Translate

Jumat, 18 Desember 2020

Bagaimana Karma Membuahkan Hasilnya


🙏 Namo Buddhaya 🙏

🌿 BAGAIMANA KARMA MEMBUAHKAN HASILNYA ? 🌿

   
A. Kebiasaan Melihat Hasil Yang Langsung 
Orang biasanya mempunyai kebiasaan melihat hasil yang langsung. Kalau ada manfaat langsung, orang suka melakukannya meskipun itu adalah perbuatan buruk. Kalau tidak ada manfaat langsung, orang tidak suka melakukannya meskipun itu adalah perbuatan baik.

Sesungguhnya ini adalah pandangan picik yang mementingkan diri sendiri. Dengan pandangan seperti ini kalau seseorang melakukan hanya perbuatan buruk tanpa perbuatan baik, dia tidak akan menyumbang apa pun untuk kesejahteraan orang lain maupun untuk kesejahteraan dirinya sendiri dalam jangka panjang. Orang itu mungkin akan mengacaukan umat manusia dan kedamaian dunia yang bahagia dan damai. 
Seperti Sang Buddha menasihati anakNya Ràhulà di Ambalaññhika Ràhulovàda Sutta, hanya jika kita berhati-hati melakukan perbuatan yang tidak salah dan tidak tercela, kita bisa menyumbangkan sesuatu untuk kesejahteraan umat manusia dan diri kita sendiri. Dengan melakukannya kita juga memberi dukungan kepada usaha mulia untuk membangun dunia yang bahagia dan damai.

“AnakKu, Ràhulà, apa fungsi sebuah cermin?”
Sang Buddha bertanya.
“Untuk melihat diri kita.”
“Ya, dengan melihat ke cermin, kita bisa melihat apakah ada yang salah dengan wajah kita. Sama halnya ketika kamu akan berbuat, berkata atau berpikir tentang sesuatu, lihat dan pertimbangkan dulu:” Apakah tindakan ini, ucapan atau pikiran ini akan merugikan saya atau orang lain? Kalau akan merugikan orang lain, tindakan, ucapan, atau pikiran itu mengandung kesalahan; dia buruk atau tidak baik. Jangan lakukan. “Kalau tindakan, ucapan atau pikiran itu tidak akan merugikan siapa pun, untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, dia tidak ada cacatnya dan baik. Kamu bisa lakukan itu. Ketika sedang melakukannya dan ketika sudah melakukannya, lihat dan pertimbangkan lagi dengan cara yang sama. Kalau tindakan, ucapan atau pikiran itu merugikan dan membuat sengsara orang lain, itu artinya salah dan buruk. Hentikan dan jangan lakukan lagi. Kalau tindakan, ucapan atau pikiran itu tidak merugikan siapa pun, dia tidak bercacat dan baik. Kamu boleh melakukannya lagi.”
 ini adalah sebuah nasihat yang sangat masuk akal dan bijak. Kalau semua orang mematuhi nasihat ini, semua makhluk akan hidup bahagia bersama dan kedamaian dunia akan segera terbentuk.
   
   
B. Dua Jenis Hasil di Setiap Perbuatan
Perbuatan yang salah, tidak baik dan buruk itu ada sepuluh jenis perbuatan buruk (ducacarita). 
Mereka terdiri dari : 
• tiga perbuatan jasmani yang buruk – yaitu membunuh, mencuri dan berbuat asusila; 

• empat perbuatan ucapan yang buruk – yaitu berdusta, memfitnah, berkata kasar dan obrolan tidak berguna; 

• dan tiga perbuatan pikiran yang buruk – yaitu berencana mengambil milik orang lain, berencana menghancurkan kehidupan dan milik orang lain, dan pandangan salah mengabaikan karma dan akibatnya.

Perbuatan-perbuatan buruk ini dilakukan dengan pikiran buruk dan bermiliar-miliar pikiran buruk muncul dan padam selama tindakan buruk ini berlangsung. Kehendak yang berhubungan dengan pikiran buruk ini dikenal sebagai karma yang muncul bersamaan yang buruk. 

Karena karma-karma ini, sebuah perbuatan buruk terlaksana dan perbuatan buruk ini akan membuahkan hasil yang buruk.

