miliki dan juga makanan lunak dengan mutu yang baik, yang dibumbui dengan semua bumbu pilihan?”

Karena selalu dibujuk untuk menerima undangan tersebut, bhikkhu ini mulai berniat untuk pergi, dan akhirnya ia pergi juga ke Gayāsīsa, ia makan dan makan, namun ia tidak lupa untuk kembali ke Weluwana pada waktunya. Bagaimanapun, ia tidak dapat terus merahasiakan hal itu; sedikit demi sedikit, bhikkhu yang lain mulai mengetahui ia selalu pergi ke Gayāsīsa dan menikmati makanan yang disediakan untuk Devadatta. Karena itu, teman-temannya bertanya kepadanya, “Benarkah apa yang dikatakan mereka, bahwa engkau menghibur diri dengan makanan yang dipersembahkan untuk Devadatta?”

“Siapa yang mengatakan hal itu?”

“Si anu yangmengatakannya.”

“Benar, Awuso, saya pergi ke Gayāsīsa dan makan di sana. Namun bukan Devadatta yang memberikan makanan kepadaku, bhikkhu lain yang melakukannya.”

“Awuso, Devadatta adalah musuh Buddha; dengan akal liciknya, ia mendapatkan kesetiaan Ajātasattu, dan dengan cara jahat, ia memperoleh keuntungan dan penghormatan untuk dirinya. Namun, kamu yang mengambil sumpah berdasarkan ajaran yang akan membawa nibbana bagi kita, makan makanan yang diperoleh Devadatta dengan cara-cara yang tidak benar. Mari, kami akan membawamu menghadap Sang Guru.” Kemudian mereka membawa bhikkhu itu ke Balai Kebenaran.

Ketika Sang Guru melihat kedatangan mereka, Beliau bertanya, “Para Bhikkhu, mengapa bhikkhu ini dibawa bertentangan dengan kehendaknya?”

“Bhante, bhikkhu ini, setelah mengucapkan sumpah di bawah pengawasan-Mu, makan makanan yang diperoleh Devadatta dengan cara-cara yang tidak benar.”

“Benarkah apa yang mereka katakan, bahwa engkau makan makanan yang diperoleh Devadatta dengan cara yang tidak benar?”

“Bukan Devadatta yang memberikan makanan itu kepadaku, Bhante, melainkan orang lain.”

“Jangan membuat dalih di sini, Bhikkhu,” kata Sang Guru. “Devadatta adalah pemimpin yang buruk dengan prinsip yang salah. Oh, bagaimana engkau bisa, setelah mengambil sumpah di sini, makan makanan dari Devadatta, saat engkau menjalankan ajaran-Ku? Namun, engkau memang selalu mudah dipengaruhi, selalu mengikuti perkataan setiap orang yang engkau temui.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini. Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai menterinya. Di saat itu, raja memiliki seekor gajah kerajaan yang bernama Mahilamukha (Paras

Gadis), yang sangat bijaksana dan penuh kebaikan, ia tidak pernah melukai siapa pun.

Suatu malam, beberapa orang pencuri berkumpul di dekat kandang gajah itu, mereka duduk sambil membicarakan rencana mereka : — “Inilah cara untuk menerobos masuk ke dalam sebuah rumah; dan ini adalah cara mendobrak masuk melalui dinding rumah; sebelum membawa kabur barang-barang curian, masuk dengan cara menerobos atau pun mendobrak dinding harus jelas dan terbuka, seperti melalui darat atau dengan menyeberangi sungai. Dalam membawa kabur barang-barang itu, jangan sampai terjebak dalam pembunuhan, di mana kamu tidak akan bisa melawan lagi. Seorang pencuri harus membuang semua kebaikan dan kebajikan yang ia miliki, agar ia cukup kejam. Ia harus menjadi orang yang penuh dengan kebengisan dan kekerasan.” Setelah saling mengajari satu sama lain dengan nasihat-nasihat itu, mereka membubarkan diri.

Mereka datang lagi keesokan harinya, dan beberapa hari setelah itu, mereka selalu mengadakan percakapan yang sama sehingga akhirnya gajah itu menyimpulkan bahwa mereka datang untuk memberikan petunjuk kepadanya, bahwa ia harus berubah menjadi kejam, bengis dan penuh kekerasan. Dan seperti itulah ia berubah. Begitu pelatihnya muncul di pagi hari, gajah itu melilit lelaki itu dengan belalainya dan melemparkannya ke tanah hingga ia meninggal. Dengan cara yang sama ia memperlakukan orang kedua, ketiga dan setiap orang yang mendekatinya.

Berita itu disampaikan kepada Raja, bahwa Mahilamukha telah gila dan membunuh setiap orang yang terlihat olehnya. Raja segera mengundang Bodhisatta dan berkata, “Pergilah, wahai Yang bijaksana, temukan apa yang telah menyesatkannya.”

Bodhisatta pergi ke tempat gajah itu berada, ia memastikan bahwa gajah itu tidak menunjukkan tanda-tanda ada bagian tubuhnya yang sakit. Saat memikirkan kembali semua kemungkinan yang menyebabkan perubahan tersebut, ia tiba pada kesimpulan bahwa gajah itu pasti mendengar pembicaraan orang-orang yang berada di dekatnya. Gajah itu mengira mereka sedang memberikan petunjuk kepadanya, hal inilah yang menyesatkan hewan tersebut. Karena itu, ia bertanya kepada penjaga gajah tersebut apakah belakangan ini ada orang yang melakukan percakapan di dekat kandang gajah pada malam hari. “Ada, Tuanku,” jawab penjaga gajah itu, “beberapa orang pencuri datang kemari dan melakukan pembicaraan.”

Kemudian Bodhisatta pergi menghadap raja dan berkata, “Tidak ada yang salah dengan gajah itu, Paduka, ia disesatkan oleh pembicaraan beberapa orang pencuri.”

“Baiklah, apa yang harus kita lakukan sekarang?”

“Undanglah orang-orang yang penuh dengan kebaikan, para guru dan brahmana untuk duduk di dekat kandangnya dan membicarakan tentang kebaikan.”

