Translate

Kamis, 24 Desember 2015

Kualitas Seorang Buddhis
Ye Keci Osadha Loke,
Vijjanti Vividha Bahu
Dhammosadhasamam Natthi,
Etam Pivatha Bhikkavo
“Dari semua obat di dunia ini,
yang banyak dan beraneka jenis,
Tidak ada satu pun yang menyamai obat Dhamma.
Karena itu, O, para bhikkhu, minumlah obat ini.”
(Milindapanha. 335)
Ada sesuatu yang seharusnya kita renungkan
sebagai seorang umat Buddha,
namun jarang sekali kita merenungkan.
Sudahkah nilai-nilai luhur Dhamma itu
terealisasi dalam kehidupan kita sehari-hari
atau hanya sebatas konseptual belaka.
Kebanyakan dari kita masih berpegang teguh
pada konsep sehingga Dhamma yang masuk
kedalam diri kita hanya sebatas pengetahuan
yang memenuhi intelektual kita.
Wajar saja jika perilaku kita belum mencerminkan
nilai-nilai luhur Dhamma atau setidak-tidaknya
ada perubahan yang terjadi didalam diri kita
menuju kepada nilai-nilai luhur Dhamma tersebut.
Kenapa saya membuka uraian ini dengan perenungan itu?
Kalimat perenungan itu saya tulis,
karena terkadang kita salah memegang Dhamma,
sehingga yang terjadi banyak pandangan salah
yang muncul karena penafsiran yang salah
terhadap Dhamma yang telah kita pelajari.
Banyak pengetahuan Dhamma sangatlah baik,
tetapi harus diingat Dhamma itu untuk direalisasi,
bukan untuk perdebatan atau pun sebagai hiburan batin.
Kalau kita puas sampai disitu saja,
maka kita tidak ada kemajuan justru yang muncul
adalah kekuatan ego, keangkuhan dan kesombongan.
Sehingga kita memandang rendah orang
yang pengetahuan Dhammanya sedikit
dan pengalaman latihannya belum seperti kita.
Kalau kita hanya sekedar kagum dengan Dhamma
dan Dhamma hanya sebagai pengetahuan intelektual
belaka, maka yang akan muncul adalah kekuatan
negatif, sehingga perilaku kita tidak akan mengalami
perubahan ke arah yang lebih baik.
Pernah muncul sebuah pertanyaan yang dapat
dijadikan bahan renungan bagi seseorang,
bahwa Dhamma harus direalisasikan
sehingga tumbuh manusia yang memiliki etika yang positif.
Tentu sebagai seorang Buddhis etika yang berkembang
adalah perilaku yang sesuai dengan Dhamma.
Pertanyaan itu sebagai berikut, “Kenapa ada
orang yang pengetahuan Dhammanya tinggi dan
pengalaman Dhammanya banyak tetapi perilakunya
penuh keangkuhan, tidak ada rasa hormat, memandang
rendah yang lain, enggan menolong sesama dan halhal
negatif lainnya.
Kejadian tadi menggambarkan tidak terealisasinya
Dhamma dalam kehidupan sehari-hari.
Dhamma hanya berhenti pada intelektual orang tersebut.
Gambaran diatas menunjukan bahwa sebagai seorang Buddhis
bukan hanya teori yang dikejar, tetapi Seorang Buddhis
juga harus intropeksi kedalam dirinya masing-masing
dan bertanya, “Sudahkah Dhamma yang saya pelajari
terealisasi dalam kehidupan ini?”
Kalau belum marilah kita bersama-sama memotivasi diri
untuk menjadi seorang Buddhis yang betul-betul,
bukan hanya sekedar menunjukan identitas semu.
Identitas sebagai seorang Buddhis adalah bagaimana
menanamkan nilainilai luhur Dhamma
dalam kehidupan sehari-hari, baik dirumah tangga,
lingkungan organisasi, lingkungan masyarakat,
pendek kata dimanapun kita berada
seharusnya berusaha untuk menampilkan citra sebagai
seorang Buddhis.
Memang untuk merubah kebiasaan buruk yang sudah ada
pada diri kita tidak semudah membalikan telapak tangan,
tetapi usaha kita akan menentukan perubahan itu.
Perjuangan selalu membutuhkan pengorbanan,
namun semua itu adalah langkah awal untuk menuju
kepada kualitas hidup yang lebih baik.
Kualitas hidup akan dapat berkembang dalam diri kita,
jika kita betul-betul merealisasikan Dhamma
dalam kehidupan sehari-hari. Dhamma telah memberikan
inspirasi bahwa untuk memiliki kualitas hidup
seseorang harus memiliki etika yang didalamnya
terkandung nilainilai moral, nilai-nilai sosial,
dan nilai-nilai kebijaksanaan.
Pengembangan moral sangat perlu bagi kemajuan
kualitas hidup. Moral dan etika membentuk landasan
bagi cita-cita sosial, ekonomi, politik, dan religius.
Tanpa nilai-nilai moral, kehidupan berada dalam bahaya,
oleh karena itu pemeliharaan nilai-nilai moral
sangat perlu untuk menuju terwujudnya kualitas hidup.
Pengembangan moralitas merupakan aspek penting
dalam kehidupan, karena moralitas adalah landasan
untuk pencapaian kualitas hidup yang akan membawa
kebahagiaan bagi diri kita dan lingkungan kita.
Menjaga moral seperti membangun pagar
yang melindungi rumah sendiri dan rumah tetangga.
Apa itu moralitas? Ia adalah standar dan prinsip
bagi perilaku yang baik didalam jalan kebaikan.
Kata Pali untuk moralitas adalah Sila.
Makna disiplin dalam pengembangan moral.
Ia merupakan disiplin pribadi
yang dikembangkan dari dalam,
dan bukannya muncul dari rasa takut terhadap hukuman.
Ia merupakan perbuatan yang berdasarkan
pada motif-motif yang murni berdasarkan kasih,
kemerdekaan, dan kebijaksanaan,
yang diperkuat dengan pengertian terhadap kepalsuan
terhadap hakikat “diri” dan “ego”.
Dengan pengembangan moralitas yang terus menerus
akan mengembangkan prilaku yang baik serta pengendalian
diri yang mantap. Perilaku yang baik dan pengendalian
diri yang mantap itu adalah rasa malu untuk berbuat
jahat (Hiri) dan rasa takut akibat dari perbuatan jahat
(Ottapa). Dua sikap moral ini akan memberdayakan
kualitas hidup kita, namun pengembangan moral ini
belum cukup, karena kita juga harus merealisasikan
sikap yang baik ini dalam kehidupan kita.
Untuk merealisasikan Dhamma dalam kehidupan
kita seharihari dibutuhkan nilai-nilai humanisme.
Nilai-nilai humanisme yang kita kembangkan akan
langsung menyentuh kehidupan dalam wujud cinta
kasih, ramah tamah, kedermawanan, tenggang rasa,
rasa hormat dan pemahaman terhadap corak kehidupan.
Nilai-nilai humanisme ini terkandung dalam
“Metta Karuna dan Pabba”.
Pengembangan Metta Karuna dan Pabba ini harus seimbang.
Metta Karuna adalah mencakup sifat cinta kasih,
suka beramal, ramah tamah, toleransi dan sifat-sifat luhur
lainnya yang ada hubungannya perasaan (emosi)
atau sifat-sifat yang timbul dari hati,
sedangkan Pabba adalah berhubungan dengan intelektual
(kecerdasan) atau sifat-sifat yang timbul dari pikiran
dan pemahaman jelas tehadap corak kehidupan.
Kalau orang hanya mengembangkan segi perasaannya saja
dengan mengabaikan segi inteleknya
(kecerdasannya), maka orang ini kelak akan menjadi
orang bodoh yang baik hati.
Sebaliknya, kalau orang hanya mengembangkan
segi inteleknya dengan mengabaikan segi perasaannya,
maka orang itu akan menjadi seorang intelek yang
“berhati batu” dan tidak mempunyai perasaan
kasihan sedikit pun terhadap orang lain.
Oleh karena itu, untuk memperoleh kualitas hidup
orang harus mengembangkan nilai-nilai luhur tersebut.
Dengan pengembangan nilai-nilai moralitas
dan nilainilai humanisme yang telah diuraikan
seperti tersebut diatas, kita akan menjadi
seorang Buddhis yang memiliki kualitas yang baik
dan akan menjadi contoh bagi manusia lainnya.
Tentunya pengembangan nilai-nilai luhur
Dhamma ini tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Kita harus mulai dari tahap yang paling awal,
walau begitu kemauan untuk merubah prilaku ke arah
yang lebih baik dengan merealisasikan Dhamma
akan membawa wujud nyata dari harapan yang baik itu.
Untuk menjadi umat Buddha tidak cukup dengan
membawa merek atau lambang-lambang Buddhis,
kecerdasan intelektual tentang Dhamma, karena tidak
akan ada perubahan prilaku justru yang muncul prilaku
yang tidak sesuai Dhamma.
Realisasi Dhamma dalam kehidupan kita sehari-hari
adalah lebih bermanfaat untuk peningkatan kualitas hidup.
Inilah tantangan kita untuk menjadi seorang Buddhis yang baik.
Ibarat minuman, kalau ingin merasakan segarnya minum itu,
jangan hanya dilihat dan dikagumi tetapi minumlah,
baru segarnya minumnya itu dapat dirasakan.
Bhante Abhayanando

Tidak ada komentar:

Posting Komentar