Sekali lagi ketika pikiran buruk di atas dan kehendak yang bersekutu dengannya padam, kehendak-kehendak itu meninggalkan properti-properti karmanya di arus batin. Properti-properti karma ini disebut karma-yang-muncul belakangan yang buruk. Karma-karma ini akan dirambatkan dari pikiran ke pikiran dan mereka akan tetap tinggal di arus batin seumur hidup.

Terlebih lagi, di saat kematian mereka akan dirambatkan ke arus batin di kehidupan yang baru. Jadi mereka akan dirambatkan di arus batin dari satu kehidupan ke kehidupan lain, membawa serta akibat-akibatnya yang bisa berbuah kapanpun mereka mempunyai kesempatan.

Jadi ketika seseorang melakukan perbuatan buruk, dia akan mendapatkan dua jenis hasil –hasil buruk dari karma-yang-muncul-bersamaan yang buruk dan hasil yang buruk dari karma yang-muncul-belakangan yang buruk.

Perbuatan yang tanpa cacat, baik dan bijak adalah sepuluh jenis perbuatan baik (sucacarita).
Kita bisa melakukan perbuatan baik ini dengan menghindari sepuluh jenis perbuatan buruk.

Sebagai contoh, kalau kita menghindari membunuh nyamuk yang menggigit kita dan membiarkannya pergi dengan maksud baik membiarkannya hidup bahagia, bermiliar-miliar pikiran baik alam nafsu-indera akan muncul selama tindakan ini. Kehendak yang bersekutu dengan pikiran baik ini disebut karma-yang muncul-bersamaan yang baik. Karena karma-karma ini, perbuatan baik membiarkan nyamuk pergi ke tempat aman terlaksana dan perbuatan baik ini akan membuahkan hasil baik setara seperti membiarkan nyamuk itu hidup bahagia dengan keluarga yang dicintainya.
Sekali lagi ketika pikiran baik di atas dan kehendak yang bersekutu dengannya padam, kehendak ini meninggalkan properti-properti karmanya di arus batin. Properti-properti karma ini disebut karma-yang-muncul-belakangan yang baik. 

Karma-karma ini akan dirambatkan di arus batin dari satu kehidupan ke kehidupan berikutnya, dengan membawa serta akibat-akibatnya yang bisa berbuah kapanpun mereka mempunyai kesempatan.

Hasil yang langsung dari karma-yang-muncul bersamaan adalah bukti pada kehidupan sekarang. Contohnya, kalau seorang membunuh orang lain, orang itu harus mati dengan sengsara dan ketakutan, dan istri serta keluarganya akan menderita kesedihan mendalam dan ratap tangis. Mereka akan hidup dalam kemiskinan seumur hidup. Si pembunuh mungkin melarikan diri dan bisa jadi hidup dalam ketakutan akan tertangkap. Dia akan tertangkap akhirnya, diadili di pengadilan dan dihukum mati atau dipenjara seumur hidup.

Perbuatan baik termasuk di dalamnya berdana (dàna), menjaga moral (sãla) dan melakukan meditasi (bhàvanà) adalah tambahan dari sepuluh jenis perilaku baik. Kalau seseorang mempersembahkan makanan kepada seorang bhikkhu, bermiliar-miliar pikiran baik muncul pada saat mempersembahkan itu dan selanjutnya bermiliar-miliar karma-yang-muncul-bersamaan yang baik dan miliaran karma-yang-muncul belakangan yang baik akan terbentuk.

Sebagai hasil dari karma-yang-muncul bersamaan dari mempersembahkan makanan kepada bhikkhu, bhikkhu itu bisa menikmati makanan dengan senang. Hasilnya setelah makan, dia bisa menikmati kesehatan baik dan umur panjang (àyu), rupa yang baik (vanna), tempat tinggal yang indah (sukha), kekuatan yang baik (bala) dan kebijaksanaan yang lebih tinggi (pañibhàna) karena dia bisa belajar dengan baik. 
Karena bhikkhu itu bisa menikmati kelima keuntungan ini, si penderma juga akan menikmati keuntungan yang sama di banyak kehidupan. Ketika bhikkhu itu menjadi terpelajar dan bisa memberikan ceramah, banyak pendengar akan mendapatkan keuntungan besar dengan mengerti Dhamma.

