Translate

Minggu, 25 Oktober 2015

Kemarahan dan Cara Mengatasinya

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
Penghormatan pada yang - Teragung, Layak Mendapatkan Penghormatan dari Semua Makhluk, Tercerahkan Secara Sempurna atas Usaha Sendiri.

Kemarahan dan Cara Mengatasinya

         Kemarahan, walaupun merupakan hal yang tidak disukai dan tidak menyenangkan, sayangnya hampir tidak ada seorang pun yang tidak pernah mengalaminya. Apalagi pada saat ini, di mana aktivitas masyarakat semakin padat, maka interaksi antar sesama anggota masyarakat juga semakin meningkat dan waktu pun terasa seperti semakin singkat. Semua orang ingin cepat-cepat, tetapi sayangnya, kesabarannya semakin menurun, maka sebagai konsekuensinya adalah kemarahan menjadi semakin sering terjadi. Mulai dari kemarahan kecil seperti menggerutu, kemarahan menengah seperti adu argumentasi, dan kemarahan besar seperti pemukulan, penyiksaan, pembunuhan, dan bahkan peperangan, semuanya semakin meningkat. Benar-benar  keadaan yang sangat menyedihkan!

Seseorang dapat marah bukan hanya kepada orang lain tetapi juga kepada diri sendiri;  namun demikian, keduanya sama-sama tidak baik. Kemarahan adalah bagian dari kesadaran yang tidak baik (akusala citta) dengan faktor mental kebencian (dosa cetasika) sebagai pemeran utamanya. Karena kemarahan adalah bagian dari kesadaran yang tidak baik, maka akibatnya juga akan tidak baik atau hal yang mendatangkan penderitaan. Dengan demikian, kemarahan mendatangkan kerugian ganda bagi yang mengalaminya, yaitu perasaan tidak enak (kesal) dan bertambahnya karma buruk baru yang berpotensi untuk memberikan hasil di kemudian hari.[1]   Kemarahan baru bisa dipadamkan sepenuhnya oleh seseorang yang setidaknya telah mencapai tingkat kesucian ketiga (anāgāmī). Hal ini dikarenakan seorang anāgāmī telah terbebas sepenuhnya dari kebencian (dosa) dan objek indera.

Perlu diketahui bahwa sebelum seseorang memarahi orang lain, sebenarnya dia telah terbakar terlebih dahulu oleh kemarahannya sendiri. Sangatlah mudah untuk membuktikan pernyataan tersebut. Cobalah renungkan atau ingat kembali ketika anda sedang marah, apakah anda merasa bahagia atau kesal? Ya, kesal. Saat itu hati anda bergejolak karena terbakar oleh kemarahan. Bagaimana dengan orang yang dimarahi, apakah dia juga akan terbakar oleh api kemarahan? Bisa ya, bisa tidak. Bila dia juga ikut menjadi marah, maka dia juga berarti ikut terbakar; tetapi, bila dia bisa tetap tenang, dia tidak akan ikut terbakar. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Bila anda marah-marah, memaki-maki kepada sebuah cermin, apakah cermin itu akan merasa dimarahi, terbakar, terluka? Tidak. Begitu juga bila seorang yang dimarahi dapat tetap tenang dan bersikap seperti cermin, maka dia tidak akan ikut terbakar. Jadi, bila kemarahan muncul, yang sudah pasti mendapatkan kerugian adalah orang yang terserang kemarahan tersebut.

            Ini adalah penggalan dan ringkasan Akkosa Sutta – SN 7.2 yang bisa dijadikan rujukan dari bersikap seperti cermin dalam menghadapi orang yang marah.
Brahmana Akkosaka mendatangi Sang Buddha dan langsung mencaci maki Beliau dengan kata-kata kasar. Ketika dia telah selesai mencaci, Sang Buddha bertanya kepadanya:
“Apa pendapatmu, brahmana? Apakah teman dan rekan, keluarga dan saudara, dan juga para tamu datang mengunjungimu?”
‘Terkadang mereka datang berkunjung, Tuan Gotama.’
“Apakah kau mempersembahkan makanan atau cemilan kepada mereka?”
‘Terkadang aku melakukannya, Tuan Gotama.’
“Tetapi, jika mereka tidak menerimanya, maka milik siapakah makanan-makanan tersebut?”
‘Jika mereka tidak menerimanya, Tuan Gotama, maka makanan tersebut tetap milik kami’
“Begitu juga brahmana, kami tidak menerima cacianmu, itu semua milikmu.”

Dari percakapan tersebut terlihat Sang Buddha tidak membalasnya, tetapi Beliau tetap tenang dan bersikap seperti cermin, maka caci maki sang brahmana tetap menjadi miliknya. Kemudian Sang Buddha berkata:

“Dia yang membalas kemarahan dengan kemarahan,
Membuat keadaan menjadi lebih buruk bagi dirinya.
Tidak membalas kemarahan dengan kemarahan,
Dia memenangkan peperangan yang sulit dimenangkan.”

Untuk mengilustrasikan syair di atas agar lebih dapat dipahami dan diingat, silakan baca kisah berikut ini.

Di masa yang lalu, para bhikkhu, Brahmadatta adalah Raja kerajaan Kāsi yang ber-ibukota di Benares.[2] Dia adalah Raja yang kaya, mempunyai kekuatan yang besar, wilayah yang luas, banyak kendaraan, dan banyak persediaan pangan. Dīghīti adalah Raja kerajaan Kosala, tidak seperti Brahmadatta, dia adalah Raja yang miskin, mempunyai kekuatan yang kecil, wilayah yang sempit, sedikit kendaraan, dan sedikit persediaan pangan. Kemudian, setelah menyiapkan empat kelompok pasukan bersenjata,[3] Raja Brahmadatta pergi melakukan penyerangan ke kerajaan Kosala. Dīghīti, Raja kerajaan Kosala, mendengar bahwa Raja Brahmadatta sedang melakukan perjalanan untuk melakukan penyerangan ke kerajaannya. Dia berpikir, “Saat ini, Brahmadatta, Raja kerajaan Kāsi, adalah Raja yang kaya, mempunyai kekuatan yang besar, wilayah yang luas, banyak kendaraan, dan banyak persediaan pangan. Saya bahkan tidak dapat bertahan untuk menghadapi satu kali serangannya. Bagaimana bila saya pergi meninggalkan kota ini sebelum Brahmadatta dan pasukannya tiba?” Kemudian, para bhikkhu, Dīghīti, Raja kerajaan  Kosala, pergi meninggalkan ibukota kerajaan dengan membawa Permaisurinya. Raja Brahmadatta, setelah tiba di kerajaan Kosala, dia menyerang dan menaklukkan pasukan serta merampas semua milik kerajaan Kosala. Sedangkan, Raja Dīghīti pergi menuju ke kota Benares bersama istrinya dan setelah berselang beberapa waktu mereka pun tiba di sana. Mereka tinggal di rumah seorang pengrajin tembikar dan menyamar dengan berpakaian sebagai pengelana.

Tidak berapa lama setelah mereka tinggal di sana, sang Permaisuri hamil. Dia memiliki keinginan yang kuat (mengidam) untuk melihat empat pasukan bersenjata lengkap dengan perlengkapan perangnya berbaris di lapangan saat matahari terbit dan meminum air bekas mencuci pedang. Kemudian, sang Permaisuri datang kepada Raja dan berkata, “Tuanku, saya hamil, saya mengidamkan melihat empat kelompok pasukan bersenjata lengkap dengan perlengkapan perangnya berbaris di lapangan saat matahari terbit dan meminum air bekas mencuci pedang.” Raja berkata, “Istriku, bagaimana mungkin kita yang berada dalam kesulitan seperti ini untuk mendapatkan hal tersebut.” Kemudian sang Permaisuri mengatakan bahwa ia akan meninggal bila tidak mendapatkan keinginannya.

Saat itu, brahmana kerajaan Kāsi adalah teman Raja Dīghīti. Kemudian, sang Raja pergi menemui temannya tersebut dan mengatakan keinginan istrinya. Sebelum mengabulkan permintaan tersebut, sang brahmana meminta Raja untuk membawa istrinya karena dia ingin melihatnya terlebih dahulu. Saat sang brahmana, dari kejauhan, melihat sang Permaisuri yang sedang jalan menuju ke arahnya, dia bangun dari tempat duduknya dan merapikan jubah atasnya sehingga menutup salah bahunya; dengan kedua tangan tertangkup di depan dadanya (ber-añjali) dia memberikan penghormatan pada sang Permaisuri sambil berkata, “Sesungguhnyalah, seorang Raja Kosala berada dalam kandunganmu,” sebanyak tiga kali. Kemudian dia berkata, “Jangan khawatir Permaisuri, saat matahari terbit kamu akan mendapatkan keinginanmu untuk melihat empat kelompok pasukan bersenjata lengkap dengan perlengkapan perangnya berbaris di lapangan dan meminum air bekas mencuci pedang.”

Sang brahmana kemudian pergi menemui Raja Brahmadatta dan berkata, “Tuanku, pertanda yang nampak menunjukkan bahwa besok pagi saat matahari terbit empat kelompok pasukan bersenjata lengkap dengan perlengkapan perangnya berbaris di lapangan dan pedang-pedang harus dicuci.” Kemudian, Raja Brahmadatta, Raja kerajaan Kāsi, memerintahkan para prajuritnya dengan berkata, “Tuan-tuan yang baik, lakukan apa yang sang brahmana katakan.” Maka, sang Permaisuri pun mendapatkan hal yang diidam-idamkannya. Saat kandungan tersebut telah tiba waktunya, sang Permaisuri pun melahirkan seorang anak laki-laki. Mereka menamakannya Dīghāvu. Dengan berjalannya waktu, Pangeran Dīghāvu pun tumbuh menjadi seorang pemuda dewasa.[4]

Suatu saat, Raja Dīghīti teringat tentang penyerangan Raja Brahmadatta ke kerajaannya. Dia berpikirnya, “Raja Brahmadatta, Raja dari kerajaan Kāsi, telah melakukan hal yang sangat buruk pada kami; dia telah merampas pasukan, kendaraan, wilayah, dan persediaan pangan kami. Jika dia mengetahui tentang kami, dia akan membunuh kami (bertiga) semua. Bagaimana bila aku membuat Pangeran Dīghāvu untuk tinggal di luar kota?” Kemudian, sang Raja mengirim Pangeran   Dīghāvu untuk tinggal di luar kota. Saat tinggal di luar kota, Pangeran Dīghāvu belajar berbagai macam keterampilan dan keahlian dengan cepat. Saat itu, bekas tukang cukur Raja Dīghīti tinggal di istana Raja Brahmadatta. Suatu saat, dia melihat Raja Dīghīti bersama istrinya tinggal di Benares di rumah seorang pengrajin tembikar dan menyamar dengan berpakaian sebagai pengelana. Mengetahui hal tersebut, dia pergi menghadap Raja Brahmadatta dan memberitahukannya dengan berkata, “Tuanku, Raja Dīghīti bersama istrinya tinggal di Benares di rumah seorang pengrajin tembikar dan menyamar dengan berpakaian sebagai pengelana.”

Kemudian, Raja Brahmadatta memerintahkan para menteri dan prajuritnya dengan berkata, “Bila demikian, tuan-tuan yang baik, bawa Raja Dīghīti bersama istrinya.” Mereka menyetujuinya dengan menjawab, “Baik Tuanku.” Raja Brahmadatta juga meminta mereka untuk mengikat Raja Dīghīti dan istrinya dengan tali yang kuat dengan kedua tangan diletakkan dibelakang punggung mereka masing-masing. Setelah menggunduli keduanya, arak mereka dari satu jalan ke jalan lain, dari satu perempatan ke perempatan lain dengan disertai tabuhan genderang;  kemudian bawa mereka ke pintu gerbang selatan kota dan potong menjadi empat bagian, lalu buang potongan-potongan tersebut ke empat penjuru. Orang-orang Raja Brahmadatta berkata, “Baik Tuanku,” dan mereka melakukan semua hal seperti yang diperintahkan oleh Rajanya.

Pada saat yang sama, Pangeran Dīghāvu berpikir, “Telah lama aku tidak bertemu kedua orang tuaku. Bagaimana bila sekarang aku pergi menemuinya?” Lalu, setelah Pangeran Dīghāvu memasuki kota Benares, dia melihat kedua orang tuanya dengan tangan terikat, kepala gundul, sedang diarak keliling kota dengan diiringi oleh tabuhan genderang. Suatu ketika, Raja Dīghīti melihat Pangeran Dīghāvu yang sedang berjalan mendekatinya dan dia pun berkata, “Jangan kamu, sayangku Dīghāvu, melihat terlalu jauh atau terlalu dekat; karena, sayangku Dīghāvu, kemarahan tidak bisa diredakan dengan kemarahan; kemarahan, sayangku Dīghāvu, diredakan dengan tanpa kemarahan.”

Ketika, Raja Dīghīti mengatakan hal itu, para prajurit dan orang-orang yang ikut mengaraknya berkata, “Raja Dīghīti, Raja dari kerajaan Kosala telah gila, dia berbicara melantur. Siapa itu Dīghāvu sehingga dia mengatakan, “Jangan kamu, sayangku Dīghāvu, ..... diredakan dengan tanpa kemarahan”? Lalu, sang Raja berkata, “Saya tidak gila tuan-tuan yang baik, saya tidak berbicara melantur, selain itu, dia yang terpelajar akan mengerti maksudnya.” Untuk kedua kalinya ..... dan untuk ketiga kalinya Raja berkata, “Jangan kamu, sayangku Dīghāvu, ..... diredakan dengan tanpa kemarahan”? Untuk ketiga kalinya orang-orang tersebut berkata, “Raja Dīghīti, Raja dari kerajaan Kosala telah gila,..... Untuk ketiga kalinya Raja berkata, “Saya tidak gila tuan-tuan yang baik, ..... akan mengerti maksudnya.” Setelah mereka mengarak Raja Dīghīti dan istrinya dari satu jalan ke jalan lain, dari satu perempatan ke perempatan lain dengan disertai tabuhan genderang,  kemudian mereka membawa keduanya ke pintu gerbang selatan kota dan memotong mereka menjadi empat bagian, lalu membuang potongan-potongan tersebut ke empat penjuru. Setelah menempatkan beberapa pasukan penjaga di sana, yang lain pun bubar dan pergi meninggalkan lokasi tersebut.

Pangeran Dīghāvu, setelah memasuki kota, dia membeli minuman keras dan membuat para pasukan penjaga tersebut meminumnya dan mabuk. Setelah melumpuhkan para penjaga tersebut, Pangeran Dīghāvu mengumpulkan kayu bakar dan membuatnya menjadi sebuah tumpukan. Lalu, dia meletakkannya potongan-potongan tubuh kedua orang tuanya di atas tumpukan kayu bakar tersebut; setelah menyalakan apinya, dia berjalan mengelilinginya sebanyak tiga kali dengan kedua tangan tertangkup di depan dadanya.  Saat itu, Raja Brahmadatta sedang berada di serambi lantas atas istananya. Dia melihat sang Pangeran sedang mengelilingi api pembakaran mayat tersebut sebanyak tiga kali dengan kedua tangan tertangkup di depan dadanya. Melihat hal tersebut, dia berpikir, “Tidak diragukan lagi, pria ini pastilah saudara dari Dīghīti, Raja kerajaan Kosala. Aduh!, ini adalah pertanda buruk bagiku, karena tak seorang pun yang dapat memberitahukanku apa arti semua ini.”

Pangeran Dīghāvu kemudian pergi ke hutan, di sana dia menangis. Setelah selesai menangis dan menghapus air matanya yang menetes, dia kembali ke kota Benares. Kemudian, dia pergi ke kandang gajah dekat istana Raja dan berkata kepada pelatih gajah di sana, “Aku ingin belajar keterampilan mengendalikan gajah, guru.” Sang guru berkata, “Bila demikian, pemuda baik, belajarlah.” Suatu hari, Pangeran Dīghāvu bangun sebelum matahari terbit dan bernyanyi dengan suara merdunya sambil memainkan mandolin di kandang gajah. Saat itu, Raja Brahmadatta yang juga telah bangun, mendengarnya bernyanyi dan bertanya kepada para pengawalnya, “Siapa, tuan-tuan yang baik, yang bangun sebelum matahari terbit dan bernyanyi dengan suaranya yang merdu sambil memainkan mandolin di kandang gajah?” Tuanku, dia adalah seorang pemuda, murid dari seorang pelatih gajah. Lalu, Raja berkata, “Bila demikian, tuan-tuan yang baik, bawa pemuda tersebut ke sini.” Para pengawal Raja pun berkata, “Baik, Tuanku”, menyetujui perintah Raja; dan kemudian mereka membawa Pangeran  Dīghāvu menghadap sang Raja. Raja bertanya, ”Apakah kamu, pemuda baik, bangun sebelum matahari terbit ..... sambil memainkan mandolin di kandang gajah. “Ya, Tuanku”, jawabnya. Bila demikian, tolong kamu, pemuda baik, bernyanyi sambil memainkan mandolinmu di depanku. “Baik, Tuanku”, jawabnya menyetujui permintaan Raja. Dengan berharap untuk mendapatkan kesuksesan, dia bernyanyi dan memainkan mandolinnya. Sang Raja yang terpikat oleh keterampilan sang Pangeran memintanya untuk menjadi pendampingnya, dan sang Pangeran pun menyetujuinya. Pangeran Dīghāvu pun memberikan usahanya yang terbaik, dia bangun sebelum Raja bangun dan tidur sesudah Raja tidur. Dia menjadi pendamping yang sungguh-sungguh, selalu berusaha menyenangkan tuannya, dan selalu berbicara dengan penuh kelembutan. Maka, dalam waktu singkat, sang Raja pun menjadikannya sebagai pendamping kepercayaannya.

Suatu hari, sang Raja berkata kepada Pangeran Dīghāvu, “Baiklah, sekarang, pemuda baik, siapkan kereta kuda, kita akan pergi berburu.” Dia berkata, “Baik Tuanku.” Setelah menyiapkan kereta kuda, dia memberitahu Raja, “Tuanku, kereta kuda telah disiapkan.” Maka, setelah Raja naik ke kereta, Pangeran Dīghāvu pun mengendarainya. Dia mengendarainya sedemikian rupa sehingga pasukan pengawal Raja tidak bisa mengikutinya dan pergi ke arah yang berbeda. Setelah menempuh jarak yang cukup jauh dan merasa lelah, Raja meminta sang Pangeran untuk menghentikan kereta kudanya guna beristirahat. Pangeran Dīghāvu kemudian menghentikan kereta dan duduk bersila di tanah. Sang Raja kemudian membaringkan badannya dan meletakkan kepalanya di pangkuan Pangeran  Dīghāvu; karena kelelahan, sang Raja pun langsung tertidur.  

Kemudian, terpikir oleh Pangeran Dīghāvu, “Raja Brahmadatta ini, Raja kerajaan Kāsi, telah melakukan banyak keburukan kepada kami. Dia telah merampas pasukan kami, kendaraan, wilayah, persediaan pangan, dan juga membunuh kedua orang tuaku. Ini mungkin adalah waktu yang tepat untuk melampiaskan kemarahanku,” dan dia pun menarik pedangnya dari sarungnya. Tetapi, terlintas dipikirannya, “Ayahku berpesan kepadaku saat beliau akan meninggal, ‘Jangan kamu, sayangku Dīghāvu, melihat terlalu jauh atau terlalu dekat; karena, sayangku Dīghāvu, kemarahan tidak bisa diredakan dengan kemarahan; kemarahan, sayangku Dīghāvu, diredakan dengan tanpa kemarahan.’ Adalah hal yang tidak pantas untuk melanggar nasehat ayahku,” dan dia pun memasukkan kembali pedangnya ke sarungnya. Untuk kedua kalinya ..... Untuk ketiga kalinya, terpikir oleh Pangeran  Dīghāvu, “Raja Brahmadatta ini, ..... Adalah hal yang tidak pantas untuk melanggar nasehat ayahku,” dan dia pun memasukkan kembali pedangnya ke sarungnya. Saat itu, Raja Brahmadatta, ketakutan, resah, gelisah, kaget, dan dia pun bangun dengan mendadak. Kemudian, Pangeran Dīghāvu bertanya kepada sang Raja, “Mengapa kamu, Tuanku, ketakutan, resah, gelisah, kaget, dan bangun dengan mendadak?” Dia berkata, “Ketika saya bermimpi di sini, pemuda baik, anak Dīghīti, Raja kerajaan Kosala, menyerangku dengan sebuah pedang.” Itulah sebabnya aku ketakutan, ..... dan bangun dengan mendadak.

Pengeran Dīghāvu, setelah mendengar penjelasan tersebut, menjambak kepala Raja Brahmadatta dengan tangan kirinya; setelah menghunus pedang dengan tangan kanannya, dia berkata kepada sang Raja, “Saya, Tuanku, adalah Pangeran Dīghāvu, anak laki-laki Raja Dīghīti, Raja kerajaan Kosala. Kamu telah melakukan banyak keburukan kepada kami. Kau telah merampas pasukan kami, kendaraan, wilayah, persediaan pangan, dan juga membunuh kedua orang tuaku. Ini mungkin adalah waktu yang tepat untuk melampiaskan kemarahanku.” Kemudian, Raja Brahmadatta menundukkan kepalanya ke kaki Pangeran Dīghāvu dan berkata, “Biarkan aku hidup, sayangku Dīghāvu, biarkan aku hidup, sayangku Dīghāvu.”
“Bagaimana saya dapat memberikan kehidupan kepada seorang Raja? Adalah Raja yang seharusnya memberikan saya kehidupan.”
“Bila demikian, sayangku Dīghāvu, kamu memberikan saya kehidupan dan saya akan memberikanmu kehidupan.”
Kemudian, mereka berdua saling memberikan kehidupan, mereka berjabat tangan dan berjanji untuk tidak akan saling melukai satu sama lainnya. Setelah itu, sang Raja berkata, “Bila demikian, sayangku Dīghāvu, siapkan kereta kuda, kita akan kembali.” “Biak, Tuanku”, kata Pangeran Dīghāvu, dan dia pun langsung menyiapkan kereta kuda. Setelah semuanya siap, dia berkata, “Kereta kuda telah disiapkan, Tuanku.” Kemudian, Raja naik ke kereta dan Pangeran  Dīghāvu mengendarinya. Dia mengendarinya dengan sedemikian rupa sehingga tidak lama berselang mereka pun bertemu kembali dengan pasukan pengawal Raja.

Setelah mereka tiba kembali di Benares, Raja Brahmadatta mengumpulkan para menteri dan penasihatnya; dihadapan mereka dia bertanya, “Seandainya, tuan-tuan yang baik, kalian melihat Pangeran Dīghāvu, anak laki-laki Dīghīti, Raja kerajaan Kosala, Apa yang kalian lakukan terhadapnya?” Beberapa orang berkata, “Kami, Tuanku, akan memotong tangannya; kami, Tuanku, akan memotong kakinya; kami, Tuanku, akan memotong tangan dan kakinya; ..... telinganya; ..... hidungnya; ..... telinga dan hidungnya; ..... kami, Tuanku, akan memenggal kepalanya.” Kemudian, Raja berkata, “Ini, tuan-tuan yang baik, adalah Pangeran Dīghāvu, anak laki-laki Dīghīti, Raja kerajaan Kosala; jangan lakukan apapun padanya; kehidupan telah diberikan kepadaku olehnya dan kehidupan telah saya berikan kepadanya.”

Raja Brahmadatta kemudian bertanya kepada Pangeran Dīghāvu, “Mengenai hal itu, sayangku Dīghāvu, yang ayahmu katakan pada saat dia akan meninggal: ‘Jangan kamu, sayangku Dīghāvu, melihat terlalu jauh atau terlalu dekat; karena, sayangku Dīghāvu, kemarahan tidak bisa diredakan dengan kemarahan; kemarahan, sayangku Dīghāvu, diredakan dengan tanpa kemarahan’ apa yang dimaksudkan oleh ayahmu?” Dia berkata, “Mengenai hal itu, Tuanku,  yang dikatakan oleh ayahku pada saat beliau akan meninggal ‘jangan melihat terlalu jauh’ maksudnya adalah jangan memendam kemarahan terlalu lama. Yang dikatakan oleh ayahku pada saat beliau akan meninggal ‘jangan melihat terlalu dekat’ maksudnya adalah jangan terlalu cepat memutus sebuah persahabatan. Yang dikatakan oleh ayahku pada saat beliau akan meninggal ‘karena, sayangku Dīghāvu, kemarahan tidak bisa diredakan dengan kemarahan; kemarahan, sayangku Dīghāvu, diredakan dengan tanpa kemarahan’ maksudnya adalah orang tuaku dibunuh oleh seorang raja, tetapi jika saya membunuh raja tersebut, mereka (orang-orang) yang menghendaki keselamatan sang raja akan membunuh saya dan mereka yang menghendaki keselamatan saya akan membunuh orang-orang tersebut; maka, kemarahan tidak bisa diredakan dengan kemarahan. Tetapi sekarang, kehidupan telah diberikan kepadaku olehnya dan kehidupan telah saya berikan kepadanya; maka, kemarahan, diredakan dengan tanpa kemarahan.”

Raja Brahmadatta kemudian berpikir, “Sungguh luar biasa!, sungguh menakjubkan! Betapa pandainya Pangeran Dīghāvu sehingga dia dapat memahami secara lengkap maksud yang dikatakan ayahnya secara singkat.” Lalu, dia mengembalikan pasukan ayahnya, kendaraan, wilayah, dan persediaan pangan, dan dia juga memberikan (menikahkan) putrinya kepadanya.

Para bhikkhu, bila para raja yang menggunakan kekerasan, yang menggunakan pedang dapat memperlihatkan kesabaran dan kelembutan seperti demikian; dalam Dhamma ini, para bhikkhu, biarkan cahaya kebijaksanaan kalian bersinar terang; sehingga kalian, yang telah meninggalkan kehidupan keduniawian dalam Dhamma dan Vinaya yang telah dibabarkan dengan sempurna dapat mempunyai kesabaran dan kelembutan seperti mereka.

Berdasarkan Kosambī-jātaka, no. 428, Sang Buddha menjelaskan bahwa Raja Dīghīti adalah Raja Suddhodana, Sang Permaisuri adalah Ratu Mahāmāyā, dan Pangeran Dīghāvu adalah Beliau sendiri.

Sekarang mari kita lanjutkan pembahasan cara untuk menghindari kemarahan. Agar memudahkan usaha untuk menghindari kemarahan, hal pertama yang perlu diketahui adalah penyebab dari timbulnya kemarahan. Mengapa demikian? Karena, bila seseorang dapat menghindari penyebabnya, maka kemungkinan besar atau bahkan dapat dipastikan kemarahan tidak akan muncul. Selain itu, mencegah munculnya kemarahan relatif lebih mudah daripada mengatasi/meredakan kemarahan yang telah muncul. Kemarahan sama seperti halnya dengan penyakit, penyakit lebih mudah dicegah daripada mengobatinya. Jadi, ingatlah pepatah ini baik-baik, lebih baik mencegah daripada mengobati. Jadi, apa itu penyebab kemarahan? Penyebabnya adalah keinginan/keserakahan (lobha) yang tidak terpenuhi. Semakin tinggi tingkat keserakahan, semakin sulit pula untuk memenuhinya; dan akibatnya, rasa tidak senang (kemarahan) pun muncul semakin sering. Semakin rendah tingkat keserakahan, semakin mudah pula untuk memenuhinya; dan akibatnya, rasa tidak senang (kemarahan) pun akan semakin jarang muncul.

Agar lebih mudah memahaminya, silakan simak contoh kasus ini. Tuan Takur adalah peminum kopi luak sejati, dia tidak bisa dan tidak mau meminum kopi  jenis lain. Kopi luak bukan hanya mahal harganya, tetapi juga sulit didapat, tidak setiap kedai kopi menjualnya. Tetapi, bila dia tetap harus minum kopi, maka dia akan lebih sering mendapatkan kopi jenis lainnya. Oleh karena itu, dapat dipastikan dia akan sering kecewa dan tidak puas (kesal/marah) karena tidak mendapatkan apa yang diinginkannya (kopi luak). Seandainya dia mau dan bisa merasa puas dengan semua jenis kopi, maka dia tidak akan kesulitan sama sekali untuk memenuhi keinginannya. Dengan demikian, otomatis, dia akan sangat mudah untuk menghindari munculnya kemarahan. Dari contoh ini, dapat ditarik kesimpulan yaitu kemarahan dapat dihindari atau setidaknya dikurangi frekuensinya dengan membasmi atau mengurangi keserakahan, mengembangkan perasaan mudah puas, dan menghindari objek yang tidak disukai.

Apakah ada cara lain untuk mengatasi kemarahan? Ya, ada. Tolong ingat hal ini baik-baik, orang yang terserang kemarahan bukan hanya mendapatkan kerugian ganda seperti yang telah diuraikan di atas; tetapi selain itu, ada tujuh hal yang membuat musuhnya merasa senang dan mencapai tujuannya.  Apa ketujuh hal itu?[5]

“Para bhikkhu, seorang musuh berharap demikian untuk musuhnya, ‘Semoga dia menjadi jelek!’ Mengapa demikian? Seorang musuh tidak menyukai penampilan cantik musuhnya. Saat seseorang terserang dan dikuasai kemarahan, walaupun dia telah mandi dengan bersih, memakai pelembab, rambut dan cambang/bewok tercukur rapi, memakai pakaian putih, dia tetap terlihat jelek. Ini adalah hal pertama yang membuat musuh merasa senang dan mencapai tujuannya yang terjadi pada seorang pria ataupun wanita yang terserang kemarahan.”

‘Semoga dia tidak dapat tidur nyenyak!’ ..... ’Semoga dia tidak beruntung/sukses (gagal)!’ ..... ’Semoga dia tidak kaya (jatuh miskin)!’ ..... ’Semoga dia tidak terkenal (reputasi baiknya hancur)!’ ..... ’Semoga dia tidak punya teman.’ .....

“Para bhikkhu, seorang musuh berharap demikian untuk musuhnya, ‘Semoga dia, saat tubuhnya hancur, setelah meninggal, terlahir di alam menderita, di alam yang tidak baik, di alam rendah, di neraka.’ Mengapa demikian? Seorang musuh tidak menyukai musuhnya terlahir di alam bahagia. Saat seseorang terserang dan dikuasai kemarahan, dia melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai akibatnya, saat tubuhnya hancur, setelah meninggal, terlahir di alam menderita, di alam yang tidak baik, di alam rendah, di neraka. Ini adalah hal ketujuh yang membuat musuh merasa senang dan mencapai tujuannya yang terjadi pada seorang pria ataupun wanita yang terserang kemarahan.”

“Itulah tujuh hal yang membuat musuh merasa senang dan mencapai tujuannya yang terjadi pada seorang pria ataupun wanita yang terserang kemarahan.”

Apakah anda mau mendapatkan ketujuh hal di atas? Pastinya tidak, bukan! Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menghindari kemarahan. Bila tidak, anda pasti akan mendapatkan tujuh hal di atas dan membuat musuh anda merasa senang serta mencapai tujuannya.

Dari penjelasan di atas, salah satu cara mengatasinya adalah menghindari objek yang tidak disukai. Untuk menghindari objek yang bukan makhluk mungkin tidak terlalu jadi masalah; tetapi, bila objek itu adalah seorang atau sekelompok makhluk, terkadang ada situasi di mana sulit sekali untuk menghindarinya (misalnya: berada di sekolah, di kelas, atau di kantor yang sama; atau bahkan anggota keluarga sendiri dan tinggal serumah). Bila harus menghadapi situasi demikian, bagaimanakah cara mencegah kemarahan agar tidak muncul?

Bila menghadapi keadaan yang demikian, cara termudah mencegahnya adalah jangan memperhatikan atau memikirkan objek tersebut, pikirkanlah hal lain yang lebih bermanfaat. Bila tidak berhasil, maka jangan memperhatikan kualitas buruk dari objek tersebut, tetapi perhatikanlah kualitas baiknya.[6] Misalnya, ucapannya baik tetapi tindakan jasmaninya buruk, maka perhatikanlah kemurnian ucapannya, jangan memperhatikan keburukan tindakan jasmaninya. Bagaimana bila ucapan maupun tindakan jasmaninya buruk? Hal itu bisa saja terjadi; tetapi, mungkin saja terkadang pikirannya baik, misalnya saat dia pergi ke rumah ibadah untuk mendengarkan ceramah Dhamma. Maka, perhatikanlah kualitas pikirannya yang terkadang masih berjalan dengan baik, jangan memperhatikan kualitas dari keburukan tindakan jasmani dan ucapannya.  Bagaimana bila semua kualitas dari perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya buruk, tidak ada baiknya sama sekali? Bila demikian, dia sudah sepatutnya perlu dikasihani bukan dimarahi, karena tanpa dimarahi pun dia sudah sangat menderita. Perbuatan buruknya sudah pasti akan membuatnya celaka baik di kehidupan ini maupun di kehidupan berikutnya (baca paragraf berikutnya). Bagaimana bila semua kualitasnya baik, tidak ada yang cacat sama sekali? Bila demikian, tidak ada alasan sama sekali untuk memarahinya. Bila seseorang bisa marah kepada orang yang murni seperti demikian, maka dia dapat disebut sebagai orang yang sangat bodoh. Dengan berpikir demikian, seharusnya munculnya kemarahan dapat dicegah.

Apakah ada cara lain? Ya, sudah pasti. Untuk menghindari munculnya kemarahan, seseorang dapat mengembangkan cinta kasih universal (mettā), belas kasihan (karuṇā), keseimbangan mental (upekkhā - tatramajjhattatā), dan merenungkan kepemilikan karma.[7]

Semua orang ingin bahagia, tetapi kenyataannya adalah hidup ini penuh dengan penderitaan, baik itu disadari atau tidak.[8] Maka, semua orang berusaha untuk mendapatkan kebahagiaan. Namun sangat disayangkan, karena ketidaktahuannya, banyak dari mereka yang melakukannya dengan cara yang salah. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah setiap orang untuk mengembangkan cinta kasih universal kepada semua makhluk, bukannya memperburuk keadaan dengan mengembangkan kemarahan. Tidak sedikit orang yang telah berusaha dengan baik dan benar, namun tetap saja hidupnya sangat menderita, mungkin karena kelaparan, terkena penyakit, mengalami kecelakaan, dan lain-lain. Oleh karena itu, sudah seharusnyalah setiap orang berusaha menolongnya. Bila tidak bisa melakukan bantuan fisik, setidaknya kembangkan dan pancarkan rasa belas kasihan agar mereka dapat segera terbebas dari penderitaan. Bila kemarahan masih sulit diatasi, kembangkanlah keseimbangan mental. Sadarilah bahwa semua yang terjadi adalah konsekuensi yang harus diterima sesuai dengan karma masing-masing. Bila orang lain melakukan perbuatan buruk dan akibatnya membuat anda menderita; terimalah, karena itu memang karma anda. Bila bukan karma anda, pasti anda tidak akan terkena dampaknya. Tetapi, bila anda menjadi marah karena perbuatan buruknya, tanyakanlah pada diri sendiri bila anda benar-benar mengerti bahwa kemarahan itu adalah hal yang tidak baik. Bila anda memang mengerti, lalu mengapa anda meniru perbuatannya, mengapa anda juga ikut marah? Bukankah bila demikian anda sama dengannya atau bahkan lebih bodoh darinya!

Pikiran yang seimbang dapat diibaratkan bagaikan tanah. Apapun yang dilemparkan kepadanya, yang baik ataupun buruk, bersih ataupun kotor, bagus ataupun jelek, dan sebagainya, tanah tidak menolaknya, tidak merasa direndahkan, tidak merasa dipermalukan, tidak merasa muak karena hal-hal tersebut. Pikiran yang seimbang dapat diibaratkan bagaikan air. ..... Pikiran yang seimbang dapat diibaratkan bagaikan angin (udara). ..... Pikiran yang seimbang dapat diibaratkan bagaikan api. Apapun yang dilemparkan kepadanya, yang baik ataupun buruk, bersih ataupun kotor, bagus ataupun jelek, dan sebagainya, api tidak menolaknya, tidak merasa direndahkan, tidak merasa dipermalukan, tidak merasa muak karena hal-hal tersebut. Oleh karena itu, sangatlah baik untuk mengembangkan keseimbangan mental. [9]

Anda juga dapat merenungkan dengan sungguh-sungguh mengenai kepemilikan karma orang yang membuat anda marah sebagai berikut: dia adalah pemilik karmanya sendiri, pewaris karmanya sendiri, terlahir karena karmanya sendiri, karma adalah kerabat/temannya, dan karma adalah pelindungnya.[10] Tanya pada diri anda, mengapa dia marah pada anda? Bila anda menyadari bahwa hal itu karena kesalahan anda, maka meminta maaflah kepadanya agar kemarahannya cepat reda. Jangan malah ikut terpancing dan menjadi marah juga, karena anda akan lebih tersiksa. Namun demikian, baik itu disebabkan oleh kesalahan anda ataupun bukan, saat dia marah, bukankah hal tersebut akan membuatnya celaka sendiri? Karena dia adalah pemilik karmanya sendiri, pewaris karmanya sendiri. Kemarahan tentu bukanlah perbuatan yang akan membawanya mencapai pencerahan, menjadi brahma, dewa, raja dunia, atau bahkan menjadi seorang manusia; tetapi, malah sebaliknya, kemarahan akan meningkatkan penderitaannya, membawanya jatuh ke alam rendah, ke neraka. Setelah merenungkan hal itu, anda dapat merenungkan hal yang sama yang ditujukan pada diri anda sendiri. Bila anda terserang kemarahan, bukankah anda sendiri yang akan menderita? Kemarahan juga bukanlah perbuatan yang akan membawa anda mencapai pencerahan, menjadi brahma, dewa, raja dunia, atau bahkan menjadi seorang manusia; tetapi, malah sebaliknya, kemarahan akan meningkatkan penderitaan anda, membawa anda jatuh ke alam rendah, ke neraka.

Bagaimana bila setelah melakukan perenungan tersebut, kemarahan belum juga dapat dihindari atau setidaknya diredakan? Anda bisa merenungkan objek yang memicu kemarahan anda hanyalah sebagai kumpulan fenomena (misalnya fenomena mental dan jasmani), sebagai kumpulan kelompok kehidupan (khandha: materi/jasmani, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran), atau dibagi menjadi lebih kecil lagi, yaitu sebagai kumpulan berbagai macam unsur atau elemen. Contoh yang sederhana adalah merenungkan unsur dari kelompok jasmani, misalnya, apakah anda marah dengan rambutnya? atau apakah dengan kukunya? atau apakah dengan giginya? dan yang lainnya. Bisa juga diurai lebih detail lagi, misalnya, apakah pada unsur tanah (air, api, atau angin) di rambutnya (di kukunya, di giginya, dll.)?

Saat perenungan terhadap elemen dilakukan, anda akan kehilangan konsep tentang seorang makhluk dan akibatnya kemarahan tidak mempunyai tempat untuk berpijak lagi. Maka, kemarahan dapat diharapkan untuk segera berlalu atau setidaknya segera mereda. Contoh, seorang teman memberitahu bahwa roda motor anda dikempeskan oleh teman sekelas anak anda dan anda mengenal anak tersebut. Maka, anda langsung berpikir tentang anak tersebut dan wajah atau keseluruhan rupa anak tersebut pun langsung muncul di benak anda dan kemarahan menjadikannya sebagai tempat berpijak. Walaupun sebenarnya saat itu anak tersebut sudah pulang ke rumahnya; namun demikian, kemungkinan besar anda tetap akan terus marah-marah sambil membayangkan wajah anak tersebut. Seandainya anda adalah seorang pendendam, maka bila suatu ketika anda melihat fotonya, kemungkinan besar kemarahan akan muncul kembali. Seandainya anda melihat foto belakang kepala anak tersebut, tetapi karena yang terlihat hanyalah rambutnya, anda tidak dapat mengenali foto tersebut sebagai foto anak tersebut, maka dapat dipastikan kemarahan anda terhadap anak tersebut tidak akan muncul. Mengapa demikian? Karena saat melihat foto rambut tersebut, konsep tentang seorang makhluk (dalam kasus ini adalah anak tersebut) tidak muncul, sehingga kemarahan tidak punya tempat untuk berpijak.

Bagaimana bila setelah melakukan perenungan tersebut, kemarahan belum juga dapat dihindari atau setidaknya diredakan? Bila demikian, gunakanlah cara paling ampuh ini, cara yang bukan hanya dapat membasmi kemarahan, tetapi juga dapat membasmi semua jenis penderitaan untuk selama-lamanya, untuk mencapai nibbāna. Apa itu? Meditasi vipassanā. [11] Pada pembukaan Mahāsatipaṭṭhāna Sutta – DN 22 atau Satipaṭṭhāna Sutta – MN 10, Sang Buddha mengatakan bahwa manfaat pengembangan empat landasan perhatian murni (sati) di antaranya adalah dapat membasmi kesedihan (soka), ratap-tangis (paridevāna), dan penderitaan mental (domanassāna), yang mana semua itu sebenarnya adalah manifestasi dari kemarahan/kebencian. Empat landasan perhatian murni tersebut adalah landasan perhatian murni terhadap jasmani (kāya), perasaan (vedana), kesadaran (citta), dan objek-objek dhamma (dhamma). Contoh penerapan sederhana dari meditasi vipassanā saat seseorang terserang kemarahan adalah dengan menyadarinya, sehingga kemarahan tersebut tidak dapat berkembang dan mudah-mudahan cepat reda dan hilang. Dengan demikian, bukan hanya mengurangi jumlah akibat karma buruk dari kemarahan tersebut, tetapi malah menambah akibat karma baik dari menyadarinya. Hal ini dapat terjadi karena untuk menyadari kemarahannya seseorang harus mengerahkan kesadaran yang baik (kusala citta) yang didukung oleh perhatian murni (sati).

Meditasi vipassanā sangatlah ampuh, jangankan bila dapat mengembangkan dengan sempurna keempat landasan perhatian murni tersebut; bahkan, jika dapat mengembangkan salah satunya saja, anda akan tetap mendapatkan semua manfaatnya.[12] Bhante Sāriputta mengatakan kepada Sang Buddha, “Bhante, seseorang yang belum mengembangkan dengan mantap perhatian murni pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya mungkin akan memukul (memaki) temannya (bhikkhu lain) dan pergi berkelana tanpa meminta maaf.”[13] Ini secara tidak langsung mengatakan bahwa kemarahan tidak akan muncul pada seseorang yang telah mantap dalam pengembangan perhatian murni pada jasmani. Penulis merasakan sendiri besarnya manfaat praktik meditasi vipassanā ini dalam mengikis kemarahan. Oleh karena itu, penulis sangat mengajurkan praktik meditasi vipassanā ini. Untuk tahap awal, sangatlah baik untuk memulainya dengan pengembangan perhatian murni pada jasmani karena objeknya cukup kasar dan mudah diamati. Misalnya, memperhatikan atau menyadari kembung-kempisnya rongga perut, keluar-masuknya napas, atau apapun aktivitas yang anda lakukan. Perlu diketahui bahwa meditasi bukan hanya dapat dilakukan dengan cara duduk bersila, tetapi dapat dilakukan dalam keadaan apapun dan kapanpun, kecuali saat tidur. Contohnya adalah menyadari sepenuhnya saat berdiri, berjalan, makan, minum, pakai baju, berbicara, dan yang lainnya. Untuk mengetahui instruksi meditasi vipassanā secara garis besar, silakan baca artikel ‘Petunjuk Meditasi Vipassanā.’

Wejangan Sang Buddha yang terdapat dalam Khodhana Sutta – AN 64 sangatlah cocok untuk menutup tulisan ini. Renungkan dan ingatlah baik-baik, semoga manfaat yang berlimpah menjadi milik teman-teman semua.

Orang marah terlihat jelek,
dia juga tidur gelisah,
mendapatkan keuntungan,
dia jadikan kerugian.

Orang marah tersebut,
dikuasai oleh kemarahan,
setelah membunuh dengan jasmani dan ucapan,
kehilangan kekayaannya.

Digilakan oleh kemarahan,
dia mendapatkan reputasi buruk.
Keluarga, teman-teman, dan orang yang dicintainya,
menghindarinya.

Kemarahan adalah sebab kehancuran,
kemarahan membakar pikiran.
Mereka tidak menyadari bahayanya,
yang muncul dari dalam.

Orang marah tidak tahu hal baik;
Orang marah tidak dapat melihat Dhamma.
Hanya ada kebutaan dan kegelapan,
saat kemarahan menguasai seseorang.

Karena marah melakukan pengrusakan,
baik tanpa kesulitan atau dengan kesulitan, saat kemarahannya reda,
dia tersiksa bagaikan terbakar api.

Dia tidak terkendali,
bagaikan api terselubung asap.
Ketika kemarahannya meledak,
mengakibatkan orang lain marah juga.

Dia tidak malu dan takut akan keburukan,
ucapannya tidak pantas;
dia yang dikuasai kemarahan,
tak ada satupun tempat berlabuh baginya.

Saya akan sebutkan perbuatan
yang mendatangkan penderitaan.
Dengarkanlah, karena mereka
jauh dari ajaran yang benar.

Orang marah membunuh ayahnya,
Orang marah membunuh ibunya,
Orang marah membunuh Arahat,
Orang marah membunuh orang awam.

Orang marah membunuh ibunya,
wanita baik yang memberinya kehidupan,
seseorang yang membesarkannya
dan menunjukkan dunia kepadanya.

Mereka, seperti diri sendiri,
diri merekalah yang paling dicintainya;
tetapi orang marah membunuh dirinya dengan berbagai cara,
ketika dihantui berbagai masalah.

Beberapa, bunuh diri dengan pedang;
beberapa, dengan minum racun;
beberapa, gantung diri dengan tambang;
beberapa, loncat ke jurang.

Perbuatan sehubungan dengan pembunuhan makhluk
dan yang menyebabkan terbunuhnya diri sendiri,
saat melakukannya, orang marah tidak menyadari
hal itu terlahir dari kemarahannya.

Inilah jebakan kematian berupa kemarahan
yang bersemayam di relung hati,
seseorang harus memotongnya dengan pengendalian diri,
kebijaksanaan, usaha, dan pandangan benar.

Orang bijaksana harus memotong
kualitas buruk ini,
Berlatih Dhamma-lah sedemikian rupa,
jangan mengalah pada keliaran.

Bebas dari kemarahan,  tanpa masalah,
bebas dari keserakahan, tanpa pendambaan,
jinak, kemarahan telah dimusnahkan,
dia yang tanpa noda mencapai nibbāna.

Rangkuman cara mengatasi kemarahan:
1.        Kurangi keserakahan.
2.        Kembangkan perasaan mudah puas.
3.        Hindari objek yang tidak disukai.
4.        Ingat kerugian ganda dari kemarahan (hati terasa panas & karma buruk baru).
5.        Ingat, kerugian jadi berlipat tiga dengan ditambah oleh tujuh hal yang menyenangkan musuh.
6.        Bila objek tidak bisa dihindari, jangan pikirkan dan perhatikan.
7.        Lihat kualitas baiknya, jangan kualitas buruknya.
8.    Kembangkan mettā, karuṇā, upekkhā (seperti unsur tanah, air, angin, & api), &   kepemilikan   karma.
9.       Renungkan sebagai elemen/unsur. Apakah marah dengan rambutnya, giginya, dll.? Atau apakah marah dengan unsur tanah/air/angin/api pada  rambutnya, giginya, dll.?
10.      Kembangkan meditasi vipassanā.

Inti dari semua cara di atas adalah Pengembangan Kesabaran dan untuk dapat mempunyai kesabaran yang baik seseorang harus bijaksana. Kebijaksanaan terbaik didapat dari bermeditasi dan meditasi terbaik adalah meditasi vipassanā. Jadi, Ber-VIPASSANĀ-lah
Telah banyak cara diuraikan untuk mengatasi kemarahan.
Bila tidak punya banyak waktu, latihlah satu cara saja, yaitu cara ter-AMPUH.
Apa itu? Meditasi Vipassanā.
Jangan sia-siakan hidup yang sungguh mulia dan sangat singkat ini.

Camkanlah baik-baik nasihat Guru Agung kita ini!

“Para bhikkhu, apapun yang seorang guru harus lakukan
– demi kesejahteraan murid-muridnya atas rasa simpati/rasa sayang pada mereka –
telah Saya lakukan untuk kalian.
Di sana ada akar-akar pohon, kuti-kuti (gubuk - tempat) kosong.
Ber-MEDITASI-lah, para bhikkhu, jangan lalai! Jangan sampai menyesal di kemudian hari.
Ini adalah pesan kami pada kalian semua.”  AN -7.74

Tidak ada komentar:

Posting Komentar