“Lakukanlah hal itu, Temanku,” kata Raja. Bodhisatta kemudian mengundang orang-orang yang penuh dengan kebaikan, para guru dan brahmana ke kandang gajah tersebut, dan meminta mereka untuk membicarakan hal-hal yang baik. Maka mereka semua, duduk didekat gajah tersebut, membicarakan hal berikut ini, “Jangan menganiaya maupun membunuh. Orang baik harus tahan terhadap penderitaan, tetap penuh cinta kasih serta murah hati.” Mendengar kata-kata tersebut, gajah itu berpikir mereka pasti memaksudkan itu sebagai bimbingan baginya, ia kemudian memutuskan untuk berubah menjadi baik. Maka ia pun berubah menjadi baik kembali.

“Baiklah, Temanku,” kata Raja kepada Bodhisatta, “sudahkah gajah itu berubah menjadi baik sekarang?”

“Ya, Paduka,” kata Bodhisatta, “berterimakasihlah kepada mereka yang bijaksana dan penuh kebaikan sehingga gajah yang telah tersesat itu kembali menjadi dirinya lagi.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengulangi syair berikut ini : —

Awalnya, dengan mendengarkan pembicaraan yang tidak benar dari para pencuri

Mahilamukha berubah, ia melukai dan membunuh ;

Akhirnya, dengan mendengar kata-kata yang mulia dari mereka yang bijaksana,

gajah kerajaan itu berubah menjadi baik kembali.

 

Raja itu berkata, “Ia bahkan mampu membaca pikiran hewan!” Raja menganugerahkan penghargaan besar kepada Bodhisatta. Setelah hidup hingga usia yang cukup tua, baik raja maupun Bodhisatta meninggal dunia dan terlahir di alam bahagia sesuai dengan apa yang telah mereka perbuat. Sang Guru berkata, “Di kehidupan yang lampau, engkau juga mengikuti perkataan setiap orang yang engkau temui, Bhikkhu; saat mendengar ucapan pencuri, engkau mengikuti perkataan mereka; lalu mendengar kata-kata para bijaksana dan orang-orang baik, kamu juga mengikutinya.”

Setelah uraian-Nya berakhir, Beliau mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Bhikkhu yang berkhianat ini adalah Mahilamukha di masa itu, Ānanda adalah sang raja, dan Saya sendiri adalah menteri tersebut.”

sumber: ITC, Jataka Vol. I

Rabu, 06 Januari 2021

ABHINHA JATAKA


ABHINHA JATAKA 

“Tidak ada butiran yang dapat ditelannya,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang umat awam dan seorang thera yang telah berumur.

Menurut kisah yang disampaikan secara turun temurun, di Sawatthi terdapat dua orang sahabat, yang satu merupakan seorang bhikkhu; setiap hari ia pergi ke rumah temannya, yang selalu memberikan dana makanan kepadanya, kemudian umat awam ini juga makan. Setelah itu, ia akan menemani bhikkhu ini kembali ke wihara. Di sana, mereka akan duduk berbicara sepanjang hari hingga matahari terbenam, barulah umat awam ini kembali ke kota. Dan bhikkhu ini akan menemaninya dalam perjalanan pulang hingga ke gerbang kota, lalu ia sendiri kembali ke wihara lagi.

Kedekatan dua sahabat ini telah diketahui oleh semua bhikkhu yang lain. Suatu hari saat para bhikkhu membicarakan kedekatan antara kedua orang itu, Sang Guru memasuki Balai Kebenaran dan menanyakan topik pembicaraan mereka. Para bhikkhu pun menceritakan hal tersebut kepada Beliau. “Kedekatan kedua orang ini, para Bhikkhu, tidak hanya terjadi di kehidupan ini saja,” kata Sang Guru, “mereka juga dekat pada kelahiran yang lampau.” Setelah mengucapkan katakata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

_____________________

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah Benares, Bodhisatta terlahir sebagai menteri raja. Saat itu, ada seekor anjing yang selalu mengunjungi kandang gajah kerajaan, dan makan ceceran nasi yang terjatuh dari tempat makan gajah itu. Karena selalu mencari makan di tempat tersebut, anjing itu menjadi bersahabat dengan gajah kerajaan. Akhirnya, gajah kerajaan hanya mau makan jika anjing itu juga makan bersamanya. Jika tidak ditemani oleh temannya, mereka memilih untuk tidak makan sama sekali. Anjing itu selalu menyenangkan dirinya dengan berayun ke depan dan belakang belalai gajah tersebut. Suatu hari, seorang penduduk desa membeli anjing itu dari tangan pelatih dan membawanya pulang ke rumah. Sejak kehilangan anjing itu, gajah kerajaan menolak untuk makan, minum maupun mandi. Mereka segera melaporkan hal tersebut kepada raja. Raja mengirim Bodhisatta untuk mencari penyebab hal tersebut. Saat tiba di kandang gajah, Bodhisatta melihat betapa sedihnya gajah itu, ia berkata pada dirinya sendiri, “Gajah ini tidak menderita sakit pada fisiknya, ia pasti mempunyai teman dekat dan sedang berduka karena kehilangan temannya.” Maka ia bertanya apakah gajah itu mempunyai teman.

“Ya, Tuanku,” jawab penjaganya, “ada persahabatan yang hangat antara dia dengan seekor anjing.”

“Di manakah anjing itu sekarang?”

“Seorang lelaki membawanya pergi.”

“Tahukah kamu tempat tinggal lelaki itu?”

“Tidak, Tuan.”

Bodhisatta menghadap raja dan berkata, “Tidak ada masalah apa pun dengan gajah itu, Paduka. Namun, ia sangat akrab dengan seekor anjing, dan saya rasa, kehilangan temannya membuat ia menolak untuk makan.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengulangi syair berikut ini:

Tidak ada butiran yang dapat ditelannya, baik nasi maupun rumput;

Ia bahkan tidak menemukan kesenangan saat mandi sekarang ini.

Saya duga, anjing itu sangat akrab dengannya, gajah dan anjing itu yang merupakan teman terdekat.

“Baiklah,” kata raja setelah mendengar kata-kata tersebut, “apa yang harus kita lakukan sekarang?”

“Sampaikan pengumuman dengan iringan bunyi genderang, yang menyatakan bahwa seorang lelaki dilaporkan telah membawa pergi anjing kesayangan gajah kerajaan, dan lelaki di rumah mana anjing itu ditemukan akan mendapatkan hukuman ini dan itu.” Raja melaksanakan apa yang dikatakannya. Dan saat lelaki yang dimaksud mendengar hal tersebut, ia segera melepaskan anjing itu. Begitu dilepaskan, anjing itu segera menelusuri jalan pulang ke kandang gajah kerajaan. Gajah mengambil anjing itu dengan belalainya dan menempatkan anjing itu di kepalanya sambil mengucurkan air mata serta tersedu-sedu. Kemudian ia menurunkan anjing tersebut kembali ke tanah, melihat anjing itu makan lebih dahulu sebelum ia sendiri juga makan.

“Ia bahkan dapat mengetahui isi pikiran dari seekor hewan,” kata raja, dan membanjiri Bodhisatta dengan penghargaan.

____________________

Demikianlah uraian Sang Guru yang menunjukkan kedekatan kedua sahabat tersebut di kehidupan lampau sama seperti di kehidupan sekarang ini. Setelah itu Beliau membabarkan Empat Kebenaran Mulia (Pembabaran Empat Kebenaran Mulia ini merupakan bagian dari semua Jātaka yang ada, namun kita hanya menyinggung hal tersebut jika membawa berkah berupa pencapaian phala). Kemudian Sang Guru mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Umat awam itu adalah anjing di masa itu, thera itu adalah gajah kerajaan dan Saya sendiri adalah menteri yang bijaksana tersebut.”

sumber: ITC, Jataka Vol. 1

NANDIVISALA JATAKA


NANDIVISALA JATAKA

“Hanya mengucapkan kata-kata yang baik,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai kata-kata tidak enak (kasar) yang diucapkan oleh keenam bhikkhu. Saat berselisih dengan para bhikkhu yang terhormat, keenam bhikkhu ini selalu mencela, memaki dan mencemooh dengan sepuluh jenis kata-kata kasar.

Hal ini disampaikan oleh para bhikkhu kepada Sang Bhagawan. Beliau kemudian mengundang mereka dan bertanya apakah tuduhan itu benar adanya. Saat mereka mengakui hal tersebut, Beliau menegur mereka dengan berkata, “Para Bhikkhu, kata-kata kasar bahkan bisa menyakiti hati hewan; di kehidupan yang lampau, seekor hewan membuat orang yang memakinya menderita kerugian seribu keping uang.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

____________________

Sekali waktu Takkasilā di Negeri Gandhāra diperintah oleh seorang raja, Bodhisatta terlahir sebagai seekor sapi jantan. Saat masih berupa anak sapi, pemiliknya menghadiahkannya kepada seorang brahmana yang mengunjunginya. — Pada masa itu, ada kebiasaan untuk memberikan persembahan berupa sapi kepada para brahmana. Brahmana itu memberi nama Nandi- Visāla (Kebahagiaan Besar) kepadanya, ia memperlakukan anak sapi itu seperti anaknya sendiri, memberinya makanan berupa bubur beras dan nasi. Setelah dewasa, Bodhisatta berpikir, “Saya telah dibesarkan oleh brahmana ini dengan penuh usaha; saat ini di seluruh India tidak ada orang yang bisa menunjukkan sapi dengan kemampuan menarik barang seperti yang saya miliki. Bagaimana jika saya membalas jasa brahmana yang telah memelihara saya dengan cara membuktikan kekuatan saya?”

Karena itu, suatu hari ia berkata kepada brahmana tersebut, “Brahmana, pergilah ke tempat beberapa orang saudagar yang kaya akan kawanan ternak, dan bertaruhlah seribu keping uang bahwa sapimu mampu menarik seratus buah gerobak beserta muatannya.”

Brahmana itu mencari seorang saudagar dan terlibat pembicaraan tentang sapi siapakah yang paling kuat di kota itu. “Oh, sapi milik dia, atau sapi milik dia,” jawab saudagar itu.

“Namun,” brahmana itu menambahkan, “tidak ada seekor sapi pun di kota ini yang dapat menandingi kekuatan sapi jantanku.” Ia berkata, “Saya mempunyai seekor sapi jantan yang dapat menarik seratus buah gerobak beserta isinya.”

“Di mana sapi seperti itu dapat ditemukan?” saudagar itu tertawa.

“Saya memilikinya di rumah,” jawab brahmana itu.

“Mari kita bertaruh!”

“Baik,” jawab brahmana itu, dan bertaruh sebesar seribu keping. Kemudian ia mengisi seratus buah gerobak dengan pasir, kerikil dan bebatuan, lalu mengikat gerobak-gerobak itu menjadi satu kesatuan, dengan satu gerobak di belakanggerobak yang lain. Ia mengikatkan kawat pada as roda gerobak yang berada di depan dengan bagian palang roda cadangannya. Setelah selesai, ia memandikan Nandi-Visāla, memberikan satu takaran beras wangi kepadanya, menggantungkan untaian bunga di lehernya, dan mengikatkannya pada gerobak pertama dari rangkaian gerobak tersebut. Brahmana itu sendiri duduk di atas sebatang galah, melambaikan sebatang tongkat ke udara dan berteriak, “Sekarang, Sapi yang jahat! Tarik mereka, Sapi yang jahat!”

“Saya bukan sapi yang jahat seperti yang dipanggilnya,” pikir Bodhisatta; ia membenamkan keempat kakinya seperti tonggak yang dipancangkan, dan tidak mau bergerak sedikit pun.

Saat itu juga, saudagar itu membuat brahmana tersebut membayar seribu keping. Setelah kehilangan uangnya, ia melepaskan sapi itu dari gerobak dan pulang ke rumah, ia berbaring di tempat tidurnya dengan penuh kesedihan. Saat Nandi-Visāla berjalan masuk dan melihat brahmana itu disiksa oleh rasa sedih, ia berjalan ke arahnya dan bertanya apakah brahmana itu sedang tidur siang. “Bagaimana bisa saya tidur sementara seribu keping uang saya telah dimenangkan orang?”

“Brahmana, sepanjang saya tinggal di rumahmu, pernahkah saya memecahkan pot, atau memeras orang, atau membuat kekacauan?”

“Tidak pernah, Anakku.”

“Kalau begitu, mengapa engkau memanggil saya seekor sapi yang jahat? Engkau seharusnya menyalahkan dirimu sendiri, bukan menyalahkan saya. Pergi dan bertaruhlah dua ribu keping uang kali ini. Hanya ingat untuk tidak salah menyebutku sebagai sapi yang jahat lagi.”

Mendengar kata-kata itu, sang brahmana pergi mencari saudagar tersebut dan memasang taruhan sebesar dua ribu keping uang. Sama seperti sebelumnya, ia merantai seratus buah gerobak menjadi satu rangkaian dan mengikat Nandi-Visāla dengan rapi dan bagus ke gerobak pertama. Jika engkau bertanya bagaimana cara ia mengikat sapi itu, baik, ia melakukannya dengan cara berikut ini : —pertama-tama, ia mengikat sepasang palang ke sebuah tiang, kemudian meletakkan sapi itu di satu sisi, dan mengencangkan sisi yang lain dengan sepotong kayu halus, yang diikatkannya antara sepasang palang itu ke roda as, dengan demikian palang itu tidak akan miring ke sisi mana pun lagi. Dengan cara itu, gerobak yang seharusnya ditarik oleh dua ekor sapi dapat ditarik oleh seekor sapi saja. Duduk di sebatang galah, brahmana itu menepuk bagian belakang Nandi-Visāla dan berkata dengan cara seperti ini, “Majulah sekarang, Temanku yang baik! Tariklah gerobak-gerobak itu, Temanku yang baik!” Dengan sekali sentak, Bodhisatta menarik kawat yang terikat pada seratus buah gerobak itu hingga gerobak yang terakhir berdiri saat gerobak pertama mulai bergerak. Saudagar yang kaya akan ternak itu membayar dua ribu keping uang kepada brahmana itu karena kalah taruhan. Penduduk yang melihat kejadian itu, memberikan sejumlah uang kepada Bodhisatta; semua uang itu diserahkan kepada brahmana tersebut. Dengan demikian, ia mendapat keuntungan besar karena Bodhisatta.

_____________________

Demikianlah Beliau menetapkan, dengan tujuan menegur keenam bhikkhu tersebut, bahwa kata-kata kasar tidakmenyenangkan bagi siapa pun; Sang Guru sebagai seorang Buddha mengucapkan syair berikut ini:

Hanya mengucapkan kata-kata yang baik, jangan mengucapkan kata-kata yang tidak baik. Barang siapa yang mengatakan apa adanya dengan jelas, ia memindahkan sebuah beban yang berat, yang membuat ia kaya akan cinta kasih.

 

Setelah menyelesaikan uraian-Nya agar kita hanya mengucapkan kata-kata yang baik, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Ānanda adalah brahmana tersebut, dan Saya sendiri adalah Nandi-Visāla.”

sumber: ITC, Jataka Vol. I

KULAVAKA JATAKA


KULAVAKA JATAKA

“Biarkan semua anak burung di hutan,” dan seterusnya . Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang bhikkhu yang minum tanpa menyaring airnya terlebih dahulu.

Menurut kisah yang diceritakan secara turun temurun, dua orang bhikkhu muda yang saling bersahabat meninggalkan Sawatthi menuju sebuah desa, di sana mereka tinggal di suatu tempat yang menyenangkan. Setelah menetap beberapa saat, mereka meninggalkan tempat itu menuju ke Jetawana, untuk mengunjungi Yang Tercerahkan Sempurna (Sammāsambuddha). Hanya salah seorang dari mereka yang membawa saringan air, yang seorang lagi tidak membawanya, maka mereka berdua menggunakan saringan yang sama sebelum minum. Suatu hari mereka bertengkar. Pemilik saringan tidak mau meminjamkan saringan itu kepada temannya, ia menyaring dan meminum sendiri air yang telah disaringnya itu. Karena temannya tidak mau memberikan saringan itu, dan karena ia tidak mampu menahan rasa haus yang menyerangnya, ia minum air tanpa disaring terlebih dahulu. Akhirnya tibalah mereka di Jetawana, dan segera memberikan salam dengan penuh penghormatan kepada Sang Guru sebelum duduk. Setelah menyapa mereka dengan ramah, Beliau bertanya dari manakah mereka berdua datang.

“Bhante,” jawab mereka, “kami menetap di sebuah dusun kecil di Negeri Kosala sebelum kami datang untuk mengunjungi Anda.”

“Apakah kalian berdua masih bersahabat seperti saat kalian memulai perjalanan?”

Bhikkhu yang tidak membawa saringan berkata, “Bhante, kami bertengkar di tengah perjalanan dan ia tidak mau meminjamkan saringannya kepada saya.”

Bhikkhu yang satunya lagi berkata, “Bhante, ia tidak menyaring air minumnya, namun – dengan sadar – ia minum air beserta semua makhluk hidup yang terkandung di dalamnya.”

“Benarkah laporan itu, Bhikkhu, bahwa kamu dengan sadar minum air beserta semua makhluk hidup yang terkandung di dalamnya?”

“Benar, Bhante, saya minum air yang belum disaring,” jawab bhikkhu itu.

“Bhikkhu, ia yang bijak dan penuh kebaikan di kehidupan yang lampau, saat terbang menjauh di sepanjang tempat yang tinggi ketika harus menyerahkan kekuasaan atas kota para dewa, pikiran akan adanya cemoohan karena membunuh makhluk hidup demi menyelamatkan kekuasaan mereka, membuat mereka lebih baik memutar kereta perang, mengabaikan kejayaan mereka dengan tujuan menyelamatkan nyawa para garuda muda.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

____________________

Pada suatu waktu ada seorang Raja Magadha yang memerintah di Rājagaha, Negeri Magadha. Sebagaimana ia yang saat ini merupakan Sakka, lahir pada kelahiran sebelumnya di sebuah dusun kecil di Macala, Negeri Magadha. Itu adalah dusun kecil yang sama dalam setiap kelahirannya. Masa itu, Bodhisatta terlahir sebagai seorang bangsawan muda. Ketika saat pemberian nama tiba, ia diberi nama ‘Pemuda Magha’, setelah dewasa ia dikenal sebagai ‘Brahmana Muda Magha’. Orang tuanya memilihkan seorang istri untuknya, yang berasal dari kasta yang sama dengan mereka; dan dia, dengan sebuah keluarga berupa anak lelaki dan perempuan, yang tumbuh besar bersamanya, unggul dalam berdana dan selalu menjaga lima latihan moralitas.

Desa itu hanya ditempati oleh tiga puluh keluarga. Suatu hari, para lelaki berdiri di tengah desa mengadakan pertemuan antar penduduk desa. Setelah membersihkan debu di sekitar tempatnya berdiri, Bodhisatta berdiri dengan nyamannya di sana, namun seseorang datang dan merebut tempat berdirinya. Ia membersihkan tempat yang lain agar dapat berdiri dengan nyaman, — hanya untuk direbut oleh orang lain sebagaimana kejadian sebelumnya. Ia mengulangi hal itu lagi dan lagi, hingga akhirnya ia memberikan tempat berdiri yang nyaman pada semua orang yang berada di sana. Di waktu yang lain, ia membangun sebuah paviliun, — yang kemudian diruntuhkannya kembali, ia membangun sebuah balai desa dengan kursi-kursi dan kendi air di dalamnya. Di lain kesempatan, ketiga puluh lelaki itu dibimbing oleh Bodhisatta menjadi sejalan dengannya; ia mengukuhkan mereka dalam lima latihan moralitas, kemudian bersama mereka melakukan perbuatan baik lainnya. Saat mereka melakukan perbuatan-perbuatan baik, di bawah bimbingan Bodhisatta, mereka biasanya bangun pagi-pagi dan memulai perjalanan, dengan membawa pisau, kapak dan tongkat di tangan mereka. Tongkat itu mereka gunakan untuk menyingkirkan batu-batu yang berserakan di perempatan jalan utama serta jalan-jalan lainnya yang ada di desa itu; pohon-pohon yang bisa tertabrak oleh roda kereta, mereka tebang; jalanan yang berlubang mereka ratakan; mereka membangun jalan lintasan yang tinggi, menggali tempat penampungan air, dan membangun balai desa. Mereka melakukan praktik berdana dan menjaga lima latihan moralitas. Para penduduk desa bertindak bijaksana karena ajaran Bodhisatta dan karena latihan yang mereka jalankan.

Kepala desa kemudian berpikir, “Saat orang-orang ini masih suka mabuk dan melakukan pembunuhan, serta hal-hal buruk lainnya, saya bisa mendapatkan uang dari minuman keras yang mereka minum, serta dari denda dan upeti yang mereka bayar. Namun sekarang, Brahmana Muda Magha bertekad membuat mereka menjalankan latihan; ia membuat mereka berhenti membunuh dan melakukan perbuatan jahat lainnya.” Dengan penuh kemarahan ia berseru, “Aku akan membuat mereka menjalankan lima latihan moralitas itu!” Ia menghadap raja dan berkata, “Paduka, ada segerombolan perampok yang akan merampok desa-desa dan berusaha menyusupkan penjahat-penjahat lainnya ke desa.” Mendengar hal itu, raja meminta kepala desa membawa orang-orang itu menghadapnya. Pergilah kepala desa itu untuk menangkap ketiga puluh lelaki itu dan menyatakan bahwa mereka adalah penjahat-penjahat itu di hadapan raja. Tanpa menyelidiki apa yang (sebenarnya) telah mereka perbuat, raja memberi perintah bahwa mereka semua mendapat hukuman mati diinjak oleh gajah. Untuk itu, mereka dibawa ke halaman istana dan gajah pun di kirim ke sana. Bodhisatta menasihati mereka dengan berkata, “Tetaplah ingat latihan-latihan itu; cintai orang yang telah memfitnahmu, raja dan juga gajah itu seperti kalian mencintai diri kalian sendiri.”

Demikianlah yang dilakukan oleh mereka. Seekor gajah masuk ke halaman istana untuk menginjak mati mereka. Para pengawal berusaha menuntun gajah itu sedekat mungkin dengan mereka, namun gajah itu menolak, hewan itu menjauh sambil mengeluarkan suara yang keras. Satu demi satu gajah dibawa ke halaman istana;— namun semuanya melakukan tindakan yang sama seperti gajah pertama. Menduga mereka pasti membawa ramuan tertentu, raja meminta agar mereka diperiksa. Pemeriksaan segera dilakukan sesuai dengan perintah raja, namun mereka tidak menemukan apa pun; hal itu kemudian dilaporkan kepada raja. “Mereka pasti membaca mantra tertentu,” kata raja, “tanyakan apakah ada mantra yang mereka bacakan.” Pertanyaan itu diajukan kepada mereka, Bodhisatta mengatakan bahwa mereka memang memiliki mantra. Para pengawal menyampaikan hal tersebut kepada raja mereka. Maka raja mengumpulkan mereka di hadapannya dan berkata, “Beritahukan mantramu kepada saya.”

Bodhisatta menjawab, “Paduka, kami hanya mempunyai satu mantra, bahwa tidak seorang pun di antara kami yang melakukan pembunuhan, atau mengambil sesuatu yang tidak diberikan kepada kami, atau melakukan perbuatan yang tidak senonoh, atau berdusta, kami tidak minum minuman keras; kami dipenuhi dengan rasa cinta terhadap kebajikan; menunjukkan kebaikan hati, kami meratakan jalanan, menggali tempat penampungan air, membangun balai desa;— inilah mantra kami, pelindung kami dan sumber kekuatan kami.” Merasa puas dengan jawaban dan tindakan mereka, Raja menganugerahkan kemakmuran yang ada di rumah tukang fitnah itu dan menjadikannya sebagai pelayan mereka; Raja juga memberikan gajah serta desa itu kepada mereka sebagai tambahan.

Selanjutnya, mereka terus melakukan perbuatan kebajikan sesuai dengan keinginan hati mereka; seorang tukang kayu diminta untuk membangun sebuah balai besar di perempatan jalan utama. Namun karena mereka telah tidak memiliki hasrat terhadap wanita, mereka tidak mengizinkan wanita untuk mengambil bagian dalam kebajikan yang mereka lakukan itu.

Sementara itu, di rumah Bodhisatta terdapat empat orang wanita, mereka adalah Sudhammā, Cittā, Nandā, dan Sujā. Saat Sudhammā berada sendirian dengan tukang kayu itu, ia memberikan uang kepada tukang kayu itu dan berkata, “Saudaraku, usahakan untuk menjadikan saya sebagai orang penting yang berhubungan dengan pembangunan balai ini.”

“Baik,” jawab tukang kayu itu, dan sebelum memulai pekerjaan lain dalam pembangunan balai itu, ia mengerjakan beberapa batang kayu untuk dijadikan menara, ia menghiasi, melubangi dan merakit kayu-kayu itu menjadi sebuah menara yang siap pakai. Hasil karyanya itu ditutupi dengan sehelai kain dan diletakkan di pinggir. Ketika pembangunan balai telah selesai, dan tiba saatnya untuk memasang menara, ia berseru, “Astaga, Tuanku, masih ada satu bagian yang belum kita kerjakan.”

“Apa itu?”

“Begini, kita harus mempunyai sebuah menara.”

“Baiklah, buatkanlah satu!”

“Namun menara tidak bisa dibuat dari kayu yang masih basah; kita harus memiliki kayu yang telah ditebang beberapa waktu yang lalu, dihias dan dilubangi serta dikeringkan.”

“Baiklah, apa yang harus kita lakukan sekarang ?”

“Sebaiknya kita melihat apakah ada orang yang mempunyai benda seperti itu di rumah mereka, sebuah menara siap pakai yang dibuat untuk dijual.”

Saat mereka mencari di sekitar tempat itu, mereka menemukan satu di rumah Sudhammā, namun ia tidak mau menjualnya. “Jika kalian bersedia menjadikan saya sebagai rekanan kalian dalam melakukan kebajikan,” katanya, “saya akan memberikannya kepada kalian secara cuma-cuma.”

“Tidak,” jawab mereka, “kami tidak mau ada wanita yang turut ambil bagian dalam kebajikan ini.” Tukang kayu itu berkata, “Tuan-tuan, apa yang Anda katakan? Bahkan sampai ke alam brahma, tidak ada tempat dimana tidak ada wanita. Ambillah menara itu dan pekerjaan kita akan segera selesai.”

Setelah mendapat persetujuan, mereka mengambil kayu menara itu dan menyelesaikan balai tersebut. Kursi-kursi diletakkan dan kendi-kendi air ditempatkan di dalamnya, di sana juga selalu tersedia nasi yang masih hangat. Mereka membangun sebuah dinding dengan sebuah pintu gerbang di sekeliling balai tersebut, jarak antar dinding bagian dalamnya ditaburi dengan pasir dan bagian luarnya ditanami dengan sebaris pohon lontar kipas. Cittā membangun sebuah taman peristirahatan di tempat tersebut, tidak ada tanaman bunga dan buah yang tidak terdapat disana, Nandā juga, ia menggali sebuah tempat penampungan air di tempat yang sama, menutupi permukaannya dengan lima jenis bunga teratai, hingga menjadi begitu indah dipandang mata. Hanya Sujā yang tidak melakukan apa-apa.

Bodhisatta menetapkan tujuh ketentuan ini; membahagiakan ibu, membahagiakan ayah, menghormati saudara (orang) yang lebih tua, berbicara jujur, menghindari kata-kata kasar, menjauhkan diri dari kata-kata fitnah, dan menghindari sifat kikir : —

Barang siapa yang menyokong orang tuanya, orang-orang yang pantas dihormati,

yang ramah, mengucapkan kata-kata yang bersahabat,

tidak memfitnah, Tidak kasar, jujur, pengendali – bukan budak – kemarahan,

—Ia yang akan terlahir di Alam Tiga Puluh Tiga Dewa

pantas disebut sebagai Ia Yang Penuh Kebajikan.

 

Demikianlah kata-kata pujian yang ditanamkan olehnya. Saat ajalnya tiba, ia meninggal dan terlahir kembali di Alam Tiga Puluh Tiga Dewa sebagai Sakka, raja para dewa; teman-temannya juga terlahir di alam yang sama.

Pada masa itu, para asura juga berdiam di Alam Tiga Puluh Tiga Dewa. Sakka, raja para dewa berkata, “Apa baiknya bagi kita dengan kerajaan yang juga ditempati oleh makhluk-makhluk lain?”

Ia membuat para asura minum minuman keras para dewa, dan di saat mereka mabuk, ia membuat mereka terlempar ke kaki Pegunungan Sineru yang curam. Mereka terjatuh ke ‘alam asura’, sebagaimana alam itu dinamakan — wilayah paling bawah dari Pegunungan Sineru, yang setingkat dengan Alam Tiga Puluh Tiga Dewa. Di sana, terdapat sebatang pohon, mirip dengan Pohon Pāricchattaka, yang bisa hidup hingga beribu-ribu tahun lamanya; pohon itu adalah Pohon Cittapāṭali. Mekarnya bunga ini membuat mereka sadar, bahwa tempat itu bukanlah alam dewa, karena di sana yang mekar seharusnya adalah Pohon Pāricchattaka. Mereka berteriak, “Si tua bangka Sakka telah membuat kita mabuk dan melempar kita ke tempat yang sangat dalam, ia telah merampas kota dewa kita.”

“Mari,” teriak mereka, “kita menangkan kembali alam milik kita darinya dengan menggunakan kekuatan senjata.” Mulailah mereka memanjat naik ke sisi atas Pegunungan Sineru, seperti iring-iringan semut yang menaiki pilar. Mendengar raungan tanda bahaya yang menunjukkan bahwa para asura telah bergerak naik, Sakka segera pergi ke tempat para asura untuk bertempur dengan mereka, namun, ia kalah dalam serangan balik itu. Ia terbang di sepanjang puncak demi puncak bagian selatan kedalaman tersebut dengan menggunakan kereta tempurnya, Vejayantaratha (Kereta Tempur Kemenangan), yang panjangnya seratus lima puluh yojana. Tibalah kereta tempurnya yang bergerak secepat kilat itu di Hutan Pohon Simbali. Di sepanjang lintasan kereta itu, pohon-pohon yang kokoh ini habis terpotong seakan-akan dicabut oleh sejumlah tangan, dan jatuh ke dalam lubang yang dalam itu. Saat para garuda muda itu terjatuh ke dalam lubang yang dalam, mereka menjerit dengan keras. Sakka bertanya kepada Mātali, penunggang keretanya, “Mātali, suara apakah itu? Suara tersebut sangat menyayat hati!”

“Paduka, itu adalah suara tangisan burung-burung garuda yang ketakutan, saat pohon yang mereka huni tumbang karena terjangan keretamu.” Makhluk yang sangat agung itu kemudian berkata, “Jangan biarkan mereka mendapat masalah karena saya, Mātali. Jangan karena keselamatan kerajaan, terjadi pembunuhan. Lebih baik saya, demi keselamatan mereka, mengorbankan diri kepada para asura. Putar kembali keretanya.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengulangi syair berikut ini : Biarkan semua anak burung di hutan ini, Mātali, selamat dari terjangan kereta tempur kita. Saya menawarkan, kesediaan untuk menjadi korban, nyawa saya untuk para asura yang berada di sana; burung-burung yang malang ini jangan sampai, karena saya, terlempar dari sarang mereka yang terkoyak-koyak.

Kata-kata itu membuat Mātali, penunggang kereta tempur itu, memutar kembali kereta tempur tersebut, dan menempuh jalan lain kembali ke alam dewa. Saat para asura melihat ia memutar kereta tempurnya, berseru bahwa Sakka dari alam lain tentu telah datang; “Pasti ada bala bantuan yang membuatnya memutar kembali kereta tempurnya.” Merasa keselamatan nyawa mereka terancam, mereka segera melarikan diri dan terus berlari tanpa berhenti hingga mereka tiba kembali di alam asura. Sakka tiba di alam dewanya, berdiri di tengah kota, dikelilingi oleh rombongan dewa yang tinggal di alam tersebut, dan juga dewa-dewa dari alam brahma lainnya. Saat yang sama, sungai di dunia ini memancar tinggi hingga mencapai ‘Istana Kemenangan’ (Vejayanta) di ketinggian beberapa yojana — disebut demikian karena hal tersebut terjadi di saat-saat kemenangan. Untuk mencegah para asura kembali lagi, Sakka menempatkan penjaga di lima tempat, — mengenai apa yang pernah diucapkannya sebelum ini : —Tak terkalahkan pertahanan yang ada di antara kedua kota! Di antara, lima lapis penjagaan, dijaga oleh para nāga, garuda, kumbhaṇḍa, yaksa dan Empat Raja Dewa.

Ketika Sakka menikmati saat-saat ia menjadi raja para dewa di alam dewa yang agung, yang dijaga dengan ketat oleh para pengawalnya di lima tempat, Sudhammā meninggal dunia dan terlahir sebagai pelayan wanita Sakka sekali lagi. Persembahan menara yang diberikannya membuat sebuah balai besar – bernama Sudhammā (Balai pertemuan para dewa)– tercipta untuknya, bertaburkan permata-permata alam dewa, dengan tinggi lima ratus yojana, dimana di bawah naungan sebuah atap putih kerajaan, duduklah Sakka, raja para dewa, yang memerintah manusia dan dewa.

Cittā juga, setelah meninggal, terlahir sekali lagi sebagai pelayan wanita Sakka; persembahan taman peristirahatan yang diberikannya membuat munculnya sebuah taman peristirahatan yang diberi nama Cittalatāvana. Sama halnya dengan Nandā, setelah meninggal dunia, ia terlahir sekali lagi sebagai pelayan wanita Sakka; buah perbuatannya membuatkan sebuah tempat penampungan air membuat timbulnya sebuah kolam di sana yang bernama Nandā. Namun, Sujā, yang tidak melakukan kebaikan apa pun juga, terlahir sebagai seekor burung bangau di sebuah gua dalam hutan. “Tidak ada tanda-tanda munculnya Sujā,” kata Sakka kepada dirinya sendiri. “Saya merasa penasaran ia terlahir kembali di alam mana.” Saat memikirkan hal tersebut, ia menemukan keberadaannya. Maka ia mengunjunginya, membawanya mengunjungi alam dewa untuk menunjukkan kepadanya betapa menyenangkannya kota para dewa itu, Sudhammā, Cittalatāvana, dan Kolam Nandā. “Mereka bertiga,” kata Sakka, “terlahir kembali sebagai pelayan wanita saya karena kebajikan yang mereka lakukan, sedangkan kamu, karena tidak melakukan perbuatan baik apa pun, terlahir kembali di alam yang rendah. Mulai sekarang, jagalah latihan.” Setelah menasehatinya dan mengukuhkan lima latihan moralitas kepadanya, Sakka membawanya pulang kembali (ke tempat asalnya) dan membiarkannya hidup bebas. Mulai saat itu, burung bangau itu menjaga kelima latihan moralitas tersebut. Beberapa waktu kemudian, karena ingin mengetahui apakah ia (mampu) menjaga latihan atau tidak, Sakka pergi ke tempatnya dan muncul di hadapannya dalam bentuk seekor ikan.

Mengira ikan tersebut telah mati, burung bangau itu meraih kepala ikan tersebut. Tiba-tiba ikan tersebut menggerakkan ekornya. “Aduh, ikannya masih hidup,” kata burung bangau tersebut, ia membiarkan ikan tersebut pergi. “Bagus, bagus,” kata Sakka, “kamu mampu menjaga latihan-latihan tersebut.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Sakka pergi meninggalkan tempat itu. Setelah meninggal, burung bangau itu terlahir kembali dalam sebuah keluarga pengrajin tembikar di Benares. Merasa penasaran di manakah Sujā terlahir kembali, Sakka mencari dan akhirnya menemukan tempat ia berada. Sakka menyamar menjadi seorang kakek, mengisi sebuah gerobak dengan mentimun yang terbuat dari emas murni, duduk di tengah desa, berteriak, “Belilah mentimun saya! Belilah mentimun saya!” Para penduduk mendatanginya dan menawar mentimun tersebut.

“Saya hanya melepaskannya untuk mereka yang menjaga latihan,” katanya,”apakah kalian menjaga latihan?”

“Kami tidak tahu apa yang kamu maksudkan dengan ‘latihan’ itu; jual saja mentimun itu kepada kami.”

“Tidak, saya tidak menginginkan uang untuk mentimun saya. Saya akan memberikannya secara cuma-cuma, namun hanya untuk mereka yang menjaga latihan.”

“Siapakah pelawak ini?” gerutu orang-orang itu sebelum meninggalkan tempat tersebut. Sujā berpikir bahwa mentimun itu pasti dibawa untuknya, karena itu ia pergi ke sana dan meminta beberapa buah mentimun. “Apakah engkau menjaga latihan, Nyonya?” tanya kakek itu. “Ya, saya melakukannya,” jawab Sujā.

“Semua ini saya bawa untukmu seorang,” kata kakek itu, dan meninggalkan mentimun, gerobak dan semuanya di depan pintu rumahnya sebelum pergi. Setelah menghabiskan sisa hidupnya dengan tetap menjaga latihan-latian tersebut, Sujā terlahir kembali sebagai putri dari Raja Asura Vepacittiya. Karena kebaikan yang dilakukannya, ia terlahir dengan paras yang jelita. Setelah dewasa, ayahnya mengumpulkan semua asura agar dapat dipilih oleh putrinya untuk dijadikan suami. Sakka, yang telah mencari dan menemukan keberadaannya, mengambil bentuk asura dan turun ke sana, sambil berkata, “Jika Sujā benar-benar memilih seorang suami dari lubuk hati terdalamnya, saya akan terpilih.”

Sujā didandani dan dibawa menuju tempat pertemuan tersebut, tempat dimana ia diminta untuk memilih seorang suami berdasarkan pilihan hatinya. Melihat ke sekeliling dan mengamati Sakka, ia digerakkan oleh rasa cintanya kepada Sakka di kehidupan yang lampau dan memilihnya untuk menjadi suaminya. Sakka membawanya ke kota para dewa dan menjadikannya pimpinan dari dua puluh lima juta orang gadis penari. Setelah ajalnya tiba, ia meninggal dan terlahir kembali di alam yang sesuai dengan hasil perbuatannya.

____________________

Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru menegur bhikkhu tersebut dengan kata-kata berikut ini, “Demikianlah, Bhikkhu, ia yang bijaksana dan penuh kebaikan di kehidupan yang lampau saat memerintah di alam dewa, menghindari, walaupun harus mengorbankan nyawa mereka sendiri, untuk melakukan pembunuhan. Dapatkah kamu, yang telah mengucapkan janji untuk memelihara keyakinan ini, minum air yang belum disaring, beserta semua makhluk hidup yang terkandung di dalamnya?” Kemudian Beliau mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Ānanda adalah Mātali, penunggang kereta tempur itu, dan Saya adalah Sakka.”

sumber: ITC, Jataka Vol. I

Minggu, 03 Januari 2021

Kesadaran Tidak Menuruti Kehendak Seseorang


KESADARAN TIDAK MENURUTI KEHENDAK SESEORANG

Kesadaran yang menyiksa tidak menuruti kehendak seseorang. Kemunculannya yang ditentukan oleh situasi, kesadaran tidak dapat diatur dan tidak dapat dikendalikan. Walaupun seseorang menginginkan pemandangan yang menyenangkan, karena tidak ada pemandangan yang menyenangkan, ia tidak dapat melihat pemandangan yang menyenangkan. Sebaliknya, pemandangan yang menakutkan, yang dibenci yang akan terlihat. Ketika ada obyek-obyek yang tidak menyenangkan, dan ketika mata terbuka. Ini adalah contoh bagaimana kesadaran-mata tidak menuruti kehendak seseorang, muncul dengan sendirinya, bergantung pada kondisi.

Demikian pula, walaupun seseorang ingin mendengar suara yang menyenangkan, karena tidak ada obyek suara yang menyenangkan, suara merdu dan kata-kata indah, dan seterusnya, maka suara menyenangkan itu tidak terdengar. Karena itulah muncul kebutuhan untuk menyediakan radio, recorder, atau kaset untuk menghasilkan, saat diinginkan, suara-suara yang menyenangkan. Kita enggan mendengarkan suara-suara yang tidak menyenangkan. Ketika muncul suara-suara demikian, tidak dapat dihindari suara-suara tersebut akan datang ke telinga kita. Dengan demikian kesadaran-telinga adalah tidak dapat diatur, muncul dengan sendirinya, bergantung pada kondisi.

Dengan cara yang sama, walaupun kita ingin menikmati bau harum, jika bau harum tidak ada, maka keinginan kita tidak terpenuhi. Karena itu orang-orang menyediakan wangi-wangian dan parfum dan bunga-bungaan. Betapapun tidak inginnya, kita terpaksa menghirup bau busuk, ketika bau busuk ada di sekeliling kita, kita harus menderita karena bau itu dan juga harus mengalami sakit pada jasmani seperti sakit kepala, dan lain-lain. Ini adalah bagaimana kesadaran-hidung tidak menuruti kehendak seseorang, muncul dengan sendirinya, bergantung pada kondisi.

Walaupun kita ingin menikmati rasa lezat, kesadaran-kecapan yang menyenangkan tidak dapat muncul karena tidak adanya makanan lezat. Ia hanya muncul jika makanan lezat dimakan. Karenanya mereka sibuk mengejar makanan, siang dan malam. Ketika sakit, mereka berusaha sembuh dengan meminum obat yang pahit, yang tentu saja, tidak nikmat. Ini adalah bagaimana kesadaran-lidah muncul dengan sendirinya tidak dapat dikendalikan dan tidak dapat diatur.

Kesadaran-sentuhan dapat menjadi menyenangkan hanya ketika ada obyek menyenangkan seperti kain yang halus, kasur yang empuk, tempat duduk yang nyaman, dan sebagainya. Oleh karena itu dilakukan usaha terus-menerus untuk mendapatkan obyek-obyek mati dan obyek hidup untuk menikmati sensasi sentuhan yang menyenangkan. Pada saat-saat tertentu ketika cuaca sangat panas atau sangat dingin, atau ketika seseorang menghadapi bahaya seperti duri, paku, api dan senjata atau ketika seseorang sedang sakit, maka ia harus menderita, betapapun enggannya, siksaan dari kesadaran-sentuhan yang tidak menyenangkan, yang jelas tidak dapat dikendalikan, muncul dengan sendirinya, bergantung pada situasi.

Setiap orang menginginkan hidup yang berbahagia, gembira dan memuaskan. Ini hanya dapat dicapai jika seseorang memiliki kekayaan dan perlengkapan yang mencukupi. Karena itu muncul kebutuhan untuk terus-menerus berusaha untuk mempertahankan gaya hidup demikian. Ketika sedang mencari cara-cara untuk hidup nyaman dan gembira demikian, pikiran tentang kesulitan-kesulitan dalam hidup sehari-hari, tentang orang-orang yang dicintai, suami, anak-anak, orang yang telah meninggal dunia, tentang keuangan dan persoalan dalam mencari nafkah, tentang usia tua dan kelemahan jasmani, dapat muncul membuat seseorang menjadi tidak bahagia. Ini adalah bagaimana kesadaran-pikiran menampakkan dirinya, tidak dapat diatur, tidak dapat dikendalikan.

Dikutip dari:
Komentar Anattalakkhaṇa Sutta
Mahasi Sayādaw