Translate

Selasa, 13 Desember 2016

Feng shui VS Karma

Feng Shui Vs Karma
Suatu ketika karena satu urusan penting, Waidao hrs melakukan perjalanan jauh. Setelah berjalan sedemikian jauh dan bekal minuman yg dibawanya telah terkuras habis mengisi 
kerongkongannya, sgt wajar kalau ia merasa sangat haus.
Kebetulan ia melalui sebuah dusun, segera diketuknya rmh
terdekat utk meminta seteguk air sbg pelepas dahaga.
Di rmy yg sangat sederhana itu berdiam seorg nenek
bernama Shanliang (Bajik). Nenek Shanliang dgn sangat
ramahnya menyodorkan semangkuk air kpd Waidao. Tapi
anehnya, air minum yg diberikan oleh Nenek Shanliang itu
ternyata ditaburi kulit beras.
Bagi Waidao yg sangat kehausan, alangkah nikmatnya
bila air itu dapat diteguknya seketika. Tetapi sayangnya, karena
di atas permukaan air ditaburi kulit beras, maka Waidao hanya
dpt meminumnya seteguk demi seteguk. Itupun dilakukannya
dgn sambil meniup kulit beras agar tidak terbawa masuk ke
dlm mulutnya. Timbul rasa benci dalam hati Waidao. “Berani-
beraninya mempermainkan diriku, lihat saja akan kubalas
nanti!”
Stlh minum secukupnya, dgn hati yg berapi-
api tetapi tetap menampilkan raut wajah yg penuh senyum,
Waidao menyatakan terima kasih pada Nenek Shanliang dan
para penghuni rumah itu. “Aku adalah seorang guru fengshui.
Hari ini menerima kebaikan pemberian air minum dari kalian, aku
merasa sangat berterima kasih. Demi membalas budi kebaikan
kalian, aku akan membantu melihat fengshui rumah ini.”
Tdk menyangka hanya krn memberi air minum lalu
menerima “rezeki” nomplok, keluarga Shanliang dgn segera
mempersilahkannya melihat kondisi fengshui rmh mrk.
Waidao melihat sebidang tanah “kutukan” yg sangat buruk
fengshuinya, bahkan dapat menyebabkan keluarga itu terputus
keturunannya. Tanah itu terletak lebih rendah permukaannya dari
tanah yang lain.
Waidao berkata, “Ini merupakan sebidang tanah
yg membawa hokkie. Kelak bila ada keluarga yg meninggal,
makamkan di sini, utk selanjutnya keluarga kalian akan kaya
raya.” Keluarga Nenek Shanliang sangat senang mendengar
ucapan Waidao, serta merta mereka mengucapkan beribu-ribu
terima kasih.
Bbrp tahun berlalu, Waidao sekali lagi melalui dusun
itu. Ia masih ingat akan penghinaan yg diterimanya dan ingin
mengetahui hasil dari pembalasannya. Waidao yakin bahwa
keluarga nenek itu pasti sdh menjadi fakir miskin. Tetapi ia
terperangah ketika melihat rmh Nenek Shanliang telah berubah
menjadi rmh gedung yg besar. Waidao berpikir, mgkn saja rmh itu telah dibeli org dari luar dusun yf kaya raya.
Saat itulah pintu rumah terbuka. Ternyata putra Nenek Shanliang. Melihat Waidao, ia dgn gembira sekali mengundang
guru fengshui ini masuk ke dlm rmh.
Tuan rmh memperlakukan Waidao layaknya seorg raja. Mrk menjelaskan bahwa ini semua utk membalas budi Waidao, krn petunjuk Waidaolah maka keluarga mrk menjadi kaya raya.
Waidao tak habis pikir, selama ini perhitungan fengshuinya tak prnh meleset, ttp kenapa keluarga ini justru menjadi kaya
raya?
“Ehm, saya koq tdk melihat Nenek Shanliang? Di mana beliau?” Tanya Waidao.
“Ibu telah meninggal sekitar setahun stlh kedatangan Anda
dulu,” demikian jelas sang putra yg bernama Heping (Damai), “dan sesuai petunjuk Anda, Ibu kami makamkan di tanah hokkie itu.”
“Oh, ya?” Semakin tak habis mengerti Waidao, bagaimana mgkn tanah “kutukan” itu berbalik menjadi tanah “hokkie”?
“Boleh saya menengok makam Nenek Shanliang?”
Dgn segera Heping mengantar Waidao menuju makam.
Benar, tak ada yg keliru, makam itu tepat berada di tengah lokasi tanah “kutukan”, hanya posisi tanah itu lebih tinggi dari semula.
Tak mungkin keluarga miskin itu mampu mengeluarkan biaya
meninggikan posisi tanah kutukan, pasti ada sesuatu yg terjadi, demikian pikir Waidao.
“Ehm, seingat saya tanah ini awalnya tdk setinggi ini,” pancing
Waidao.
“Oh ya, benar, kami juga tidak mengerti, ini tampaknya sudah kehendak Langit. Tepat pada malam hari sebelum pemakaman Ibu, datanglah angin topan yang dahsyat. Tanah hokkie yang rendah ini tertimbun rata oleh tanah longsor, sehingga posisinya menjadi lebih tinggi.