Kecenderungan akibat karma bekerja seperti riak-riak di permukaan air kolam yang dilempari batu, atau seperti gema suara kita di pegunungan, atau seperti Hukum Gerak Newton di ilmu fisika:

“Untuk setiap aksi, selalu ada reaksi yang sama atau berlawanan.”
Kalau kita tersenyum kepada seseorang, dia akan tersenyum kembali kepada kita.
Kalau kita cemberut kepadanya, dia juga akan cemberut kepada kita.

• Perbuatan buruk akan membuahkan hasil yang buruk. Perbuatan baik akan membuahkan hasil yang baik. Orang yang menanam biji, akan memetik buahnya.” (Sang Buddha)

• Kalau seseorang berpikir, berbicara atau bertindak dengan pikiran jahat, hasil tidak menyenangkan atau penderitaan sebagai hasil dari karma itu akan mengikutinya seperti roda pedati yang selalu mengikuti lembu yang menariknya.
(Dhammapàdà 1)

• Kalau seseorang berpikir, berbicara atau bertindak dengan pikiran murni, baik, maka hasil yang menyenangkan atau kebahagiaan yang disebabkan oleh karma itu akan mengikutinya bagaikan bayangan yang selalu mengikuti dirinya. 
(Dhammapàdà 2)
  
      
C. Cara Karma-Yang-Muncul-Belakangan membuahkan Hasil
Karma-yang-muncul-belakangan mirip dengan biji tumbuhan dan cara mereka membuahkan hasil juga seperti cara tumbuhan menghasilkan tumbuhan baru.

" Sadisam pàkam janeti. "
Karma akan memberikan hasil yang menyerupainya. 

" Yàdisam vappate bijam
tàdisam harate phalam. "
Seperti biji yang anda tanam,
seperti itulah anda akan menuai buahnya.

" Kàlyànakàri kalyànam
pàpakàri ca pàpakam. "
Siapa yang berbuat baik akan menerima kebaikan.
Siapa yang berbuat buruk akan menerima keburukan.
     
     
🌿 CARA KARMA MEMBUAHKAN HASIL MIRIP DENGANNYA 🌿

Suatu karma membuahkan hasil mirip dengan cara karma itu dilakukan. Cara bagaimana karma membuahkan hasil seperti ini disebut Hukum Karma (kamma-niyàma). Cerita berikut menggambarkan hukum karma ini. 

Ketika Sang Buddha tinggal di Vihara Jetavanà, tiga orang menghadap Beliau pada waktu yang hampir bersamaan.

Orang pertama bercerita;
“Yang Mulia, ketika saya berjalan melewati sebuah desa di dekat gerbang kota dalam perjalanan saya ke Vihara Jetavanà, sebuah rumah di desa itu sedang terbakar. Bulatan rumput tempat meletakkan panci-panci ikut terbakar. Bulatan itu terlempar ke langit karena kekuatan api dan jatuh tepat di leher seekor burung gagak yang sedang terbang tinggi di langit. Burung gagak itu mati terbakar.”

Orang kedua bercerita;
“Yang Mulia, saya baru saja pulang dari perjalanan ke luar negeri. Kapal yang kami tumpangi dengan tujuh ratus penumpang berangkat dari pelabuhan dan berhenti tidak bergerak di tengah lautan. Tidak bisa digerakkan oleh apa pun. Kemudian nahkoda kapal berkata kepada para penumpang bahwa pasti ada seorang yang sangat jahat di atas kapal ini. Orang itu harus ditemukan dengan diundi, untuk dilempar ke laut demi menyelamatkan nyawa penumpang-penumpang lainnya.“ Mereka setuju untuk mengundi. Adalah istri sang nahkoda kapal yang mendapat undian malang itu.
Karena dia terlihat tenang, sederhana, tanpa dosa dan cantik, para penumpang jatuh iba padanya dan menyarankan untuk menarik undian lagi. Kembali dia mendapatkan undian malang itu untuk kedua kalinya demikian juga untuk ketiga kalinya. Sebuah kantong pasir diikatkan di lehernya dan istri nahkoda itu dilemparkan ke laut. Kapal itu bergerak seketika. Kami sampai ke tujuan, menjalankan pekerjaan kami dan pulang.”

Orang ketiga kemudian menceritakan kisahnya:
“Yang Mulia, saya melewati sebuah gunung dalam perjalanan saya melewati hutan. Tujuh bhikkhu pengembara pergi ke gua di gunung itu untuk beristirahat. Tetapi sebuah batu besar tiba-tiba meluncur dari atas gunung dan menutup lubang masuk gua itu. Bhikkhu-bhikkhu tadi tidak kuat mendorong batu besar itu dan tidak bisa mencari pertolongan. Jadi mereka harus tinggal di dalam gua tanpa makanan dan minuman selama tujuh hari. Di hari kedelapan batu itu bergeser sendiri dan keluarlah bhikkhu-bhikkhu itu.”

Mereka menanyakan kepada Sang Buddha, apa penyebab di balik kejadian-kejadian aneh ini. 

“Sabbe sattà kammasakà
kammaÿ satte vibajjati.”
Semua makhluk adalah pemilik karmanya sendiri.
Karma mereka menguasai dan menentukan nasib serta tujuan mereka.

Karena orang-orang ini tidak memahami jawaban Sang Buddha, mereka meminta Sang Buddha menjelaskannya lebih rinci.

“Umat awam, burung gagak itu adalah seorang petani di kehidupan lampaunya. Si petani marah kepada kerbau yang tidak mau disuruhnya bekerja. Diikatnya seikat jerami di leher kerbau itu, kemudian dibakarnya jerami itu dan kerbau itu dilepaskannya. Kerbau itu terbakar sangat hebat lalu berlari dan berlari. Akhirnya kerbau itu mati. Karena karma buruk ini, lingkaran rumput yang terbakar itu terbang ke udara, tergantung di leher si burung gagak, dan membakar burung gagak itu sampai mati.

“Istri nahkoda itu adalah seorang gadis desa yang cantik di kehidupan lampaunya. Kekasihnya mati dan terlahir kembali sebagai seekor anjing. Anjing muda itu terus mengikutinya kemanapun ia pergi. Para pemuda desa mengejeknya dengan mengatakan bahwa gadis itu akan berburu dengan anjingnya dan akan membawa pulang daging yang enak untuk mereka. Gadis itu malu. Ketika dia keluar lagi, dia mencoba mengusir anjing itu tapi tidak berhasil. Dia menjadi marah. Diikatnya sekantong pasir di leher anjing itu dan dilemparnya anjing itu ke sungai. Dia mengalami nasib yang sama ketika menjadi istri nahkoda di kehidupan berikutnya.”

“Mengapa bhikkhu-bhikkhu itu tertutup di gua, Yang Mulia?”
“Bhikkhu-bhikkhu itu adalah pengembala kerbau di kehidupan lampaunya. Suatu malam ketika mereka sedang menggiring ternaknya pulang ke kandang, mereka melihat seekor kadal masuk ke gundukan tanah. Karena mereka tidak sempat menangkap kadal itu, mereka menutup lubang di tanah itu dengan ranting-ranting dengan harapan bisa menangkapnya keesokan harinya. “Tetapi, keesokan harinya mereka membawa ternaknya ke padang rumput yang baru selama seminggu. Mereka kembali ke padang rumput yang lama di hari kedelapan. Ketika mereka melihat gundukan tanah itu, mereka ingat si kadal. Mereka menyingkirkan ranting-ranting dari lubang tanah dan menunggu dengan tongkat untuk memukul kadal itu. Tapi si kadal, karena kelaparan selama seminggu, menjadi sangat kurus dan lemah sehingga mereka jatuh iba dan membiarkannya pergi. Jadi bhikkhu-bhikkhu itu juga kelaparan selama seminggu di dalam gua.” (Cerita Dhammapàdà, Vol. II, Cerita Tavojana)

Tidak ada tempat untuk bersembunyi
Tidak di langit, atau di tengah samudera,
tidak juga di gua sebuah gunung,
tidak ada suatu tempat, di mana seseorang
bisa lepas dari akibat sebuah perbuatan buruk.
[ Dhammapàdà 127 ]

Artikel diambil dari : Buku " Karma Pencipta Sesungguhnya " Oleh Dr. Mehm Tin Mon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar