Translate

Rabu, 30 Desember 2020

Kanha Jataka


KANHA JATAKA 

“Dengan muatan yang berat,” dan seterusnya . Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai keajaiban ganda, bersamaan dengan turunnya makhluk dewata dari surga, yang berhubungan dengan Buku Ketiga Belas, dalam Sarabhamiga-Jātaka.

Setelah menunjukkan keajaiban ganda, dan telah menetap di surga, Buddha Yang Maha Tahu turun ke Kota Saṁkassa, di saat perayaan Pavāranā agung, kemudian Beliau bersama sejumlah pengiringnya pergi ke Jetawana. Saat berkumpul bersama di Balai Kebenaran, sambil duduk, para bhikkhu memuji kebajikan Sang Guru, dengan berkata, “Awuso, Sang Buddha tiada taranya, tidak ada yang mampu menahan palang yang ditahan oleh Sang Buddha.

Walaupun keenam guru begitu sering mengatakan bahwa mereka, hanya mereka, yang bisa mempertunjukkan keajaiban, namun tidak ada satu keajiban pun yang pernah mereka tunjukkan. Oh, betapa tiada taranya Guru kita!”

Saat itu, Sang Guru masuk ke dalam balai tersebut dan menanyakan topik pembicaraan dalam pertemuan tersebut; Sang Guru mendapat penjelasan bahwa topik mereka tak lain adalah mengenai kebajikan Beliau. “Para Bhikkhu,” kata Sang Guru, “siapa yang mampu menahan palang yang ditahan oleh-Ku? Bahkan di masa lalu, ketika saya hidup sebagai hewan, saya tidak tertandingi.” Setelah mengatakan hal tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

____________________

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor sapi jantan. Saat masih berupa anak sapi, pemiliknya yang tinggal bersama seorang wanita tua, menyerahkan sapi itu sebagai penyelesaian terhadap perhitungan mereka. Wanita itu membesarkannya seperti anaknya sendiri, memberikan ia bubur beras dan nasi serta makanan yang enak lainnya. Ia dikenal sebagai Ayyikākāḷaka (Si Hitam Milik Nenek). Setelah dewasa, ia selalu berkeliaran bersama kawanan ternak lainnya dari desa tersebut, dan warnanya hitam legam. Anak-anak dari desa itu selalu memegang tanduk dan telinga serta melompat ke punggungnya untuk menungganginya. Atau mereka akan menarik ekornya untuk bermain-main, kemudian memanjat ke punggungnya.

 

Suatu hari, ia berpikir, “Ibuku sangat miskin; ia telah membesarkanku dengan segenap usahanya, seakan-akan saya adalah anak kandungnya sendiri. Bagaimana jika saya mendapatkan sedikit uang untuk meringankan penderitaannya?”

Sejak saat itu, ia selalu mencari pekerjaan. Suatu hari, seorang saudagar muda yang merupakan pemilik gerobak yang datang bersama lima ratus buah keretanya, melewati dasar sungai yang sangat kasar, sehingga sapi-sapinya tidak dapat menarik kereta-kereta itu melewati tempat tersebut. Walaupun ia telah mengikatkan kelima ratus pasang sapinya membentuk kelompok besar, mereka masih tidak dapat menarik satu kereta pun untuk menyeberangi sungai tersebut. Sementara itu, Bodhisatta sedang bermain bersama kawanan ternak lainnya di sekitar tempat itu. Saudagar muda yang terbiasa menilai ternak, mengamati kawanan ternak itu untuk melihat apakah di antara mereka ada sapi keturunan murni yang dapat menarik keretanya menyeberangi sungai. Ketika melihat Bodhisatta, ia merasa yakin sapi itu pasti mampu; dan untuk mengetahui siapa pemilik sapiitu, ia bertanya kepada para penggembala yang ada di sana,

“Siapakah pemilik hewan ini? Jika saya boleh mengikatkannya pada palang untuk menyeberangkan kereta saya, saya akan membayar jasanya.” Mereka berkata padanya, “Bawa dan manfaatkan saja dia, majikannya tidak berada di sekitar sini.”

Saat saudagar itu memasangkan tali melalui hidungnya dan mencoba membawanya pergi, Bodhisatta tidak mau bergerak. Menurut apa yang diceritakan secara turun temurun, ia tidak mau bergerak sebelum mereka sepakat tentang bayarannya. Mengerti maksud sapi tersebut, saudagar itu berkata, “Teman, jika kamu bisa menarik kelima ratus buah keretaku menyeberang, saya akan membayar dua keping uang per kereta, atau seribu keping uang secara keseluruhan.”

Setelah sepakat, Bodhisatta bergerak tanpa perlu didorong lagi. Ia pergi ke sungai dan mereka mengikatnya pada kereta milik saudagar itu. Ia menarik kereta pertama dengan satu sentakan, mendaratkannya di tempat yang tinggi dan kering; dengan cara yang sama ia memperlakukan seluruh rangkaian kereta itu.

Saudagar muda itu mengikatkan satu rangkaian koin sejumlah lima ratus keping ke leher Bodhisatta, atau harga yang ia bayar untuk satu kereta hanya satu keping saja. Bodhisatta berpikir, “Orang ini tidak membayar sesuai dengan perjanjian! Saya tidak akan membiarkan dia meneruskan perjalanannya!”

Maka ia berdiri di depan kereta pertama dan menghalangi jalannya. Bagaimana pun mereka coba, mereka tidak dapat memindahkannya dari tengah jalan.

“Saya rasa dia tahu bayarannya kurang,” pikir saudagar itu; dan dia melilitkan ikatan seribu keping ke leher Bodhisatta dan berkata, “Ini bayaran atas jasamu menarik kereta-kereta itu menyeberang.” Bodhisatta segera membawa uang seribu kepingnya pergi mencari “ibunya”.

“Apa yang terdapat di leher Ayyikākāḷaka?” teriak anak-anak desa itu sambil mengejarnya. Namun Bodhisatta melempar mereka dari jauh dan membuat mereka lari tunggang langgang, sehingga ia bisa tiba di tempat “ibunya” dengan selamat. Saat tiba, ia sangat lelah, dengan mata yang memerah, karena menarik lima ratus buah kereta menyeberangi sungai. Wanita yang saleh itu, melihat seribu keping uang yang terlilit di leher Bodhisatta, berteriak, “Dari mana kau dapatkan uang ini, Anakku?” Saat mendengar penjelasan dari para penggembala tentang apa yang telah terjadi, ia berseru, “Pernahkah saya berharap untuk hidup dari uang yang engkau peroleh, Anakku?

Mengapa engkau sampai mengalami kelelahan seperti ini?”

Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia memandikan Bodhisatta dengan air hangat, menyikat seluruh tubuhnya dengan minyak, memberikan minuman dan menyuguhkan makanan yang sepantasnya untuk Bodhisatta. Saat waktunya tiba, ia meninggal dunia, bersama dengan Bodhisatta, terlahir di alam bahagia sesuai dengan hasil perbuatannya.

Ketika Sang Guru telah menyelesaikan uraian untuk menunjukkan bahwa Sang Buddha tidak tertandingi di kehidupan yang lampau hingga kehidupan sekarang ini, Beliau mempertautkannya dengan mengucapkan, sebagai seorang Buddha, syair berikut ini : —

Dengan membawa beban yang berat, melewati jalanan yang rusak,

Mereka mengikatkan ‘Si Hitam’; ia segera menarik muatan itu.

 

Setelah uraian untuk memperlihatkan bahwa hanya ‘Si Hitam’ yang mampu menarik muatan itu, Beliau mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Uppalavaṇṇā adalah wanita tua tersebut dan Saya sendiri adalah ‘Si Hitam Milik Nenek’.”

sumber: ITC, Jataka Vol. I

MUNIKA JATAKA


MUNIKA JATAKA

“Maka jangan iri pada Muṇika yang malang,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana mengenai godaan dari seorang wanita muda yang kasar. Kisah ini berhubungan dengan Buku Ketiga Belas, dalam Culla-Nārada-Kassapa-Jātaka.

Sang Guru bertanya kepada bhikkhu itu dengan berkata, “Benarkah, Bhikkhu, seperti yang mereka katakan, bahwa engkau merasa gelisah karena hasratmu?”

“Benar, Bhante,” jawabnya.

“Bhikkhu,” kata Sang Guru, “ia adalah kutukan untukmu. Di kehidupan yang lampau, engkau bahkan menemui ajalmu dan dijadikan makanan pembuka untuk para undangan dihari pernikahannya.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

____________________

Sekali waktu Brahmadatta memerintah Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor sapi jantan, yang bernama Mahālohita, ia tinggal di tanah milik seorang penjaga sebuah desa kecil. Bodhisatta mempunyai seorang adik yang bernama Cūḷalohita. Dua bersaudara ini melakukan semua pekerjaan tarik menarik barang bagi tuan tanah mereka. Penjaga desa itu memiliki seorang anak perempuan, yang telah dilamar untuk menikah dengan anak lelaki dari seorang pria yang tinggal di kota. Orang tua gadis itu, bermaksud menyediakan makanan pilihan bagi para undangan pernikahan putri mereka, mulai menggemukkan seekor babi yang bernama Muṇika.

Melihat hal itu, Cūḷalohita berkata kepada abangnya, “Semua barang yang harus ditarik untuk keperluan rumah tangga ini selalu dilakukan oleh aku maupun kamu. Namun semua usaha kita hanya dihargai dengan memberikan sedikit rumput dan jerami sebagai makanan kita. Sementara babi itu diberi makan nasi! Apa yang menyebabkan dia mendapatkan makanan seistimewa itu?”

Abangnya berkata, “Adikku, jangan iri padanya; ia hanyalah seekor babi yang sedang menikmati makanan terakhirnya. Ia mendapat makanan seperti itu untuk dijadikan makanan pembuka untuk para undangan saat pernikahan putrid mereka. Hanya itu alasan mereka memberikan makanan seperti itu kepada babi tersebut. Tunggulah beberapa saat lagi hingga tamu-tamu berdatangan. Maka kamu akan melihat babi itu berakhir dalam empat potong sesuai dengan jumlah kakinya, ia akan dibunuh dan akan diproses menjadi kari.”

Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengulangi syair berikut ini :

Maka, jangan iri pada Muika yang malang; itu adalah makanan terakhir yang sedang ia nikmati. Dedakmu yang sederhana ini mengandung janji dan jaminan akan hari-hari yang masih panjang.

 

Tidak lama kemudian para undangan pun tiba. Muṇika dibunuh dan dimasak menjadi berbagai jenis hidangan. Bodhisatta berkata kepada Cūḷalohita, “Apakah kamu telah melihat Muṇika, Adikku?”

“Tentu saja saya telah melihatnya, Abangku, pesta yang diselenggarakan dari daging Muṇika. Makanan sederhana seperti yang kita makan, lebih baik seratus kali, tidak, seribu kali, walaupun itu hanya rumput, jerami dan dedak;— karena makanan kita tidak akan membahayakan jiwa kita, dan merupakan sebuah janji bahwa hidup kita tidak akan dipersingkat.”

____________________

Setelah menyelesaikan uraian mengenai akibat yang diterima oleh bhikkhu itu di kehidupan yang lampau, yang mendapatkan malapetaka karena wanita muda itu, ia dijadikan makanan pembuka bagi para undangan, Beliau membabarkan Dhamma. Saat khotbah berakhir, bhikkhu yang merasa gelisah karena hasratnya itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna. Sang Guru mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran itu dengan berkata, “Bhikkhu yang merasa gelisah akan hasratnya ini adalah Muṇika di masa itu, wanita muda saat ini adalah anak gadis dari penjaga desa itu, Ānanda adalah Cūḷalohita, dan Saya sendiri Mahālohita.”

sumber: ITC, Jataka Vol. I

Nacca Jataka


NACCA JATAKA

“Sebuah pemandangan yang menyenangkan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang bhikkhu yang memiliki banyak harta benda. Kejadian tersebut sama seperti yang terjadi di Devadhamma-Jātaka di bagian sebelumnya. “Apakah laporan tersebut benar, Bhikkhu,” tanya Sang Guru, “bahwa engkau mempunyai banyak benda?”

“Benar, Bhante.”

“Mengapa engkau harus memiliki banyak benda?” Tanpa mendengar lebih lanjut, bhikkhu itu menarik lepas jubah yang dipakainya, berdiri telanjang di hadapan Sang Guru, berteriak, “Saya akan pergi dalam keadaan seperti ini!”

“Oh, dasar tidak tahu malu!” seru setiap orang yang ada di sana. Lelaki tersebut berlari pergi dan kembali menempuh kehidupan sebagai perumah tangga dengan tingkatan yang rendah. Saat berkumpul di Balai Kebenaran, para bhikkhu membicarakan kelakuannya yang tidak layak di hadapan Sang Guru. Saat itu, Sang Guru masuk ke dalam ruangan dan menanyakan topic pembicaraan mereka. “Bhante,” jawab mereka, “kami sedang membicarakan ketidakpantasan sikap bhikkhu itu, tepat di hadapan-Mu dan empat kelompok siswa-Mu, ia kehilangan rasa malunya sehingga berdiri telanjang seperti seorang anak kampung yang miskin. Melihat dirinya tidak disukai siapa pun, ia kembali ke tingkat yang lebih rendah dan kehilangan keyakinannya.”

Sang Guru menjawab, “Para Bhikkhu, ini bukan satu-satunya kehilangan yang terjadi karena ia tidak memiliki rasa malu; di kehidupan yang lampau, ia kehilangan seorang istri yang berharga, sama seperti ia kehilangan sebuah keyakinan yang berharga di saat sekarang ini.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

____________________

Dahulu kala, di awal sejarah kehidupan, hewan-hewan berkaki empat memilih singa menjadi raja mereka, para ikan memilih ikan raksasa Ānanda menjadi raja ikan, dan burung-burung memilih angsa emas sebagai raja burung. Raja angsa emas memiliki anak perempuan yang sangat elok. Sang raja selalu mengabulkan setiap permintaan yang ia sampaikan. Dan ia meminta kesempatan untuk memilih suaminya sendiri. Dalam memenuhi permintaan tersebut, raja mengumpulkan semua jenis burung yang ada di Himalaya. Berbagai jenis burung datang, demikian juga dengan angsa, merak dan jenis burung lainnya; mereka berkumpul di sebuah dataran tinggi dari sebuah lempengan batu yang besar. Raja meminta putrinya untuk pergi ke sana dan memilih suami sesuai keinginannya. Saat mengamati kawanan burung itu, matanya bersinar melihat burung merak dengan hiasan leher yang berkilau dan bulu ekor dari berbagai macam warna. Ia memilih burung merak tersebut, berkata, “Biar dia yang menjadi suamiku.” Kawanan burung yang sedang berkumpul itu mendekati burung merak itu dan berkata, “Merak sahabat kami, putri raja, dalam memilih seorang calon suami di antara semua burung yang ada di sini, telah menjatuhkan pilihannya padamu.”

Terbawa oleh rasa gembira, ia berseru, “Sebelum hari ini, kalian tidak pernah mengetahui betapa aktifnya saya;” dan bertentangan dengan semua batas kesopanan, ia mengembangkan sayapnya dan mulai menari; — saat menari itulah ia tidak menutupi dirinya.

Merasa malu, raja angsa emas berkata, “Burung ini tidak memiliki kerendahan hati dalam dirinya, juga tidak memiliki pembawaan yang sopan; saya tidak akan menyerahkan putriku kepada burung yang demikian tidak tahu malunya.” Di tengah-tengah kawanan burung yang sedang berkumpul, raja angsa emas itu mengulangi syair berikut ini : —

Sebuah pemandangan yang menyenangkan dengan melihatmu, dengan bagian ekor yang elok. Sebuah leher dengan warna seperti Lapis Lazuli. Rentangan bulu-bulumu mencapai jarak hingga satu byāma. Bersama itu, tarianmu menjatuhkan dirimu, Anakku.

Di hadapan semua burung yang sedang berkumpul, raja angsa emas menyerahkan putrinya pada seekor angsa muda yang masih merupakan keponakan raja. Merasa malu karena kehilangan putri raja angsa emas tersebut, burung merak itu segera bangkit dan terbang meninggalkan tempat tersebut. Raja angsa emas juga meninggalkan tempat tersebut kembali ke tempat tinggalnya.

____________________

“Demikianlah, Para Bhikkhu,” kata Sang Guru, “ini bukan pertama kalinya ia melanggar kesopanan yang membuat ia akhirnya menderita kerugian; seperti sekarang ini, ia kehilangan keyakinan yang berharga, di kehidupan yang lampau, ia kehilangan seorang istri yang sangat berharga.” Setelah menyelesaikan uraian tersebut, Beliau mempertautkan dan menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Bhikkhu yang memiliki sejumlah harta benda itu adalah burung merak di masa itu dan Saya sendiri adalah raja angsa emas tersebut.”

sumber: ITC, Jataka Vol. I

Senin, 28 Desember 2020

SAMMODANAMA JATAKA


SAMMODANAMA JATAKA

“Saat kerukunan yang berkuasa,” dan seterusnya . Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika menetap di Taman Beringin dekat Kapilavatthu, mengenai perselisihan tentang bantalan kepala, yang akan berhubungan dengan Kunāla-Jātaka. Pada kesempatan ini, Sang Guru berkata demikian kepada para kerabatnya, “Para raja, perselisihan antar anggota keluarga adalah tidak layak adanya. Benar, di kehidupan yang lampau, hewan-hewan berhasil mengalahkan musuh mereka ketika mereka hidup rukun, dan benar-benar mengalami kehancuran saat mereka berselisih.” Atas permintaan para kerabatnya, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

____________________

Sekali waktu saat Brahmadatta menjadi Raja di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor burung puyuh. Ia tinggal di hutan dan menjadi pemimpin dari beberapa ribu ekor burung puyuh. Pada masa itu terdapat seorang penangkap burung yang datang ke hutan; ia selalu meniru suara burung puyuh, membuat burung-burung itu berkumpul, dan melempar jaring ke arah mereka.

Setelah itu, ia menyimpul sisi-sisi jaring itu menjadi satu, sehingga mereka semua berhimpitan menjadi satu gerombolan. Kemudian, ia akan menjejalkan mereka semua ke dalam keranjang dan membawa mereka pulang untuk dijual, hasil penjualannya akan digunakan untuk menghidupi dirinya. Suatu hari Bodhisatta berkata kepada kawanan burung puyuh tersebut, “Penangkap burung ini merupakan malapetaka untuk kerabat kita. Saya mempunyai sebuah cara agar ia tidak bisa menangkap kita. Mulai sekarang, detik-detik ketika jaring dilemparkan ke arah kalian, tempatkan kepala kalian di mata jaring tersebut dan kalian harus terbang secara serentak beserta jaring ke tempat yang kalian mau, dan biarkan jaring itu jatuh setelah kalian membuat simpul yang rumit; setelah melakukan hal itu, kita dapat melarikan diri dari mata jaring yang telah menjadi beberapa bagian itu.”

“Baik,” jawab mereka semua dengan penuh persetujuan.

Saat berikutnya, ketika jaring itu dilemparkan ke arah mereka, mereka melakukan apa yang telah dikatakan oleh Bodhisatta : — mereka mengangkat jaring itu, dan menjatuhkannya setelah membuat simpul yang rumit, dan membebaskan diri dari jaring tersebut. Ketika penangkap burung masih sibuk menguraikan jaring-jaring tersebut, malam telah tiba; ia pun pulang ke rumah dengan tangan kosong. Keesokan hari dan hari-hari berikutnya, kawanan burung puyuh itu memakai cara yang sama, sehingga sudah menjadi hal yang biasa jika penangkap burung itu sibuk menguraikan jaring hingga matahari terbenam, kemudian pulang dengan tangan kosong. Istri penangkap burung itu marah dan berkata, “Hari demi hari kamu pulang dengan tangan kosong. Menurutku, kamu pasti mempunyai keluarga kedua yang kamu pelihara di tempat lain.”

“Tidak, Istriku,” kata penangkap burung itu, “saya tidak memiliki keluarga kedua yang harus saya pelihara. Kenyataannya, semua burung puyuh itu saling bekerja sama sekarang ini. Saat jaring menimpa mereka, mereka terbang secara bersamaan membawa jaring, kemudian meninggalkan jaring itu dalam keadaan tersimpul. Namun tidak selamanya mereka dapat hidup dalam satu kesatuan. Jangan mempermasalahkan hal ini; begitu mereka mulai terlibat perselisihan antara mereka sendiri, saya akan menangkap kumpulan burung puyuh itu dan membuatmu tersenyum lagi.” Setelah mengucapkan katakata tersebut, ia mengulangi syair berikut ini untuk istrinya : —

Saat kerukunan yang berkuasa, burung-burung dapat menahan jaring yang saya lemparkan.

Saat perselisihan muncul, mereka semua akan menjadi mangsaku.

 

Tidak lama setelah itu, ketika salah seekor burung puyuh hinggap di tanah untuk mencari makan, secara tidak sengaja ia menginjak kepala burung puyuh yang lain. “Siapa yang menginjak kepalaku?” teriak burung itu dengan marah. “Saya, namun saya tidak sengaja. Tolong jangan marah kepadaku,” jawab burung puyuh yang satu. Namun jawaban itu tidak meredakan amarah burung puyuh yang kepalanya terinjak itu. Setelah beberapa kali saling menyahut satu sama lain, mereka mulai saling mencela, dengan berkata, “Saya kira jaring itu diangkat oleh engkau sendiri saja!” Saat mereka saling mencela satu sama lain, Bodhisatta berpikir, “Tidak ada keselamatan bagi mereka yang suka bertengkar. Telah tiba saat bagi mereka untuk tidak mampu mengangkat jaring itu secara bersama lagi. Dengan demikian, saat kehancuran mereka telah datang. Penangkap burung itu akan mendapatkan kesempatannya. Saya tidak dapat tinggal lebih lama lagi di sini.” Oleh sebab itu, ia dan para pengikutnya pergi ke tempat yang lain. Dengan penuh keyakinan penangkap burung itu kembali lagi beberapa hari kemudian, mula-mula ia mengumpulkan mereka dengan cara meniru suara burung, kemudian melemparkan jaring ke arah mereka. Salah seekor burung puyuh itu berkata, “Saya dengar, saat mengangkat jaring, bulu di kepala kamu semakin sedikit. Sekarang tiba waktumu untuk mengangkat jaring ini.” Yang satu lagi membalas, “Kata burung yang lain, saat mengangkat jaring itu, kedua sayapmu berganti bulu. Sekarang kesempatanmu telah datang, angkatlah jaring ini!”

Sementara mereka saling mempersilakan lawan untuk mengangkat jaring, penangkap burung itu sendiri yang mengangkat jaring itu dan menjejalkan mereka ke dalam satu keranjang dan membawa mereka pulang, agar istrinya bisa tersenyum lagi.

____________________

“Demikianlah, Paduka,” kata Sang Guru, “hal-hal seperti perselisihan antar keluarga adalah tidak layak adanya; perselisihan hanya bisa membawa kehancuran.” Setelah uraian tersebut terakhir, Beliau mempertautkan dan menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Devadatta adalah burung puyuh yang bodoh di masa itu, dan Saya sendiri adalah burung puyuh yang bijaksana dan baik tersebut.”

sumber: ITC, Jataka Vol. I

MACCHA JATAKA


MACCHA-JATAKA

“Bukanlah rasa dingin,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, tentang godaan nafsu terhadap seorang bhikkhu oleh mantan istrinya dalam kehidupan berumah tangga. Dalam kesempatan ini, Sang Guru berkata, “Benarkah apa yang saya dengar, bahwa engkau menyesal?”

“Benar, Bhagawan.”

“Karena siapa?”

“Mantan istri saya dalam kehidupan berumah tangga, begitu lembut terasa sewaktu disentuh; saya tidak dapat melepaskannya!” Sang Guru kemudian berkata, “Bhikkhu, wanita itu akan melukaimu. Karena dialah, di kehidupan yang lampau engkau hampir menemui ajalmu, namun diselamatkan oleh Saya.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

____________________

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir menjadi pendeta kerajaannya. Pada masa itu, beberapa orang nelayan melempar jala ke sungai. Seekor ikan besar yang sedang bercumbu dengan pasangannya mendekati jala itu. Ikan betina yang merasakan adanya jala ketika berenang di depan suaminya, segera menghindari jala itu dan lolos. Sementara suaminya yang dibutakan oleh nafsu, berenang tepat ke dalam jala. Begitu para nelayan merasakan ada ikan yang masuk ke dalam jala, mereka menarik jala tersebut dan mengeluarkan ikan itu; mereka tidak langsung membunuhnya, namun melemparkannya ke pasir dalam keadaan hidup. “Kita akan memasaknya dalam bara api untuk dijadikan santapan kita,” kata mereka. Karena itu mereka menyiapkan perapian dan mengerat kayu agar dapat memanggangnya. Ikan itu meratap, berkata pada dirinya sendiri, “Bukan siksaan bara api atau penderitaan karena dipanggang atau rasa sakit lainnya yang membuat aku sedih, melainkan pikiran bahwa istriku akan sedih mengira aku pergi dengan ikan betina lainnya.” Dan ia pun mengulangi syair berikut ini :

Bukanlah rasa dingin, rasa panas maupun lilitan jala;

Hanya rasa takut terhadap apa yang akan dipikirkan oleh istriku yang tercinta,

bahwa kekasih yang lain telah memikat pergi suaminya.

 

Di saat yang sama, pendeta kerajaan itu pergi ke pinggir sungai bersama pelayannya untuk mandi. Pendeta ini mempunyai kemampuan memahami bahasa hewan. Oleh karenanya, saat mendengar ratapan ikan itu, ia berpikir sendiri, “Ikan ini sedang meratap karena hasratnya. Jika ia mati dalam keadaan pikiran yang tidak sehat seperti ini, ia pasti akan terlahir di alam neraka. Saya akan menyelamatkannya.” Maka ia mendatangi para nelayan itu, dan berkata, “Hai, maukah kalian memberikan satu ikan setiap hari untuk dijadikan kari bagi kami?”

“Apa katamu ini, Tuan?” jawab mereka, “Ambil saja ikan yang Anda mau.”

“Kami hanya membutuhkan ikan yang satu ini; berikanlah ia pada kami.”

“Ikan itu adalah milikmu, Tuan.”

Memegang ikan itu dengan kedua tangannya, Bodhisatta duduk di pinggir sungai dan berkata, “Teman, jika engkau tidak terlihat olehku hari ini, engkau telah menerima ajalmu. Di masa yang akan datang, janganlah menjadi budak nafsu lagi.” Dengan nasihat tersebut, ia melepaskan ikan itu ke dalam air, sementara ia sendiri kembali ke kota.

____________________

Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru membabarkan Dhamma kepada mereka. Pada akhir khotbah, bhikkhu yang (tadinya) menyesal tersebut mencapai tingkat kesucian Sotāpanna. Sang Guru juga mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Mantan istri itu adalah ikan betina tersebut, dan Saya sendiri adalah pendeta kerajaan.”

Jumat, 25 Desember 2020

VATTAKA-JATAKA


VATTAKA-JATAKA

“Dengan sayap yang belum bisa terbang,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika sedang dalam perjalanan melakukan pindapata melalui Magadha, mengenai padamnya kebakaran di sebuah hutan. Sekali waktu, Sang Guru melakukan perjalanan pindapata melewati Magadha di pagi hari, Beliau melakukan pindapata melalui sebuah dusun kecil di negeri tersebut. Sekembalinya dari tempat itu, setelah menyantap makanannya, Beliau pergi lagi bersama para bhikkhu. Pada saat itu, timbul kobaran api yang cukup besar.

Terdapat sejumlah anggota Sanggha yang berada di depan maupun belakang Sang Guru saat api itu muncul, memancar jauh dan luas, hingga yang terlihat hanya lautan asap dan kobaran api. Saat itu, beberapa orang bhikkhu yang belum memiliki keyakinan dicengkeram oleh rasa takut terhadap kematian. “Mari kita membuat penangkal api,” seru mereka. “agar api tidak menjalar ke tempat yang telah kita bakar.” Pertimbangan itu membuat mereka bersiap-siap menyalakan api dengan batang-batang kayu yang mudah terbakar. Tetapi bhikkhu yang lain berkata, “Apa yang kalian lakukan? Kalian bertindak seakan tidak mengetahui tentang bulan yang berada di tengah langit, atau matahari terbit dengan ribuan sinarnya dari arah timur, atau laut yang merupakan kumpulan dari pantai, atau Gunung Sineru yang menjulang tinggi di depan mata, — Saat kalian melakukan perjalanan mendampingi Ia Yang Tiada Taranya di antara para dewa dan manusia, kalian tidak memandang Yang Tercerahkan Sempurna, namun berteriak ‘Mari kita nyalakan api!’ Kalian tidak mengetahui kekuatan dari seorang Buddha! Mari, kami akan membawa kalian menemui Sang Guru.” Kemudian mereka berkumpul bersama, baik di depan maupun di belakang Beliau. Para bhikkhu mengelilingi Sang Dasabala. Pada suatu tempat tertentu, Sang Guru berhenti, dengan kumpulan bhikkhu yang mengelilinginya.

Kobaran api yang sedang menjalar itu, mengeluarkan suara seperti akan menelan mereka. Namun, saat api mencapai tempat Sang Buddha berdiri, kobaran api itu tidak dapat lebih dekat dari jarak enam belas karīsa. Pada waktu dan tempat itu juga, api padam—seperti obor yang dicelupkan ke dalam air. Api tidak dapat menyebar melewati diameter dengan radius tiga puluh dua karīsa.

Para bhikkhu meledak dalam pujian terhadap Sang Guru, dengan berkata, “Oh, betapa hebatnya kebajikan seorang Buddha! Bahkan api yang tidak memiliki perasaan, tidak mampu melewati titik, tempat seorang Buddha berdiri, api malah padam laksana obor yang dicelupkan ke dalam air. Oh, betapa mengagumkannya kekuatan seorang Buddha!” Mendengar perkataan itu, Sang Guru berkata, “Bukan karena kekuatan-Ku di kehidupan ini, para Bhikkhu, yang membuat api-api itu padam saat mencapai tempat ini. Hal ini disebabkan oleh ‘kekuatan (pernyataan) kebenaran’ yang Saya lakukan di kehidupan yang lampau. Di tempat ini, tidak ada api yang bisa menyala selama seperentang waktu (kalpa), — keajaiban ini merupakan salah satu dari keajaiban yang akan berlangsung selama satu kalpa ini.” Kemudian Thera Ānanda melipat jubah luar (sangghati) menjadi empat bagian dan menjadikannya sebagai alas duduk untuk Sang Guru. Ia memberikan penghormatan kepada Sang Guru sebelum duduk bersila di satu sisi, demikian juga yang dilakukan oleh para bhikkhu yang kemudian duduk di sekeliling Beliau. Mereka berkata kepada Sang Guru, “Kami hanya mengetahui tentang kejadian di kehidupan sekarang saja, Bhante, sementara kejadian di kehidupan yang lampau kami ketahui. Ceritakanlah kejadian tersebut kepada kami.” Atas permintaan mereka, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

______________________

Sekali waktu di tempat ini, di Magadha, ada seekor burung puyuh yang merupakan penjelmaan Bodhisatta yang terlahir di masa itu. Setelah berjuang membebaskan dirinya dari cangkang telur dari mana ia berasal, ia menjadi seekor burung puyuh kecil, tidak lebih besar dari sebuah bola besar. Kedua orang tuanya menjaga agar ia tetap berada dalam sarangnya, sementara mereka memberinya makanan yang mereka bawa dengan paruh mereka. Dia sendiri, belum mempunyai tenaga untuk mengepakkan sayapnya dan terbang di udara, ataupun untuk berjalan di tanah. Tahun demi tahun, tempat itu selalu diporak-porandakan oleh kebakaran hutan. Pada saat itu, kobaran api mulai menyala disertai dengan suara yang sangat keras. Kawanan burung itu dengan cepat meninggalkan sarang mereka, di bawah cengkeraman rasa takut terhadap kematian, mereka terbang pergi sambil menjerit ketakutan. Kedua orangtua Bodhisatta yang juga merasa ketakutan seperti burung lainnya, segera terbang pergi, meninggalkan anak mereka. Sambil berbaring di dalam sarang, Bodhisatta menjulurkan lehernya dan melihat kobaran api yang sedang menjalar ke arahnya, berpikir, “Jika saya mempunyai kekuatan untuk menggerakkan sayap dan terbang, saya akan segera terbang ke tempat yang aman; atau jika saya mampu untuk menggerakkan kaki dan berjalan, saya akan berlari pergi. Lebih jauh lagi, kedua orang tuaku, karena cengkeraman rasa takut terhadap kematian, telah pergi untuk menyelamatkan diri mereka, meninggalkan saya sendirian di tempat ini. Tidak ada pelindung maupun penolong bersama dengan saya saat ini. Apa yang harus saya lakukan?”

Kemudian pikiran ini terlintas di benaknya : — “Di dunia ini terdapat apa yang disebut kekuatan dari sila, dan yang berhubungan dengan kekuatan kebenaran. Ini adalah tentang Ia yang telah mencapai kesempurnaan di kehidupan yang lampau, yang mencapai penerangan sempurna di bawah pohon Bodhi, yang telah mencapai pembebasan melalui moralitas (sila), pemusatan pikiran (samadhi), dan kebijaksanaan (paññā), juga memiliki pengetahuan (penilikan) batin akan akan pembebasan tersebut; Ia yang dipenuhi dengan kebenaran, belas kasih, cinta kasih dan kesabaran; Ia yang mencintai semua makhluk; yang disebut oleh para manusia sebagai Buddha Yang Maha Tahu. Ada kekuatan dalam semua sifat yang telah mereka menangkan. Saya juga telah mencapai satu kebenaran; Saya percaya akan prinsip tunggal dari alam ini. Karena itu, saya akan membangkitkan pikiran terhadap Buddha di kehidupan yanglampau, dan kekuatan yang Mereka miliki, dan mempertahankan keyakinan yang membuatku menyentuh prinsip-prinsip alam; Melalui kekuatan kebenaran, kobaran api itu akan mundur, menyelamatkan saya dan sisa-sisa burung lainnya.” Karena itu, dikatakannya : —

Ada hasil baik yang tersimpan dalam kebaikan di dunia ini; ada kebaikan, belas kasih, kehidupan yang suci. Dengan demikian, akan saya ucapkan pernyataan kebenaran yang tidak tertandingi. Ingatlah akan kekuatan keyakinan, dan curahkan perhatian pada mereka yang telah berhasil di kehidupan yang lampau, memiliki keyakinan yang kuat pada kebenaran, sebuah pernyataan kebenaran saya ucapkan.

Bodhisatta merenungkan kualitas baik dari para Buddha di kehidupan yang lampau, menunjukkan kekuatan kebenaran atas nama keyakinan sejati akan dirinya, mengulangi syair

berikut ini:

Dengan sayap yang belum bisa terbang, dengan kaki yang belum bisa berjalan, ditinggalkan oleh orang tua, di sinilah saya terbaring!

Oleh karena itu saya memohon kepadamu, raja api yang menakutkan, Jātaveda, untuk berbalik dan pergi!

 

Saat ia mengucapkan pernyataan kebenaran, Jātaveda mundur dari jarak sejauh enam belas karīsa. Ketika kobaran api itu berbalik, mereka tidak melewati hutan untuk melahap semua yang ada di jalan yang mereka lalui, kobaran api itu padam di sana pada saat itu juga, seperti obor yang dicelupkan ke dalam air. Karena itu, dikatakan seperti ini : —

Saya mengucapkan pernyataan kebenaran, dan bersamaan dengan itu kobaran api padam dalam jarak sejauh enam belas karīsa, tanpa meninggalkan luka, — seperti api yang tersiram

oleh air dan padam. Karena tempat itu tidak akan tersentuh oleh api selama satu kalpa, maka keajaiban itu disebut ‘keajaiban kalpa’. Setelah meninggal, Bodhisatta yang telah mengucapkan pernyataan kebenaran, terlahir di alam yang sesuai dengan hasil perbuatannya.

____________________

“Demikianlah, para Bhikkhu,” kata Sang Guru, “bukanlah karena kekuatan-Ku di kehidupan ini, namun karena keajaiban dari kekuatan kebenaran yang ditunjukkan oleh-Ku ketika masih merupakan seekor burung puyuh muda, yang membuat kobaran api meninggalkan tempat ini.” Setelah uraian tersebut berakhir, Beliau membabarkan Dhamma dan di akhir khotbah, beberapa orang bhikkhu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna, beberapa yang lain mencapai tingkat kesucian Sakadāgāmī, dan ada juga bhikkhu yang mencapai tingkat kesucian Anagāmi maupun mencapai tingkat kesucian Arahat. Sang Guru juga mempertautkan dan menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Kedua orang tua saya saat ini adalah orang tua di kehidupan yang lampau, dan Saya sendiri adalah raja burung puyuh.”

sumber: ITC, Jataka Vol. I

Moral Sementara


MORAL SEMENTARA

Kisah di bawah ini mengilustrasikan bagaimana rapuhnya memiliki moral yang sementara.

Kebodohan dari Orang Dungu 

Moral yang sementara, umum, dangkal seharusnya tidak dinilai terlalu tinggi, karena tidak stabil, dan tidak sejati. Sebagai ilustrasi, orang yang bodoh bisa dijadikan contoh. Mereka yang mempunyai kekuatan mistis sangatlah jarang, sangatlah sulit bertemu dengan orang seperti itu meskipun hanya sekali seumur hidup. Suatu saat, seorang yang dungu, bodoh bertemu dengan orang yang sakti itu, dan dianugerahi dengan sebuah hadiah. Dia meminta obat pencahar yang umum ada di setiap rumah. Begitulah dia kehilangan kesempatan berharga yang langka dan hal yang berharga. 

Pada suatu hari, seorang desa yang bodoh bertemu dengan Sakka, Raja dewa. Ketika Sakka menganugerahinya sebuah hadiah, orang bodoh itu meminta sebuah korek dan kotak korek yang bisa membuat nyala api dengan seketika. Sakka memberikan benda-benda ini, tetapi korek api adalah benda umum di dunia ini. Orang itu menerima sesuatu yang tidak berharga sama sekali. 

Di Ava, di abad keenam belas, seorang Raja, ketika berburu bertemu dengan seorang sakti yang mempunyai kekuatan yang bisa memenuhi sebuah permintaannya. Lalu Raja itu meminta seorang bidadari sehingga dia bisa mendapatkan kenikmatan duniawi yang besar. Dia mendapatkan apa yang diinginkan, tetapi kenikmatan kesenangan duniawi sangatlah umum. Lebih lanjut, Raja itu tersesat dan bidadari itu menghilang. Dia hanya mendapatkan kepuasannya satu kali dan kemudian dia meninggal di hutan itu dengan pikiran kacau, merindukan bidadari itu. 

Cerita di atas dengan jelas menunjukkan bahwa kesempatan yang langka ini harus diraih dengan pengetahuan dan kebijaksanaan, sehingga bermanfaat. Ketika Sang Buddha muncul dan Buddha Sāsana masih eksis, seorang murid tidak seharusnya puas dengan moral yang umum dan inferior, yang tidak bisa diandalkan. Seorang yang bijaksana seharusnya berjuang untuk moral berharga yang stabil dan langka, yang tak ternilai dan khas. Mereka yang menganggap tinggi moral yang sementara dan tak stabil adalah seperti orang bodoh itu yang meminta benda umum ketika dianugerahi hadiah. Cacat dari moral yang sementara seharusnya disadari.

Dikutip dan diterjemahkan dari:

A Manual of The Dhamma
Dhamma Dīpanī
By
Ledi Sayādaw
Aggamahāpaṇḍita, D. Litt
Penerjemah: Agus Wiyono

Kamis, 24 Desember 2020

KHADIRANGARA-JATAKA


KHADIRANGARA-JATAKA

 

“Lebih baik saya langsung terjun,” dan seterusnya . Kisah ini disampaikan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai Anāthapiṇḍika. Anāthapiṇḍika yang menghabiskan lima ratus empat puluh juta, dalam keyakinannya kepada Sang Buddha, dengan membangun wihara yang dananya bersumber dari dia seorang diri, yang tidak menghargai hal lain selain Ti Ratana, setiap hari mengunjungi Sang Guru ketika Beliau sedang berada di Jetawana untuk memberikan pelayanan utama (besar), — satu kali di waktu fajar, satu kali setelah sarapan dan satu kali di sore hari; ada juga pelayanan kecil. Dan ia tidak pernah datang dengan tangan kosong, takut kalau-kalau para samanera dan anak-anak menantikan apa yang dibawanya. Ketika datang diwaktu fajar, ia membawa bubur beras. Setelah sarapan ia membawa gi, mentega segar (nawanita), madu, sari tebu dan sejenisnya. Di sore hari ia membawa wewangian, untaian bunga dan pakaian. Begitu banyak yang ia habiskan hari demi hari, jumlah pengeluarannya tidak terhitung banyaknya. Selain itu, banyak pedagang yang meminjam uang darinya dengan membuat surat hutang, hingga jumlahnya sebesar seratus delapan puluh juta dan saudagar besar itu tidak pernah meminta kembali uang tersebut. Di luar itu, terdapat harta keluarganya sebesar seratus delapan puluh juta yang dikubur di tepi sungai, yang hanyut ke laut ketika dihantam oleh badai; kendi yang tidak beraturan (bentuknya) itu kemudian terguling ke bawah, dengan semua pengikat dan tutupnya dalam keadaan tidak terbuka, tepat ke dasar laut. Di rumahnya juga, selalu tersedia nasi untuk lima ratus orang bhikkhu, — sehingga rumah saudagar tersebut bagi para bhikkhu seperti sebuah kolam yang digali di perempatan jalan, yah, ia sudah seperti ibu dan ayah bagi para bhikkhu. Karena itu, bahkan Yang Tercerahkan Sempurna juga biasa mengunjungi rumahnya, demikian juga dengan delapan puluh maha thera, serta jumlah bhikkhu yang masuk keluar rumahnya sudah tak terhitung jumlahnya.

Rumah Anāthapiṇḍika terdiri dari tujuh tingkat dan memiliki tujuh pintu gerbang; di atas pintu gerbang keempat, tinggal seorang makhluk dewata yang berpandangan salah. Ketika Yang Tercerahkan Sempurna mengunjungi rumah tersebut, ia tidak bisa tinggal di kediamannya di tempat yang tinggi, namun harus turun ke lantai dasar bersama anak-anaknya; demikian juga saat kedelapan puluh maha thera ataupun thera-thera lainnya mengunjungi rumah tersebut. Ia berpikir, “Selama Petapa Gotama dan para siswa-Nya mengunjungi tempat ini, saya tidak dapat hidup dengan tenang; Saya tidak bisa harus selalu turun ke lantai dasar. Saya harus membuat mereka berhenti mengunjungi tempat ini.” Maka suatu hari, saat pengelola usaha Anāthapiṇḍika sedang beristirahat, makhluk dewata ini menampakkan diri di hadapannya.

 

“Siapakah itu?” tanya lelaki tersebut.

“Saya,” jawabnya, “makhluk yang tinggal di gerbang keempat.”

“Apa yang membuat Anda muncul di sini?”

“Kamu tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh saudagar tersebut. Ia tidak memikirkan masa depannya sendiri, ia terus menggunakan uangnya, untuk memperkaya Petapa Gotama. Ia tidak berdagang, tidak menjalankan usahanya. Nasihatilah saudagar itu untuk mengurus usahanya dan atur agar Petapa Gotama dan para siswa-Nya tidak datang ke rumah ini lagi.”

Lelaki itu menjawab, “Makhluk yang bodoh, jika saudagar itu menghabiskan uangnya, ia melakukan itu atas keyakinannya terhadap ajaran Buddha, yang mengajarkan tentang pembebasan (nibbana). Bahkan jika ia menarik rambutku dan menjualku sebagai budak, saya tidak akan berkata apa-apa. Pergilah!”

Di hari yang lain, makhluk dewata tersebut menemui putra tertua saudagar itu dan memberinya nasihat yang sama. Ia mencemooh makhluk itu dengan cara yang sama. Namun, makhluk dewata itu tidak berani mengucapkan hal yang sama kepada saudagar itu sendiri. Karena kemurahan hatinya yang tanpa akhir dan karena ia tidak menjalankan usahanya, pendapatan saudagar itu berkurang, kekayaannya juga semakin berkurang dan berkurang; akhirnya ia turun derajat menjadi orang miskin; makanan, pakaian, tempat tinggal dan keadaannya tidak seperti apa yang mereka miliki di waktu jaya dulu. Walaupun keadaannya telah berubah, ia masih menjamu para bhikkhu, meskipun tidak mampu mengadakan perjamuan besar lagi. Suatu hari, setelah ia memberikan hormat dan mengambil tempat duduk, Sang Guru bertanya kepadanya, “Tuan (perumah tangga), apakah dana makanan masih dilakukan di rumahmu?”

“Masih, Bhante,” jawabnya, “namun hanya sedikit bubur sekam yang agak asam, sisa semalam.”

“Jangan bersedih, Tuan, dengan berpikir bahwa engkau hanya mampu menawarkan apa yang kurang enak. Jika hatimu tulus, makanan yang dipersembahkan kepada para Buddha, Pacceka Buddha, dan siswa-siswa-Nya pasti akan terasa enak. Mengapa demikian? — Karena besarnya buah perbuatan baik tersebut. Ia yang mampu membuat hatinya tulus memberi, tidak akan pernah memberikan persembahan dana yang tidak dapat diterima;— seperti yang dibuktikan oleh bait berikut ini : —

Jika hati penuh dengan keyakinan, tidak ada persembahan yang tidak berarti kepada para Buddha atau pengikut mereka yang sejati. Dikatakan tidak ada jasa (pelayanan) yang terhitung kecil yang diberikan kepada para Buddha, yang tercerahkan sempurna.

Baik sekali hasil yang diperoleh dari sedikit persembahan makanan — kering, asam ataupun kurang garam.”

Beliau menjelaskan lebih lanjut, “Tuan, walaupun memberikan persembahan yang tidak enak, tetapi engkau berikan itu kepada mereka yang telah berada di dalam Jalan Utama Beruas Delapan (para ariya puggala). Sedangkan Saya, ketika berada di masa Velāma, menggemparkan satu India dengan memberikan tujuh jenis benda persembahan, dan dalam persembahanku yang berlimpah itu seakan-akan saya membuat satu arus dalam lima sungai yang maha besar, — namun saya tidak dapat menemukan satu orang pun yang berlindung kepada Ti Ratana atau yang menjalankan lima latihan moralitas; karena orang-orang yang pantas menerima pemberian itu sangatlah langka untuk dapat ditemukan. Karena itu, jangan biarkan hatimu terganggu oleh pikiran bahwa persembahanmu tidak enak.”

Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau mengulangi Velāmaka Sutta.

Saat itu, peri yang tidak berani berbicara pada saudagar tersebut di masa jayanya itu berpikir bahwa kini saudagar tersebut telah jatuh miskin dan mungkin ia mau mendengar perkataannya, maka ia masuk ke kamar saudagar tersebut ditengah malam, menampakkan diri di hadapannya, dengan berdiri melayang di udara. “Siapakah itu?” tanya saudagar tersebut saat menyadari kehadirannya. “Saya adalah makhluk dewata, Saudagar yang baik, yang tinggal di gerbang keempat rumahmu.”

“Apa yang membuatmu muncul di sini?”

“Untuk menasihatimu.”

“Lanjutkan, kalau demikian.”

“Saudagar yang baik, kamu tidak memikirkan masa depanmu maupun masa depan anak-anakmu. Kamu menghabiskan kekayaanmu dalam jumlah besar untuk ajaran Petapa Gotama; Kenyataannya, pengeluaran yang terus menerus dalam jangka panjang dan tidak mengadakan usaha yang baru, membuatmu dibawa ke jurang kemiskinan oleh Petapa Gotama. Walaupun demikian, kemiskinan tidak membuatmu melepaskan keyakinan terhadap Petapa Gotama! Para petapa masuk keluar rumahmu saat ini sama seperti sebelumnya. Apa yang mereka dapatkan darimu tidak akan pernah kembali lagi. Hal ini harus mendapat perhatian khusus. Mulai sekarang janganlah mengunjungi Petapa Gotama dan jangan biarkan para siswa-Nya menginjakkan kakinya ke rumahmu lagi. Jangan pernah berpaling untuk melihat Petapa Gotama lagi; uruslah usaha dagang dan jual belimu untuk mendapatkan kembali kekayaan keluargamu.”

Saudagar itu bertanya kepada sang dewata, “Apakah ini nasihat yang ingin engkau sampaikan kepadaku?”

“Benar.”

Saudagar itu berkata, “Sang Dasabala yang sangat hebat telah membuat saya mampu menahan seratus, seribu, yah, menahan seratus ribu makhluk dewata sepertimu!

Keyakinan saya sekuat dan sekokoh Gunung Sineru! Pada dasarnya, saya mencurahkan diri pada keyakinan yang akan membawa saya pada nibbana. Kata-katamu sangat jahat; engkau memberikan sebuah pukulan pada ajaran Sang Buddha, engkau makhluk yang jahat dan lancang. Saya tidak percaya bahwa saya tinggal di bawah satu atap yang sama denganmu. Pergilah engkau dari rumahku sekarang juga dan cari perlindungan di tempat lain!” Mendengar perkataan orang yang telah mencapai tingkat kesucian Sotāpanna dan seorang siswa ariya Sang Buddha, ia tidak bertahan di sana lagi, melainkan kembali ke tempat tinggalnya dan membawa anak-anaknya pergi dari rumah tersebut. Pada saat meninggalkan tempat itu, ia memutuskan bahwa ia tidak dapat tinggal di rumah yang lain, ia akan menenangkan saudagar tersebut dan kembali tinggal di rumahnya lagi. Dengan pikiran tersebut, ia pergi ke tempat perwakilan para makhluk dewata di kota itu, memberikan hormat dan berdiri di hadapan para perwakilan itu. Ketika ditanya mengapa ia datang, ia berkata, “Tuanku, saya telah mengucapkan kata-kata yang dinilai lancang oleh Anāthapiṇḍika, ia marah dan mengusir saya dari rumahnya. Bawalah saya ke sana dan damaikanlah kami, sehingga ia akan mengizinkan saya tinggal di rumahnya lagi.”

“Apa yang kamu katakan pada saudagar itu?”

“Saya katakan padanya agar jangan memberikan dukungan kepada Buddha dan Sanggha di masa mendatang, dan jangan biarkan Petapa Gotama menginjakkan kaki di rumahnya lagi. Inilah perkataan saya padanya, Tuanku.”

“Kata-katamu sangat jahat, memberikan sebuah pukulan pada keyakinan tersebut. Saya tidak dapat membawamu ke rumah saudagar tersebut.” Tidak mendapatkan dukungan dari perwakilan tersebut, ia meminta bantuan dari Empat Raja Dewa. Dan menerima penolakan yang sama dari mereka, dewata itu kemudian menemui Sakka, raja para dewa, dan menceritakan kejadian itu kepadanya serta memohon padanya dengan penuh kesungguhan, seperti berikut ini, “Dewa, tanpa tempat tinggal, saya berkeluyuran seperti tunawisma dengan membawa anak-anak saya. Dengan kekuasaanmu, berikanlah tempat tinggal bagi saya.”

Sakka juga berkata padanya, “Engkau telah melakukan hal yang jahat; memberikan pukulan pada sebuah keyakinan yang tidak tergoyahkan. Saya tidak dapat berbicara pada saudagar itu untuk kepentinganmu. Namun saya dapat memberikan satu jalan yang dapat membuat saudagar itu memaafkanmu.”

“Tolong tunjukkan padaku, Dewa.”

“Ada orang yang mempunyai hutang sebesar seratus delapan puluh juta padanya. Menyamarlah menjadi wakilnya, dan tanpa memberitahu siapa pun, pergilah ke rumah mereka dengan membawa surat hutang mereka, dengan didampingi beberapa yaksa muda. Berdirilah di tengah-tengah rumah mereka dengan surat hutang di satu tangan dan bukti pembayaran di tangan yang lain, takutilah mereka dengan kekuatan yaksa yang engkau bawa, katakan, ‘Ini adalah tanda terima hutangmu. Saudagar kami tidak mempermasalahkan hal ini ketika ia masih kaya, namun sekarang ia telah jatuh miskin, kalian harus membayar hutang kalian.’ Dengan kekuatan yaksa tersebut, tagih seluruh seratus delapan puluh juta itu dan isikan ke dalam tempat penyimpanan hartanya yang telah kosong. Ia memiliki harta lain yang terkubur di tepi Sungai Aciravatī, namun saat pinggiransungai itu disapu oleh badai, harta itu ikut hanyut ke dalam laut. Dapatkan kembali harta itu dengan kekuatan gaib yang kamu miliki, dan simpanlah mereka ke dalam kotak hartanya. Lebih lanjut, ada uang sebesar seratus delapan puluh juta yang tidak ada pemiliknya di tempat anu, bawakan juga uang-uang itu dan isi ke dalam tempat penyimpanan hartanya yang kosong. Setelah engkau menebus kesalahanmu dengan memperoleh kembali lima ratus empat puluh juta ini, minta agar saudagar tersebut memaafkanmu.”

“Baik, Dewa,” jawabnya. Ia melakukan semua pekerjaan itu dengan patuh, sesuai dengan petunjuk yang diberikan kepadanya. Setelah memperoleh kembali semua uang itu, ia pergi ke kamar saudagar itu jauh di tengah malam, dan muncul di hadapannya dengan berdiri di udara. Saudagar itu menanyakan siapakah yang berdiri di sana, dan ia menjawab, “Saya, Saudagar yang baik, makhluk dewata yang buta dan bodoh, yang tinggal di atas gerbang keempat rumahmu. Dalam kebodohan yang membabi buta, saya tidak mengetahui tentang kebajikan dari seorang Buddha, sehingga saya mengucapkan kata-kata seperti itu di masa lalu. Maafkanlah kesalahan saya! Berdasarkan petunjuk dari Sakka, raja para dewa, saya telah menebus kesalahan saya dengan mengumpulkan kembali seratus delapan puluh juta dari piutangmu, seratus delapan puluh juta dari hartamu yang telah hanyut ke dalam laut dan seratus delapan puluh juta harta tanpa pemilik yang terkubur di tempat anu, — mengumpulkan lima ratus empat puluh juta secara keseluruhan, yang telah saya isikan ke dalam tempat penyimpanan hartamu. Jumlah yang kamu habiskan untuk wihara di Jetawana telah terkumpul kembali. Sementara saya tidak mempunyai tempat tinggal, saya sangat menderita. Jangan ingat lagi pada apa yang telah saya lakukan dalam kebodohan saya, Saudagar yang baik, maafkanlah saya.”

Mendengar ucapannya, Anāthapiṇḍika berpikir, “Ia adalah seorang makhluk dewata, mengatakan ia telah menebus kesalahannya, dan mengakui kesalahannya. Sang Guru seharusnya memikirkan hal ini dan menunjukkan kebaikan-Nya pada dewa ini. Saya akan membawanya menghadap Yang Tercerahkan Sempurna.” Maka Anāthapiṇḍika berkata, “Dewa yang baik, jika kamu mau saya memaafkanmu, tanyakanlah hal ini dihadapan Sang Guru.”

“Baik,” jawabnya, “akan saya lakukan. Bawalah saya bersamamu untuk menghadap Sang Guru.”

“Tentu,” jawabnya. Pagi-pagi sekali, saat malam baru saja berlalu, ia membawa dewa itu bersamanya untuk menghadap Sang Guru, dan menyampaikan semua perbuatan makhluk dewata itu kepada Sang Bhagawan. Mendengar hal tersebut, Sang Guru berkata, “Engkau lihat, Tuan perumah-tangga, bagaimana orang yang penuh kejahatan menganggap perbuatan jahatnya sebagai hal yang baik sebelum ia menerima akibat perbuatannya. Setelah akibat perbuatannya berbuah, ia akan melihat kejahatan sebagai kejahatan adanya. Sama halnya dengan orang baik yang melihat kebaikannya sebagai kejahatan sebelum hasil perbuatannya berbuah. Saat perbuatan baiknya telah masak, ia akan melihatnya sebagai kebaikan.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau mengulangi syair Dhammapada berikut ini :

Orang bodoh berpikir kejahatannya sebagai hal yang

baik selama akibat perbuatannya belum berbuah.

Saat buah kejahatannya telah masak,

orang bodoh pasti akan melihat ‘apa yang aku perbuat’ adalah jahat.

Orang baik berpikir kebaikannya sebagai suatu

kejahatan selama perbuatannya belum berbuah.

Saat buah kebaikannya telah masak,

orang baik akan melihat ‘apa yang aku perbuat’ adalah

baik.

 

Saat syair ini selesai disampaikan, makhluk dewata itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna. Ia bersujud di kaki Sang Guru yang mempunyai lambang roda, berseru, “Saya dinodai oleh nafsu keinginan, dirusak oleh kejahatan, disesatkan oleh khayalan dan dibutakan oleh ketidaktahuan. Saya mengucapkan hal-hal yang jahat karena tidak mengetahui tentang kebaikan-Mu. Maafkanlah saya.” Permohonan maafnya diterima oleh Sang Guru dan saudagar tersebut.

Saat itu, Anāthapiṇḍika sendiri yang mengucapkan pujian kepada Sang Guru dengan berkata, “Bhante, walaupun makhluk ini telah berusaha untuk menghentikan dukungan saya terhadap Buddha dan para siswa-Nya, tetapi ia tidak berhasil; meskipun ia mencoba menghentikan persembahan dana saya, saya tetap melakukannya! Bukankah ini merupakan salah satu kebaikan-Mu?” Sang Guru berkata, “Engkau, perumah-tangga, adalah seorang yang telah mencapai Sotāpanna dan merupakan siswa terpilih, keyakinanmu kokoh dan pandanganmu suci. Tidak heran kalau kamu tidak bisa dihentikan oleh makhluk yang tidak bertenaga ini. Adalah suatu keajaiban saat ia yang bijaksana dan penuh kebaikan di kelahiran yang lampau, sebelum seorang Buddha muncul setelah mencapai Penerangan Sempurna, memberikan persembahan dari jantung bunga teratai, walaupun Mara, raja dari alam setan penggoda, muncul di tengah langit, berseru, ‘Jika kamu memberikan persembahan itu, kamu akan dipanggang dalam neraka ini.’ — bersamaan itu, ia menunjukkan pada mereka sebuah lubang sedalam delapan puluh kubik, yang dipenuhi dengan bara api yang merah membara.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, atas permohonan Anāthapiṇḍika Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

____________________

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam keluarga saudagar besar di Benares, ia dibesarkan dalam kemewahan seperti seorang putra mahkota. Saat mencapai kedewasaan di usia enam belas tahun, ia sempurna dalam semua keahlian. Setelah ayahnya meninggal, ia mengisi posisi saudagar besar dan membangun enam balai distribusi dana, masing-masing satu di keempat gerbang kota, satu di pusat kota dan satu lagi di depan gerbang rumahnya yang megah. Ia hidup dengan harta yang berlimpah, ia juga menjaga sila dan menjalankan uposatha.

Suatu hari, saat sarapan, ketika berbagai makanan pilihan dengan rasa dan jenis yang sangat beraneka ragam dihidangkan untuk Bodhisatta, seorang Pacceka Buddha terbangun setelah tujuh hari berada dalam arus jhana, melihat saat itu adalah waktu baginya untuk melakukan pindapata, ia berpikir baik baginya untuk mengunjungi saudagar besar dari Benares di pagi itu. Ia membersihkan giginya dengan menggunakan sikat gigi yang terbuat dari daun sirih, berkumur dengan air dari Danau Anotatta, mengenakan jubah dalamnya saat berdiri di tanah merah, mengencangkan sabuk, mengenakan jubah luarnya; dan dilengkapi dengan sebuah patta sesuai dengan tujuannya untuk melakukan pindapata, ia pergi melalui udara dan tiba di gerbang rumah tersebut bersamaan dengan saat sarapan untuk Bodhisatta dihidangkan.

Begitu Bodhisatta melihat keberadaannya, ia segera bangkit dan menatap pengawalnya, menandakan sebuah pelayanan dibutuhkan. “Apa yang harus saya lakukan, Tuanku?”

“Bawakan patta dari bhikkhu yang agung itu,” kata Bodhisatta.

Saat itu juga, Māra yang jahat, bangkit sambil berseru dengan penuh kehebohan, berkata kepada dirinya, “Ini adalah hari ketujuh sejak Pacceka Buddha ini makan makanan terakhir yang didanakan padanya; jika ia tidak mendapatkan apa-apa hari ini, ia akan mati. Saya akan membinasakannya dan mencegah saudagar itu memberikan persembahannya.” Saat itu juga ia pergi dan muncul di rumah tersebut dengan sebuah lubang yang dipenuhi dengan bara api yang merah membara, sedalam delapan puluh kubik, yang diisi dengan Bara Acacia, yang semuanya menyala dan terbakar laksana Neraka Avici. Setelah menciptakan lubang itu, Māra sendiri berdiri di tengah-tengah udara. Ketika pengawal yang sedang berjalan untuk mengambil patta itu menyadari kehadirannya, ia terkejut dan melangkah mundur. “Apa yang membuatmu kembali lagi, Pelayanku?” Tanya Bodhisatta. “Tuanku,” jawab pelayan itu, “ada sebuah lubang besar dengan bara merah membara, yang sedang menyala dan terbakar di tengah-tengah rumah.” Satu demi satu pelayan pergi ke tempat itu, namun semuanya dipenuhi rasa panik, dan melarikan diri secepat mungkin. Bodhisatta berpikir, “Māra si setan penggoda, pasti memaksakan dirinya menghentikan pemberian dana saya hari ini. Saya telah belajar bagaimanapun juga, saya dapat melepaskan diri dari seratus, bahkan seribu Māra. Hari ini kita akan melihat siapa yang lebih kuat, siapa yang lebih berkuasa, saya atau Māra.” Ia sendiri yang membawa mangkuk itu keluar dari rumah, dan berdiri di tepi lubang yang berapi tersebut, melihat ke langit. Saat itu ia melihat Māra, ia bertanya, “Siapa kamu?”

“Saya adalah Māra,” jawabnya.

“Apakah kamu yang memunculkan lubang dari bara api yang merah membara ini?”

“Benar, saya yang melakukannya.”

“Mengapa?”

“Untuk menghentikan kamu memberikan persembahan dana dan untuk membinasakan Pacceka Buddha itu.”

“Saya tidak akan mengizinkan engkau menghentikan saya memberikan persembahan ini maupun membiarkanmu membinasakan Pacceka Buddha. Hari ini saya ingin melihat apakah engkau atau saya yang lebih kuat.”

Masih berdiri di tepi lubang yang menyala itu, ia berseru, “Pacceka Buddha yang agung, biarpun tindakan ini akan membuat saya langsung jatuh ke dalam lubang dari bara api yang merah membara ini, saya tidakakan mundur. Mohon kesediaan Bhante untuk menerima makanan yang saya bawakan ini.”

Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau mengulangi syair berikut ini : —

Lebih baik saya langsung terjun ke lubang sedalam jurang pemisah dari neraka, daripada melakukan hal yang demikian memalukan!

Mohon Bhante bersedia, menerima uluran tangan yang membawakan persembahan ini!

Dengan kata-kata ini, Bodhisatta memegang mangkuk yang berisikan makanan, melangkah maju dengan berani dan penuh ketetapan hati tepat ke permukaan lubang berapi itu. Namun saat ia melakukan hal tersebut, dari lubang sedalam delapan puluh kubik itu muncul bunga teratai yang besar dan tiada bandingannya, menyangga kaki Bodhisatta! Dari sana, timbul sejumlah serbuk yang jatuh ke kepala makhluk yang agung tersebut, hingga seluruh tubuhnya ditaburi oleh serbuk emas mulai dari kepala hingga ke ujung jari kakinya! Berdiri tepat di jantung teratai itu, ia melimpahkan semua makanan pilihan itu ke dalam mangkuk Pacceka Buddha tersebut. Setelah Pacceka Buddha menerima persembahan makanan itu dan menyampaikan terima kasihnya pada Bodhisatta, ia melemparkan mangkuknya ke langit, dan tepat dibawah tatapan semua orang, ia melayang ke udara, dan meninggalkan tempat itu untuk kembali ke Pegunungan Himalaya, ia terlihat menelusuri jalanan yang dibentuk oleh awan-awan yang tercipta secara ajaib.

Dan Māra, yang telah kalah dan dipenuhi oleh kekesalan, kembali ke kediamannya. Bodhisatta yang masih berdiri di jantung bunga teratai, membabarkan Dhamma kepada semua orang, memuji tentang praktik pemberian dana dan sila; setelah itu, ia berputar kembali dengan dikawal oleh sejumlah orang, masuk ke dalam rumahnya. Sepanjang hidupnya diisi dengan berdana dan kebaikan lainnya, hingga akhirnya ia meninggal dunia dan terlahir kembali ke alam bahagia, sesuai dengan perbuatannya.

___________________

Sang Guru berkata, “Tidak perlu heran, Tuan perumah tangga, bahwa engkau, dengan pengetahuan Dhamma-mu, tidak bisa dikuasai oleh makhluk dewata itu. Kekuatan yang sesungguhnya adalah apa yang dilakukan oleh ia yang bijaksana dan penuh dengan kebaikan di kehidupan yang lampau.” Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Pacceka Buddha di masa itu telah meninggal dunia dan tidak pernah dilahirkan kembali lagi. Saya sendiri adalah saudagar besar dari Benares, yang mengalahkan Māra, dengan berdiri di jantung bunga teratai, mempersembahkan dana makanan ke dalam patta Pacceka Buddha tersebut.”

sumber: ITC, Jataka Vol. I

Rabu, 23 Desember 2020

Menaklukkan Mara


Namo Buddhaya
"Menaklukkan Mara"
(Dengan Paramita)

Bāhum sahassa mabinimmita sāyudhatam
Girimekhalam udita ghorā sasena māram
Dānādi dhamma vidhinā jitavā munindo
Tan tejasā bhavatu te jayamangalāni

Dengan seribu tangan, yang masing-masing memegang senjata
Dengan menunggang gajah Girimekkhala
Mara bersama pasukannya meraung menakutkan
Raja Para Bijaksana menaklukkannya dengan dana dan paramita yang lainnya
Dengan kekuatan ini, semoga engkau mendapat kemenangan sempurna.

Di dalam perjuanganNya yang luar biasa untuk mencapai Penerangan Sempurna, Bodhisatva Siddharta yang sedang duduk bermeditasi di bawah pohon Bodhi di Bodhgaya, dengan tekad yang amat kuat, untuk tidak akan bangun dari tempat dudukNya sebelum memperoleh Penerangan Sempurna dan mencapai Nibbana, datanglah Mara.

Mara adalah makhluk halus atau penggoda, yang bermaksud menghalang-halangi Bodhisatva memperoleh Penerangan Sempurna.
Mara muncul dengan disertai bala tentaranya yang amat besar, bermaksud menyerang Bodhisatva Siddharta.

Balatentara Mara yang amat mengerikan ini mengelilingi Bodhisatva, dari depan sejauh dua belas yojana ¹), dari belakang sejauh dua belas yojana, dari kiri dan kanan selebar sembilan yojana.
Mara sendiri membawa seribu senjata yang amat berbahaya dan duduk menunggangi Gajah Girimekkhala, yang amat besar dengan tinggi seratus lima puluh yojana. Diikuti dengan bala tentaranya yang berwajah amat menyeramkan, mereka semuanya membawa senjata dengan meraung menakutkan, siap menyerang Bodhisatva Siddharta.

Pada saat Mara mendatangi Bodhisatva dengan bala tentara yang begitu besar, maka para dewa, seperti Maha Brahma, Sakka, Rajanaga Manakala dan para dewa lainnya, menyingkir dari tempat itu.
Bodhisatva menghadapi sendiri Mara beserta bala tentaranya dengan berlindung kepada sepuluh Paramita yang telah sejak lama dilatihnya.

Sepuluh Paramita itu adalah :

1. Dana Paramita (Kesempurnaan Kerelaan Hati).
2. Sila Paramita (Kesempurnaan Kemoralan)
3. Nekkhama Paramita (Kesempurnaan Pelepasan Keduniawian)
4. Panna Paramita (Kesempurnaan Kebijaksanaan)
5.Viriya Paramita ( Kesempurnaan Semangat)
6. Khanti Paramita (Kesempurnaan Kesabaran)
7. Sacca Paramita (Kesempurnaan Kebenaran)
8. Adhitthana Paramita(Kesempurnaan Tekad)
9. Metta Paramita (Kesempurnaan Cinta Kasih)
10. Upekkha Paramita (Kesempurnaan Keseimbangan Batin)

Dengan berlindung kepada sepuluh Paramita inilah, maka semua usaha Mara beserta bala tentaranya untuk menakut-nakuti Bodhisatva, dengan hujan besar yang disertai angin kencang dan halilintar yang menggelegar terus menerus, juga diikuti dengan pemandangan-pemandangan lain yang amat mengerikan ternyata gagal semua.

Akhirnya Mara dengan penuh kemarahan menyambit dengan senjata terakhirnya yaitu Cakkavudha ²).
Tetapi senjata ini berubah menjadi payung yang amat indah, yang dengan tenang bergantung dan memayungi Bodhisatva.

Bumi telah menjadi saksi, bahwa Bodhisatva Siddharta telah lulus dari semua kesulitan dan layak untuk menjadi seorang Buddha.

Sang Bodhisatva berkata, "Dengan melihat bala tentara pada semua sisi berbaris dengan Mara yang mengatur di atas Gajah Girimekkhala, Aku maju ke depan untuk berperang, Mara tidak akan dapat mendorongKu dari posisiKu.
Bala tentaramu dengan dunia beserta dewa-dewa tak terkalahkan.
Dengan KebijaksanaanKu, Aku terus menghancurkan mereka, bagaikan Aku menghancurkan mangkok yang belum dibakar.

Dengan mengawasi pikiranKu, dan dengan kesadaran yang kuat, Aku akan mengembara dari negara ke negara, sambil melatih banyak murid.
Dengan rajin dan sungguh-sungguh, dalam mempraktekkan ajaranKu, mereka tidak akan mempedulikanmu dan akan pergi ke tempat yang tidak ada lagi penderitaan."

Gajah Girimekkhala lalu berlutut di hadapan Bodhisatva dan Mara menghilang, lari tunggang-langgang bersama dengan balatentaranya.
Para Dewa yang menyingkir ketika Mara datang menyerang, datang kembali menghampiri Bodhisatva.
Mereka semua amat bahagia dengan keberhasilan Bodhisatva Siddharta menaklukkan Mara.

Keterangan :

¹) Yojana : Ukuran panjang yang digunakan di India 1 yojana kurang lebih 7 mil..

²) Cakkavudha : Senjata Mara yang amat sakti..

Sang Buddha Pelindungku IV
Editor : Utamo Mahathera
Alih Bahasa : Dra. Lanny Widya, Ir Senny Ruslim
Sangha Theravada Indonesia

SAKUNA JATAKA


SAKUNA_JATAKA

“Engkau yang tinggal di udara,” dan seterusnya . Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang bhikkhu yang tempat tinggalnya habis terbakar. Menurut kisah yang disampaikan secara turun menurun, bhikkhu itu telah menerima objek meditasi dari Sang Guru, ia meninggalkan Jetawana menuju Kosala, di sana ia menetap di sebuah hutan di pinggir desa. Pada bulan-bulan pertama saat menetap di sana, tempat tinggalnya terbakar. Kejadian itu disampaikannya kepada para penduduk desa, ia mengatakan,

“Tempat tinggal saya terbakar, saya hidup dalam keadaan yang tidak nyaman.” Para penduduk menjawab, “Tanah kami sedang dilanda bencana kekeringan, kami akan ke sana setelah lading kami telah kami beri air.” Setelah pengairan ladang selesai, mereka mengatakan bahwa mereka harus menabur benih terlebih dahulu; setelah benih telah ditabur, mereka harus membuat pagar; setelah pagar telah terpasang, mereka harus menyiangi rumput dan memanen serta menebah hasil panen mereka; dengan satu demi satu pekerjaan yang mereka sebutkan, waktu tiga bulan pun berlalu.

Setelah menghabiskan masa tiga bulan dengan tidak nyaman, bhikkhu itu berhasil mengembangkan objek meditasinya, namun tidak dapat mencapai kemajuan yang lebih lagi. Setelah perayaan Pavāranā di akhir musim hujan, ia kembali ke tempat Sang Guru. Setelah memberikan penghormatan, ia mengambil tempat duduk di suatu sisi. Dengan sapaan yang ramah, Sang Guru berkata, “Bhikkhu, apakah engkau melewati musim dingin dengan nyaman? Apakah engkau berhasil mengembangkan objek meditasimu?” Bhikkhu itu menceritakan apa yang terjadi kepada Beliau, ia tidak lupa menambahkan, “Karena saya tidak mempunyai tempat tinggal yang sesuai, objek meditasi saya tidak mengalami kemajuan yang berarti.”

Sang Guru menjawab, “Di kehidupan yang lampau, bhikkhu, bahkan hewan-hewan dapat mengetahui apa yang cocok untuk mereka dan apa yang tidak. Bagaimana engkau bisa tidak mengetahuinya?” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

____________________

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor burung dan tinggal disebuah pohon besar yang memiliki beberapa cabang, sebagai pemimpin dari kawanan burung di sana. Suatu hari, cabang-cabang pohon tersebut saling bergesekan satu sama lain, debu mulai berjatuhan, dan sesaat kemudian timbul asap. Melihat hal itu, Bodhisatta berpikir, “Jika dua cabang saling bergesekan seperti ini, akan timbul percikan api; hal yang paling tepat untukdilakukan adalah segera pergi ke tempat yang lain.” Ia mengulangi syair ini untuk kawanan burung tersebut: —

Engkau yang tinggal di udara, di dahan ini

engkau temukan tempat tinggal; perhatikan bibit-bibit api

yang sedang diciptakan oleh pohon yang membumi ini!

Carilah tempat yang aman di saat engkau terbang!

Benteng kita yang terpercaya telah sekarat!

Burung yang lebih bijaksana, mengikuti nasihat Bodhisatta, segera terbang ke tempat lain mendampingi Bodhisatta. Namun mereka yang bodoh berkata, “Ia selalu begitu; selalu membayangkan tentang buaya begitu melihat air.”

Mereka tidak mengindahkan kata-kata Bodhisatta, tetap tinggal di tempat tersebut. Dalam waktu yang singkat, seperti yang telah diramalkan oleh Bodhisatta, api benar-benar berkobar, dan pohon tersebut segera dilahap api. Saat asap dan kobaran api membesar, burung-burung itu dibutakan oleh asap, tidak dapat melarikan diri; satu per satu jatuh dalam kobaran api dan binasa.

____________________

“Demikianlah, para Bhikkhu,” kata Sang Guru, “di kehidupan yang lampau, bahkan hewan yang tinggal di pohon pun dapat  mengetahui apa yang cocok untuknya dan apa yang tidak. Bagaimana bisa engkau tidak mengetahuinya?”  Saat uraian-Nya berakhir, Beliau membabarkan Dhamma. Di akhir khotbah, bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian Sotāpanna. Sang Guru kemudian mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Siswa Sang Buddha adalah burung-burung yang menuruti nasihat Bodhisatta, dan Saya sendiri adalah burung yang bijaksana dan baik tersebut.”

sumber: ITC, Jataka Vol. I

Senin, 21 Desember 2020

Asal Usul Festival Dongzhi


Asal Usul Festival Dongzhi

Dong zhi berasal dari kata
冬天 dong tian = musim dingin 至 zhi = paling/sangat
冬至 dong zhi = Musim Dingin Solstice

Dongzhi adalah dimana hari dengan siang terpendek dan malam terpanjang di bumi bagian utara.
Setiap tanggal 21 atau 22 Desember, masyarakat Tionghua di seluruh dunia merayakan suatu festival yang dinamakan Dong Zhi Jie (perayaan makan onde) atau biasa kita kenal dengan Wedang Ronde. Menurut tradisi orang Tionghua, perayaan ini merupakan salah satu festival penting, sama pentingnya dengan perayaan Tahun Baru Imlek, Festival Perahu Naga, dan Festival Kue Bulan.
Ada banyak versi awal mula festival musim dingin, namun dunia maya hanya merangkum kisah yang paling umum dan terkenal. Berikut Asal Usul Festival Dongzhi:

1. Cerita Pembangunan Istana Raja
Pada zaman dahulu di negeri Cina, ada Seorang Kaisar (tidak disebutkan namanya dan kapan ia berkuasa) hendak membangun istana. Maka dia memanggil semua tukang di seluruh negeri untuk mewujudkan keinginannya. Ada tukang kayu, tukang batu, tukang cat, tukang meja kursi, tukang emas dan tukang-tukang lainnya yang masing-masing terbaik dibidangnya.

Kaisar akan menobatkan mereka dengan gelar Da Shi Fu (Guru Handal) atau ahli, jika mereka bisa membuatkan istana yang bagus untuknya. Mendapat gelar Ahli membuat semua tukang bekerja dengan penuh semangat. Berita ini sampai juga terdengar di telinga tukang masak, dia juga merasa bahwa memasak adalah sebuah keahlian, kemudian dia menghadap Kaisar dan meminta Raja untuk menobatkan dirinya menjadi Maha Guru Tukang setelah istana sudah selesai dibangun. Namun semua tukang tidak memandang memasak sebagai keahlian. Bahkan mereka menganggap bahwa memasak adalah mudah dan jika tukang masak diberi gelar Ahli, maka gelar itu tidak ada artinya, kemudian mundurlah tukang masak dengan kecewa.

Saat itu kebetulan sedang musim dingin. Ketika hari sudah mulai menjelang siang dan ditambah udara dingin di luar, dan perut para tukang mulai keroncongan, mereka meninggalkan kerjaan sejenak dan menuju tempat makan. Tapi tidak tersedia satupun makanan diatas meja hidangan. Terpaksa para tukang melanjutkan kerjaan dengan perut lapar dan kedinginan. Banyak yang akhirnya berhenti bekerja, dan pembangunan istana menjadi terhenti.

Raja kembali memanggil tukang masak, untuk minta membuatkan makanan bagi para tukang, dan dia berjanji akan memberikan penghargaan Maha Guru Tukang setelah istana selesai dibangun. Saat itu didapur hanya ada beras ketan dan sejumlah bumbu masak. Maka dengan keterampilan si tukang masak, beras ketan itu ditumbuk menjadi tepung ketan, dan diolahnya menjadi bola-bola kecil ada yang putih dan sebagian lagi berwarna merah, dan kemudian direbus dan dihidangkan dengan kuah yang manis dan diberi jahe. Sup bola-bola kecil yang hangat itu terlihat sangat bagus karena perpaduan warna merah dan putih. Kuah yang manis dan hangat membuat para tukang mempunyai tenaga untuk tetap bekerja di musim dingin.

Dan dalam sekejab, istana Raja yang indah selesai dibangun sebelum perayaan musim Semi. Sejak saat itu masyarakat Tiongkok setiap musim dingin, mulai memasak sup bola-bola kecil yang biasa disebut dengan 湯圓 Tang Yuan atau Onde-onde (dari tepung ketan dengan/tanpa isi di dalamnya yang dimakan/disajikan dengan kuah) untuk mengingat jasa tukang masak yang telah membantu pembangunan istana Raja.

2. Solstice (Titik Balik Matahari) 
Menurut catatan sejarah, festival ini mulai dirayakan masyarakat Tiongkok sejak masa Dinasti Han. Dasar dari perayaan ini adalah merayakan datangnya keseimbangan kosmos dan alam semesta.
Pada tanggal 21 atau 22 Desember, terjadi peristiwa yang dikenal dengan sebutan Titik Balik Matahari Matahari berada pada posisi paling selatan (23,5° LS). Pada saat itu, sinar matahari merupakan yang paling lemah dan siang sangat pendek. Bagi sobat, yang tinggal di Indonesia daerah tropis, peristiwa titik balik matahari ini tidak kerasa bedanya, namun bagi sobat yang tinggal di belahan bumi lain, titik balik ini sangat terasa.

Pada zaman dahulu, tradisi perayaan ini dimulai dengan adat pemujaan kepada dewata dan leluhur, untuk bersyukur. Setelah upacara syukuran selesai, orang-orang akan berkumpul bersama keluarga, teman, saudara untuk sama-sama menikmati Sup Onde yang hangat dan manis. Sebagai suatu simbol dari kekeluargaan dan kebersamaan.

Minggu, 20 Desember 2020

TITTIRA-JATAKA


TITTIRA-JATAKA

“Mereka yang menghormati umur,” dan seterusnya . Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru dalam perjalanan menuju ke Sawatthi, mengenai Thera Sāriputta yang tinggal di luar kamar di waktu malam. Saat Anāthapiṇḍika yang membangun sebuah wihara menyampaikan pesan bahwa wihara tersebut telah selesai di bangun, Sang Guru meninggalkan Rājagaha dan pergi ke Vesālī, melanjutkan perjalanan setelah berhenti di Vesālī selama yang Beliau inginkan. Saat itulah keenam bhikkhu bergegas mendahului, sebelum para thera mendapatkan tempat tinggal, mereka memonopoli semua kamar yang ada, yang mereka bagi-bagikan kepada upajjhāya, ācariya (guru), dan mereka sendiri. Saat para thera sampai di sana, mereka tidak mendapatkan kamar untuk bermalam. Para siswa Sāriputta juga, setelah melakukan pencarian, tidak dapat menemukan kamar untuk sang thera. Karena tidak mendapatkan kamar, thera tersebut bermalam di kaki sebatang pohon dekat kamar Sang Guru. Ia berjalan, ataupun duduk di kaki pohon tersebut.

Saat fajar tiba, Sang Guru terbatuk ketika berjalan keluar dari kamarnya, thera tersebut juga terbatuk. “Siapakah itu?” tanya Sang Guru. “Saya, Bhante, Sāriputta.” “Apa yang engkau lakukan di sini pada waktu seperti ini, Sāriputta?” Sang thera menceritakan apa yang terjadi kepada Beliau, di akhir penjelasannya, Sang Guru berpikir, “bahkan pada saat ini, saat saya masih hidup, para bhikkhu telah berani bersikap tidak sopan dan berani memandang rendah; apa yang tidak bisa mereka lakukan setelah saya meninggal dan tidak ada lagi?” Pikiran itu membuat Beliau dipenuhi kecemasan atas kenyataan itu. Begitu hari terang, Beliau mengumpulkan semua anggota Sanggha dan bertanya pada mereka, “Benarkah, para Bhikkhu, apa yang saya dengar, bahwa keenam bhikkhu datang lebih dahulu dan membuat para thera di antara bhikkhu-bhikkhu tidak mendapatkan tempat tinggal pada malam harinya?”

“Itulah yang terjadi, Bhagawan,” jawab mereka. Karena itu, untuk mengecam keenam bhikkhu tersebut, dan sebagai pelajaran untuk semua bhikkhu, Beliau menegur mereka dengan berkata, “Katakan kepada-Ku siapa yang lebih dahulu berhak untuk mendapatkan kamar, air minum dan makanan (terbaik), para Bhikkhu?”

Beberapa orang menjawab, “Ia yang merupakan keturunan bangsawan sebelum menjadi bhikkhu.” Yang lain berkata, “Ia yang sebelumnya adalah seorang brahmana, atau orang kaya.” Beberapa orang berkata, “Orang yang memahami peraturan Sanggha, dapat menguraikan Dhamma, yang telah mencapai tingkat pertama, kedua, ketiga dan keempat dari (meditasi) jhana.” Sementara itu, beberapa orang berkata, “Orang yang telah mencapai tingkat kesucian Sotāpanna, Sakadāgāmi, Anāgāmi, dan Arahat; yang mengetahui tiga pengetahuan (vijjā), yang memiliki enam abhiññā (kemampuan batin luar biasa).”

Setelah para bhikkhu menyatakan beberapa orang yang mereka anggap layak untuk menjadi utama dalam masalah pembagian tempat tinggal dan hal lain yang sejenis, Sang Guru berkata, “Dalam ajaran yang Saya sampaikan, acuan pembagian tempat tinggal dan hal sejenisnya ditentukan, bukan berdasarkan keturunan bangsawan, atau pernah menjadi brahmana, atau merupakan orang kaya sebelum menjadi bhikkhu, acuannya bukan seberapa banyak yang seseorang ketahui tentang peraturan Sanggha, Sutta dan Kitab Metafisika; juga bukan pencapaian keempat tingkatan jhana, atau pencapaian tingkat kesucian apa pun. Para Bhikkhu, dalam ajaran-Ku, ia yang lebih senior yang berhak (lebih dahulu) mendapatkan rasa hormat dalam kata-kata maupun perbuatan, salam dan semua jenis pelayanan; mereka yang lebih senior seharusnya lebih dahulu mendapatkan tempat tinggal, air minum, dan makanan (terbaik). Inilah acuan yang benar, karena itu bhikkhu senior berhak lebih dahulu mendapatkan hal-hal tersebut di atas. Namun, para Bhikkhu, Sāriputta yang merupakan siswa utama-Ku, yang mengabdikan dirinya memutar Roda Damma, ia yang berhak mendapatkan kamar setelah diri-Ku, malah melewati malam di kaki pohon karena tidak mendapatkan kamar! Jika saat ini saja kalian tidak sopan dan berani memandang rendah, apa yang akan terjadi di masa yang akan datang?”

Sebagai pelajaran lebih lanjut, Beliau berkata, “Di kehidupan yang lampau, para Bhikkhu, bahkan hewan pun dapat menyimpulkan bahwa tidak benar untuk hidup tanpa rasa hormat dan saling memandang rendah satu sama lain; atau tidak mematuhi tata tertib kehidupan; mereka bahkan mencari siapa yang lebih tua di antara mereka, dan menunjukkan segala bentuk penghormatan kepadanya. Mereka mendalami masalah itu, menemukan siapa yang lebih tua, kemudian menunjukkan segala bentuk penghormatan kepadanya. Setelah meninggal, mereka terlahir di alam manusia.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

____________________

Sekali waktu di sekitar pohon beringin yang besar yang tumbuh di lereng Pegunungan Himalaya, hiduplah tiga sahabat, seekor burung ketitir (tittira), seekor kera dan seekor gajah. Mereka tidak sopan dan saling memandang rendah satu sama lain, tidak mematuhi tata tertib kehidupan. Terlintas di pikiran mereka bahwa cara hidup demikian adalah tidak benar adanya, mereka kemudian memutuskan untuk menemukan siapa yang lebih tua di antara mereka dan memberikan penghormatan kepadanya.

Saat mereka sedang sibuk memikirkan siapa yang lebih tua, satu ide terpikir oleh mereka. Burung ketitir dan kera bertanya kepada gajah saat mereka bertiga sedang duduk di bawah pohon beringin, “Wahai Gajah, berapa besar pohon beringin ini dalam ingatan pertamamu?” Gajah menjawab, “Saat saya masih kecil, beringin ini masih merupakan pohon muda, dulu saya bisa melangkahinya; saat berdiri di atasnya, puncak pohon ini hanya mencapai perut saya saja. Saya mengenal pohon ini sejak ia masih berupa pohon kecil.” Selanjutnya giliran kera yang mendapat pertanyaan yang sama dari kedua sahabatnya, dan ia menjawab, “Teman-temanku, saat masih kecil, saya hanya perlu menjulurkan leher saat duduk di tanah, dan saya bisa mendapatkan tunas yang tumbuh di bagian atas pohon ini. Jadi saya telah mengetahui pohon ini sejak ia masih sangat kecil.”

Setelah itu giliran burung ketitir yang mendapatkan pertanyaan yang sama dari gajah dan kera, dan ia menjawab, “Teman-teman, pada waktu dulu, ada pohon beringin di tempat anu, saya makan bijinya dan buang kotoran di sini. Itulah asal pohon beringin ini, karena itu, saya telah mengetahui pohon ini sebelum ia tumbuh, dan saya lebih tua dari kalian berdua.”

Saat itu, kera dan gajah berkata kepada ketitir yang bijaksana, “Teman, kamulah yang tertua di antara kita, karena itu, kamu layak untuk menerima penghormatan dan pemerolehan, pantas kami sembah dan hormati; kami akan mengikuti nasihatmu. Untuk selanjutnya, kamu kami persilakan untuk memberikan nasihat yang kami butuhkan.”

Sejak itu, ketitir memberikan nasihat kepada mereka, membuat mereka menjaga moralitas, seperti yang dijalankannya. Dengan menjaga moralitas, saling menghormati dan tidak memandang rendah di antara mereka sendiri, serta adanya tata tertib kehidupan yang layak dalam hidup mereka, mereka terlahir kembali di alam bahagia setelah meninggal.

____________________

“Perbuatan ketiga makhluk ini,” – lanjut Sang Bhagawan – “dikenal sebagai ‘Kehidupan suci burung ketitir’. Jika ketiga hewan ini, para Bhikkhu, dapat hidup bersama dengan penuh hormat dan tidak saling memandang rendah di antara mereka sendiri, bagaimana bisa kalian, yang memeluk keyakinan dengan peraturan yang mengajarkan tentang kebaikan, hidup tanpa rasa hormat dan memandang rendah orang lain? Mulai sekarang, saya tetapkan, para Bhikkhu, bahwa mereka yang lebih senior pantas mendapatkan rasa hormat, baik dalam kata-kata maupun perbuatan, salam dan semua pelayanan; mereka yang senior berhak (lebih dahulu) atas tempat tinggal, air minum, dan makanan (terbaik); tidak akan ada lagi senior yang ditinggalkan di luar oleh mereka yang lebih junior. Siapa pun yang meninggalkan seniornya di luar dinyatakan telah melakukan pelanggaran.”

Pada akhir uraian tersebut, Sang Guru sebagai seorang Buddha, mengulangi syair berikut ini : Mereka yang menghormati senioritas (umur) adalah yang paham terhadap kebenaran;

Berbahagia di dalam kehidupan ini dan juga di kehidupan yang akan datang,

itulah hadiah yang didapatkan.

____________________

Saat Sang Guru telah selesai menyatakan tentang kebaikan dari menghormati orang yang lebih tua, Beliau mempertautkan dan menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Moggallāna adalah gajah, Sāriputta adalah kera, dan Saya sendiri adalah ketitir yang bijaksana.”

sumber: ITC, Jataka Vol. I

Jumat, 18 Desember 2020

Bagaimana Karma Membuahkan Hasilnya


🙏 Namo Buddhaya 🙏

🌿 BAGAIMANA KARMA MEMBUAHKAN HASILNYA ? 🌿

   
A. Kebiasaan Melihat Hasil Yang Langsung 
Orang biasanya mempunyai kebiasaan melihat hasil yang langsung. Kalau ada manfaat langsung, orang suka melakukannya meskipun itu adalah perbuatan buruk. Kalau tidak ada manfaat langsung, orang tidak suka melakukannya meskipun itu adalah perbuatan baik.

Sesungguhnya ini adalah pandangan picik yang mementingkan diri sendiri. Dengan pandangan seperti ini kalau seseorang melakukan hanya perbuatan buruk tanpa perbuatan baik, dia tidak akan menyumbang apa pun untuk kesejahteraan orang lain maupun untuk kesejahteraan dirinya sendiri dalam jangka panjang. Orang itu mungkin akan mengacaukan umat manusia dan kedamaian dunia yang bahagia dan damai. 
Seperti Sang Buddha menasihati anakNya Ràhulà di Ambalaññhika Ràhulovàda Sutta, hanya jika kita berhati-hati melakukan perbuatan yang tidak salah dan tidak tercela, kita bisa menyumbangkan sesuatu untuk kesejahteraan umat manusia dan diri kita sendiri. Dengan melakukannya kita juga memberi dukungan kepada usaha mulia untuk membangun dunia yang bahagia dan damai.

“AnakKu, Ràhulà, apa fungsi sebuah cermin?”
Sang Buddha bertanya.
“Untuk melihat diri kita.”
“Ya, dengan melihat ke cermin, kita bisa melihat apakah ada yang salah dengan wajah kita. Sama halnya ketika kamu akan berbuat, berkata atau berpikir tentang sesuatu, lihat dan pertimbangkan dulu:” Apakah tindakan ini, ucapan atau pikiran ini akan merugikan saya atau orang lain? Kalau akan merugikan orang lain, tindakan, ucapan, atau pikiran itu mengandung kesalahan; dia buruk atau tidak baik. Jangan lakukan. “Kalau tindakan, ucapan atau pikiran itu tidak akan merugikan siapa pun, untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, dia tidak ada cacatnya dan baik. Kamu bisa lakukan itu. Ketika sedang melakukannya dan ketika sudah melakukannya, lihat dan pertimbangkan lagi dengan cara yang sama. Kalau tindakan, ucapan atau pikiran itu merugikan dan membuat sengsara orang lain, itu artinya salah dan buruk. Hentikan dan jangan lakukan lagi. Kalau tindakan, ucapan atau pikiran itu tidak merugikan siapa pun, dia tidak bercacat dan baik. Kamu boleh melakukannya lagi.”
 ini adalah sebuah nasihat yang sangat masuk akal dan bijak. Kalau semua orang mematuhi nasihat ini, semua makhluk akan hidup bahagia bersama dan kedamaian dunia akan segera terbentuk.
   
   
B. Dua Jenis Hasil di Setiap Perbuatan
Perbuatan yang salah, tidak baik dan buruk itu ada sepuluh jenis perbuatan buruk (ducacarita). 
Mereka terdiri dari : 
• tiga perbuatan jasmani yang buruk – yaitu membunuh, mencuri dan berbuat asusila; 

• empat perbuatan ucapan yang buruk – yaitu berdusta, memfitnah, berkata kasar dan obrolan tidak berguna; 

• dan tiga perbuatan pikiran yang buruk – yaitu berencana mengambil milik orang lain, berencana menghancurkan kehidupan dan milik orang lain, dan pandangan salah mengabaikan karma dan akibatnya.

Perbuatan-perbuatan buruk ini dilakukan dengan pikiran buruk dan bermiliar-miliar pikiran buruk muncul dan padam selama tindakan buruk ini berlangsung. Kehendak yang berhubungan dengan pikiran buruk ini dikenal sebagai karma yang muncul bersamaan yang buruk. 

Karena karma-karma ini, sebuah perbuatan buruk terlaksana dan perbuatan buruk ini akan membuahkan hasil yang buruk.

Sekali lagi ketika pikiran buruk di atas dan kehendak yang bersekutu dengannya padam, kehendak-kehendak itu meninggalkan properti-properti karmanya di arus batin. Properti-properti karma ini disebut karma-yang-muncul belakangan yang buruk. Karma-karma ini akan dirambatkan dari pikiran ke pikiran dan mereka akan tetap tinggal di arus batin seumur hidup.

Terlebih lagi, di saat kematian mereka akan dirambatkan ke arus batin di kehidupan yang baru. Jadi mereka akan dirambatkan di arus batin dari satu kehidupan ke kehidupan lain, membawa serta akibat-akibatnya yang bisa berbuah kapanpun mereka mempunyai kesempatan.

Jadi ketika seseorang melakukan perbuatan buruk, dia akan mendapatkan dua jenis hasil –hasil buruk dari karma-yang-muncul-bersamaan yang buruk dan hasil yang buruk dari karma yang-muncul-belakangan yang buruk.

Perbuatan yang tanpa cacat, baik dan bijak adalah sepuluh jenis perbuatan baik (sucacarita).
Kita bisa melakukan perbuatan baik ini dengan menghindari sepuluh jenis perbuatan buruk.

Sebagai contoh, kalau kita menghindari membunuh nyamuk yang menggigit kita dan membiarkannya pergi dengan maksud baik membiarkannya hidup bahagia, bermiliar-miliar pikiran baik alam nafsu-indera akan muncul selama tindakan ini. Kehendak yang bersekutu dengan pikiran baik ini disebut karma-yang muncul-bersamaan yang baik. Karena karma-karma ini, perbuatan baik membiarkan nyamuk pergi ke tempat aman terlaksana dan perbuatan baik ini akan membuahkan hasil baik setara seperti membiarkan nyamuk itu hidup bahagia dengan keluarga yang dicintainya.
Sekali lagi ketika pikiran baik di atas dan kehendak yang bersekutu dengannya padam, kehendak ini meninggalkan properti-properti karmanya di arus batin. Properti-properti karma ini disebut karma-yang-muncul-belakangan yang baik. 

Karma-karma ini akan dirambatkan di arus batin dari satu kehidupan ke kehidupan berikutnya, dengan membawa serta akibat-akibatnya yang bisa berbuah kapanpun mereka mempunyai kesempatan.

Hasil yang langsung dari karma-yang-muncul bersamaan adalah bukti pada kehidupan sekarang. Contohnya, kalau seorang membunuh orang lain, orang itu harus mati dengan sengsara dan ketakutan, dan istri serta keluarganya akan menderita kesedihan mendalam dan ratap tangis. Mereka akan hidup dalam kemiskinan seumur hidup. Si pembunuh mungkin melarikan diri dan bisa jadi hidup dalam ketakutan akan tertangkap. Dia akan tertangkap akhirnya, diadili di pengadilan dan dihukum mati atau dipenjara seumur hidup.

Perbuatan baik termasuk di dalamnya berdana (dàna), menjaga moral (sãla) dan melakukan meditasi (bhàvanà) adalah tambahan dari sepuluh jenis perilaku baik. Kalau seseorang mempersembahkan makanan kepada seorang bhikkhu, bermiliar-miliar pikiran baik muncul pada saat mempersembahkan itu dan selanjutnya bermiliar-miliar karma-yang-muncul-bersamaan yang baik dan miliaran karma-yang-muncul belakangan yang baik akan terbentuk.

Sebagai hasil dari karma-yang-muncul bersamaan dari mempersembahkan makanan kepada bhikkhu, bhikkhu itu bisa menikmati makanan dengan senang. Hasilnya setelah makan, dia bisa menikmati kesehatan baik dan umur panjang (àyu), rupa yang baik (vanna), tempat tinggal yang indah (sukha), kekuatan yang baik (bala) dan kebijaksanaan yang lebih tinggi (pañibhàna) karena dia bisa belajar dengan baik. 
Karena bhikkhu itu bisa menikmati kelima keuntungan ini, si penderma juga akan menikmati keuntungan yang sama di banyak kehidupan. Ketika bhikkhu itu menjadi terpelajar dan bisa memberikan ceramah, banyak pendengar akan mendapatkan keuntungan besar dengan mengerti Dhamma.

Kecenderungan akibat karma bekerja seperti riak-riak di permukaan air kolam yang dilempari batu, atau seperti gema suara kita di pegunungan, atau seperti Hukum Gerak Newton di ilmu fisika:

“Untuk setiap aksi, selalu ada reaksi yang sama atau berlawanan.”
Kalau kita tersenyum kepada seseorang, dia akan tersenyum kembali kepada kita.
Kalau kita cemberut kepadanya, dia juga akan cemberut kepada kita.

• Perbuatan buruk akan membuahkan hasil yang buruk. Perbuatan baik akan membuahkan hasil yang baik. Orang yang menanam biji, akan memetik buahnya.” (Sang Buddha)

• Kalau seseorang berpikir, berbicara atau bertindak dengan pikiran jahat, hasil tidak menyenangkan atau penderitaan sebagai hasil dari karma itu akan mengikutinya seperti roda pedati yang selalu mengikuti lembu yang menariknya.
(Dhammapàdà 1)

• Kalau seseorang berpikir, berbicara atau bertindak dengan pikiran murni, baik, maka hasil yang menyenangkan atau kebahagiaan yang disebabkan oleh karma itu akan mengikutinya bagaikan bayangan yang selalu mengikuti dirinya. 
(Dhammapàdà 2)
  
      
C. Cara Karma-Yang-Muncul-Belakangan membuahkan Hasil
Karma-yang-muncul-belakangan mirip dengan biji tumbuhan dan cara mereka membuahkan hasil juga seperti cara tumbuhan menghasilkan tumbuhan baru.

" Sadisam pàkam janeti. "
Karma akan memberikan hasil yang menyerupainya. 

" Yàdisam vappate bijam
tàdisam harate phalam. "
Seperti biji yang anda tanam,
seperti itulah anda akan menuai buahnya.

" Kàlyànakàri kalyànam
pàpakàri ca pàpakam. "
Siapa yang berbuat baik akan menerima kebaikan.
Siapa yang berbuat buruk akan menerima keburukan.
     
     
🌿 CARA KARMA MEMBUAHKAN HASIL MIRIP DENGANNYA 🌿

Suatu karma membuahkan hasil mirip dengan cara karma itu dilakukan. Cara bagaimana karma membuahkan hasil seperti ini disebut Hukum Karma (kamma-niyàma). Cerita berikut menggambarkan hukum karma ini. 

Ketika Sang Buddha tinggal di Vihara Jetavanà, tiga orang menghadap Beliau pada waktu yang hampir bersamaan.

Orang pertama bercerita;
“Yang Mulia, ketika saya berjalan melewati sebuah desa di dekat gerbang kota dalam perjalanan saya ke Vihara Jetavanà, sebuah rumah di desa itu sedang terbakar. Bulatan rumput tempat meletakkan panci-panci ikut terbakar. Bulatan itu terlempar ke langit karena kekuatan api dan jatuh tepat di leher seekor burung gagak yang sedang terbang tinggi di langit. Burung gagak itu mati terbakar.”

Orang kedua bercerita;
“Yang Mulia, saya baru saja pulang dari perjalanan ke luar negeri. Kapal yang kami tumpangi dengan tujuh ratus penumpang berangkat dari pelabuhan dan berhenti tidak bergerak di tengah lautan. Tidak bisa digerakkan oleh apa pun. Kemudian nahkoda kapal berkata kepada para penumpang bahwa pasti ada seorang yang sangat jahat di atas kapal ini. Orang itu harus ditemukan dengan diundi, untuk dilempar ke laut demi menyelamatkan nyawa penumpang-penumpang lainnya.“ Mereka setuju untuk mengundi. Adalah istri sang nahkoda kapal yang mendapat undian malang itu.
Karena dia terlihat tenang, sederhana, tanpa dosa dan cantik, para penumpang jatuh iba padanya dan menyarankan untuk menarik undian lagi. Kembali dia mendapatkan undian malang itu untuk kedua kalinya demikian juga untuk ketiga kalinya. Sebuah kantong pasir diikatkan di lehernya dan istri nahkoda itu dilemparkan ke laut. Kapal itu bergerak seketika. Kami sampai ke tujuan, menjalankan pekerjaan kami dan pulang.”

Orang ketiga kemudian menceritakan kisahnya:
“Yang Mulia, saya melewati sebuah gunung dalam perjalanan saya melewati hutan. Tujuh bhikkhu pengembara pergi ke gua di gunung itu untuk beristirahat. Tetapi sebuah batu besar tiba-tiba meluncur dari atas gunung dan menutup lubang masuk gua itu. Bhikkhu-bhikkhu tadi tidak kuat mendorong batu besar itu dan tidak bisa mencari pertolongan. Jadi mereka harus tinggal di dalam gua tanpa makanan dan minuman selama tujuh hari. Di hari kedelapan batu itu bergeser sendiri dan keluarlah bhikkhu-bhikkhu itu.”

Mereka menanyakan kepada Sang Buddha, apa penyebab di balik kejadian-kejadian aneh ini. 

“Sabbe sattà kammasakà
kammaÿ satte vibajjati.”
Semua makhluk adalah pemilik karmanya sendiri.
Karma mereka menguasai dan menentukan nasib serta tujuan mereka.

Karena orang-orang ini tidak memahami jawaban Sang Buddha, mereka meminta Sang Buddha menjelaskannya lebih rinci.

“Umat awam, burung gagak itu adalah seorang petani di kehidupan lampaunya. Si petani marah kepada kerbau yang tidak mau disuruhnya bekerja. Diikatnya seikat jerami di leher kerbau itu, kemudian dibakarnya jerami itu dan kerbau itu dilepaskannya. Kerbau itu terbakar sangat hebat lalu berlari dan berlari. Akhirnya kerbau itu mati. Karena karma buruk ini, lingkaran rumput yang terbakar itu terbang ke udara, tergantung di leher si burung gagak, dan membakar burung gagak itu sampai mati.

“Istri nahkoda itu adalah seorang gadis desa yang cantik di kehidupan lampaunya. Kekasihnya mati dan terlahir kembali sebagai seekor anjing. Anjing muda itu terus mengikutinya kemanapun ia pergi. Para pemuda desa mengejeknya dengan mengatakan bahwa gadis itu akan berburu dengan anjingnya dan akan membawa pulang daging yang enak untuk mereka. Gadis itu malu. Ketika dia keluar lagi, dia mencoba mengusir anjing itu tapi tidak berhasil. Dia menjadi marah. Diikatnya sekantong pasir di leher anjing itu dan dilemparnya anjing itu ke sungai. Dia mengalami nasib yang sama ketika menjadi istri nahkoda di kehidupan berikutnya.”

“Mengapa bhikkhu-bhikkhu itu tertutup di gua, Yang Mulia?”
“Bhikkhu-bhikkhu itu adalah pengembala kerbau di kehidupan lampaunya. Suatu malam ketika mereka sedang menggiring ternaknya pulang ke kandang, mereka melihat seekor kadal masuk ke gundukan tanah. Karena mereka tidak sempat menangkap kadal itu, mereka menutup lubang di tanah itu dengan ranting-ranting dengan harapan bisa menangkapnya keesokan harinya. “Tetapi, keesokan harinya mereka membawa ternaknya ke padang rumput yang baru selama seminggu. Mereka kembali ke padang rumput yang lama di hari kedelapan. Ketika mereka melihat gundukan tanah itu, mereka ingat si kadal. Mereka menyingkirkan ranting-ranting dari lubang tanah dan menunggu dengan tongkat untuk memukul kadal itu. Tapi si kadal, karena kelaparan selama seminggu, menjadi sangat kurus dan lemah sehingga mereka jatuh iba dan membiarkannya pergi. Jadi bhikkhu-bhikkhu itu juga kelaparan selama seminggu di dalam gua.” (Cerita Dhammapàdà, Vol. II, Cerita Tavojana)

Tidak ada tempat untuk bersembunyi
Tidak di langit, atau di tengah samudera,
tidak juga di gua sebuah gunung,
tidak ada suatu tempat, di mana seseorang
bisa lepas dari akibat sebuah perbuatan buruk.
[ Dhammapàdà 127 ]

Artikel diambil dari : Buku " Karma Pencipta Sesungguhnya " Oleh Dr. Mehm Tin Mon