Tak peduli apapun yang terjadi, kami tetap mengikuti petunjuk
Anda memakamkannya di tanah ini. Sejak itu keluarga kami menjadi kaya raya. Sekali lagi, beribu-ribu terima kasih atas petunjuk Anda,” ujar Heping dengan tulus.
“Amituofo, Amituofo.” Tanpa disadari muncul seorang bhiksu tua di belakang mereka.
“Oh, Bhiksu Xinming (Hati dan Nasib), koq tumben datang ke sini,”
sapa Heping.
“Guru Waidao, Bhiksu Xinming ini datang di dusun ini tepat sehari sebelum pemakaman Ibu. Sedang Guru Waidao adalah guru fengshui yang telah berjasa besar pada keluarga kami,” demikian
Heping saling memperkenalkan kedua tokoh itu.
“Amituofo, Pinseng (anggota Sangha miskin, sebutan merendah
bagi diri sendiri) melihat adanya hubungan antara angin topan dengan tanah ini, pun dengan kulit beras dalam minuman,” ujar Xinming dengan perlahan tetapi mantap.
Keringat dingin mengucur di dahi Waidao, khususnya saat mendengar ucapan yang terakhir dari Xinming.
“Kulit beras yang ditaburkan oleh Nenek Shanliang bukan untuk
mempermainkan seseorang, melainkan berdasarkan cinta kasih dan ketulusan hati. Adalah tidak baik bagi orang yang kehausan untuk langsung meneguk air minum dengan rakus.
Menaburkan kulit beras adalah kebajikan yang dilakukan
oleh Nenek Shanliang agar orang yang kehausan itu tidak meneguk air minum dengan seketika yang dapat membahayakan kesehatan yang bersangkutan.” Xinming berkata sambil
menatap ke makam Shanliang.
“Menyerahkan keberuntungan dan bencana pada unsur di luar diri adalah waidao – jalan luar. Demikian pula mencari kebahagiaan dan pembebasan di luar diri sendiri, itu adalah waidao.
Waidao adalah mencari kekuatan di luar diri sendiri dan pasrah sepenuhnya pada kekuatan itu. Ini berbeda dengan Buddha Dharma yang mengajarkan pelatihan diri melepas kebodohan batin untuk mencapai kemurnian Nirvana,”
Xinming berucap dengan pandangan tak beralih dari makam. “Shizhu (donatur pelindung Dharma) bukan orang yang bodoh, pasti memahami ucapan Pinseng. Hanya ini yang bisa Pinseng katakan.
Pintu gubuk Pinseng senantiasa terbuka. Pinseng mohon diri.
Amituofo,” Xinming berlalu sambil mengumandangkan Xinming Ge (Lagu Hati dan Nasib).
Hati baik nasib juga baik, kaya dan berpangkat hingga tua.
Nasib baik hati tidak baik, keberuntungan berubah menjadi
bencana.
Hati baik nasib tidak baik, bencana berubah menjadi keberuntungan.
Hati dan nasib tidak baik, tertimpa bencana dan miskin.
Hati bisa merubah nasib, yang terpenting adalah memiliki hati belas kasih.
Nasib tercipta dari hati, kebahagiaan dan kemalangan disebabkan oleh manusia.
Percaya nasib tidak membina hati, siang dan malam tidak bisa
dipercaya.
Membina hati juga menerima nasib, langit dan bumi akan melindungi dengan sendirinya.
Heping yang tidak paham akan ucapan aneh Xinming hanya bisa
terpaku diam. Tetapi tidak demikian dengan Waidao. Memang benar Waidao bukan orang bodoh seperti yang dikatakan Xinming.
Ia kini paham sepenuhnya. Karma baik Nenek Shanlianglah yang menolong sanak keluarganya terbebas dari pembalasan Waidao.
Hukum alam yang jauh lebih dahsyat dari tatanan fengshui muncul berperan sebagai kondisi yang mematangkan buah karma baik Nenek Shanliang.
Setelah memahami makna di balik peristiwa ini, Waidao menjadi
sadar bahwa fengshui tak lebih hanya merupakan salah satu fasilitas dalam menciptakan kondisi matangnya buah
karma, fengshui bukan satu-satunya faktor penting yang menentukan hokkie seseorang, melainkan karma atau perbuatan kitalah yang sangat menentukan.
Nasib dan kebahagiaan kita, diri sendirilah yang menentukannya.
Waidao setengah berlari mengejar Xinming.

Dhammapada XXV, 21:
Sesungguhnya diri sendiri menjadi
tuan bagi diri sendiri. Diri sendiri adalah
pelindung bagi diri sendiri. Oleh karena
itu kendalikan dirimu sendiri, seperti
pedagang kuda menguasai kuda yang
baik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar