Translate

Rabu, 09 Desember 2015


Hidup Tanpa Kepura-puraan

“Niat kita adalah kunci yang menentukan apakah hal yang kita lakukan itu berarti dan bermanfaat.”

Kebanyakan di antara kita menjalani hidup dengan kekhawatiran terhadap apa yang orang lain pikirkan tentang kita. Kita berusaha untuk terlihat baik dan membuat orang lain berpikir positif tentang kita. Kita menghabiskan banyak waktu hanya untuk mencoba menjadi seperti dan bertindak sesuai harapan orang lain, hal ini membuat kita menjadi resah karena setiap orang akan mengharapkan hal yang berbeda-beda dari kita.

Di samping itu, apakah yang menjadi motivasi kita ketika berusaha menjadi sesuai harapan orang lain? Apakah kita bertindak dengan ketulusan, ataukah hanya berusaha menyenangkan orang lain? Apakah kita hanya berpura-pura supaya orang lain akan memuji kita?

Kita dapat berpura-pura dan menciptakan citra diri, dan orang lain mungkin akan memercayai bahwa citra diri itu adalah diri kita yang sesungguhnya. Bagaimanapun juga, kepura-puraan tidak akan berarti dalam kehidupan kita karena kita harus hidup dengan diri sendiri.

Kita akan menyadari saat kita melakukan kebohongan dan walaupun orang lain mungkin memuji kita untuk citra yang kita ciptakan, hal ini akan membuat kita merasa tidak nyaman dengan diri sendiri. Di dalam hati kita tahu, kita sudah membohongi diri sendiri. Kita akan menjadi lebih bahagia ketika kita bersikap tulus dan nyaman menjadi diri sendiri.

Menjadi munafik itu sia-sia, dan hasil karma dari tindakan kita bergantung pada niat. Motivasi kita adalah penentu utama apa yang kita kerjakan akan berarti dan bermanfaat. Bahkan ketika kita terlihat sangat baik dan toleran, ketika motivasi kita adalah untuk membuat orang lain menyukai kita, maka tindakan kita tidak benar-benar karena penuh kasih.

Mengapa demikian? Karena niat kita terpusat pada popularitas (Ketenaran), bukan pada memberikan manfaat bagi orang lain. Kita mungkin bertindak dengan motivasi yang sungguh penuh kasih, namun orang lain menyalah artikan tindakan kita sehingga mereka menjadi kecewa. Dalam kasus ini, kita tidak perlu meragukan diri sendiri karena niat kita baik, walaupun kita harus belajar untuk menjadi lebih terampil dalam bertindak.

Selanjutnya, kita belajar memperoleh kebahagiaan dalam bertindak, bukan dari mengharapkan pujian yang kita peroleh dari orang lain akan tindakkan itu. Sebagai contoh pada praktik spiritual, kita ingin melatih batin untuk bersukacita dengan memberi. Ketika kita memberi dengan penuh sukacita, maka di mana pun kita dan kepada siapa pun kita memberi, kita merasa bahagia. Tidaklah penting apakah orang lain mengucapkan terima kasih atau tidak, karena kebahagiaan kita tidak berasal dari pengakuan yang kita terima, melainkan dari tindakan memberi tersebut.

Ketika kita diam dan tenang, yakni ketika kita mempunyai kebajikan moral, ia secara alamiah akan muncul di dalam diri setiap orang.

Pada saat ini, ketika kita normal, tenang, dan damai, itu adalah Kebajikan (Kusala). Hal itu bukanlah melampaui kemampuan kita untuk mempraktekkannya dalam mencapai kebenaran.

Sifat-sifat murni di dalam diri kita masing-masing ini adalah mudah ditembus dan dipahami.

Sang Buddha menyebut hal ini sebagai SILAM, Kenormalan.

Orang yang normal adalah tenang dan damai di dalam perbuatan jasmani, pikiran, dan ucapannya.

Orang yang tidak normal adalah gelisah dan tiada kedamaian di dalam jasmani, pikiran, dan ucapannya.

Kegelisahan adalah tidak normal, dan apapun yang menyebabkan batin menderita akan menyebabkan jasmani menderita pula. Kita dapat memperhatikan hal tersebut.

Bila seseorang sedang marah atau serakah, mata mereka menjadi makin lebar, dan berubah menjadi merah.

Bila seseorang sedang terpedaya, mata mereka akan kelihatan aneh, seolah-olah sesuatu sedang menutupinya sehingga mereka tidak dapat melihat dengan semestinya; dengan demikian mereka salah mengerti.

Apapun yang coba mereka lakukan, cenderung menjadi salah, dan bila mereka berbicara, kata-kata yang tidak benar akan keluar tanpa sengaja.

Batin mereka dipenuhi oleh Kekotoran / Noda (Kilesa).

Maka oleh karena itu, Sang Buddha menyarankan kita untuk selalu menjaga Batin / Pikiran kita, agar selalu Sadar (Sati) pada saat sekarang.

Dengan kesadaran sedemikian, kita dapat mengontrol diri kita sendiri, perbuatan-perbuatan kita, ucapan-ucapan kita, dan pikiran-pikiran kita, yang harus dengan hati-hati kita awasi.

Ingatlah dengan tugas kita, bahwa dengan dilahirkan, kita harus memikirkan orang lainnya dan berusaha untuk mengerti apa yang kita lakukan, dan lakukanlah sebaik-baiknya.

Berusahalah untuk melakukan yang terbaik yang dapat kita lakukan... Teruslah berbuat baik, ciptakan Karma baik...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar